Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan
sebagian kaum muslimin sungguh sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut
ulama mengajak umat untuk turut serta dan berucap selamat pada perayaan non
muslim. Namun Islam tidaklah mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang
diajarkan Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan berhari raya
tanpa mengusik mereka. Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian
orang berasal dari kafir Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita
Muhammad,
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada
Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi
dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu
yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal
itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan
agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi,
14: 425).
Prinsipnya sama dengan kaum muslimin saat ini di saat non
muslim mengucapkan selamat Idul Fitri, mereka pun balik membalas mengucapkan
selamat natal. Itulah tanda akidah yang rapuh.
Perbedaan toleransi dalam Islam vs JIL
Siapa bilang Islam tidak mengajarkan toleransi? Justru
Islam menjunjung tinggi toleransi. Namun toleransi apa dulu yang dimaksud.
Toleransi yang dimaksud adalah bila kita memiliki tetangga atau teman Nashrani,
maka biarkan ia merayakan hari besar mereka tanpa perlu kita mengusiknya. Namun
tinggalkan segala kegiatan agamanya, karena menurut syariat islam, segala
praktek ibadah mereka adalah menyimpang dari ajaran Islam alias bentuk
kekufuran.
Satu kesalahan besar bila kita turut serta merayakan atau
meramaikan perayaan mereka, termasuk juga mengucapkan selamat. Sebagaimana
salah besar bila teman kita masuk toilet lantas kita turut serta masuk ke
toilet bersamanya. Kalau ia masuk toilet, maka biarkan ia tunaikan hajatnya
tersebut. Apa ada yang mau temani temannya juga untuk lepaskan kotorannya?
Itulah ibarat mudah mengapa seorang muslim tidak perlu mengucapkan selamat
natal. Yang kita lakukan adalah dengan toleransi yaitu kita biarkan saja non
muslim merayakannnya tanpa mengusik mereka. Jadi jangan tertipu dengan ajaran
toleransi ala orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) yang “sok intelek” yang tak tahu arti toleransi dalam Islam
yang sebenarnya.
Toleransi dalam Islam
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu
dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Ayat ini mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah
setiap muslim berbuat baik pada lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan
hal agama.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi
kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara
mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang
berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7:
247). Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan
bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 14: 81.
Sedangkan ayat selanjutnya yaitu ayat kesembilan adalah
berisi larangan untuk loyal pada non muslim yang jelas adalah musuh Islam.
Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 248.
Bentuk Toleransi atau Berbuat Baik dalam
Islam
Bagaimana toleransi atau bentuk berbuat baik yang
diajarkan oleh Islam?
1- Islam mengajarkan menolong siapa pun,
baik orang miskin maupun orang yang sakit.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan
mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no.
2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.
2- Tetap menjalin hubungan kerabat
pada orang tua atau saudara non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Dipaksa syirik, namun tetap kita
disuruh berbuat baik pada orang tua.
Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu
turunlah ayat,
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….”
(QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).
3- Boleh memberi hadiah pada non muslim.
Lebih-lebih lagi untuk membuat mereka tertarik pada
Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti
kaum muslimin.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata,
رَأَى عُمَرُ حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ
فَقَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ
تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ الْوَفْدُ . فَقَالَ « إِنَّمَا
يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ فِى الآخِرَةِ » . فَأُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ
– صلى الله عليه وسلم – مِنْهَا بِحُلَلٍ فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ مِنْهَا
بِحُلَّةٍ . فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا وَقَدْ قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ
قَالَ « إِنِّى لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا ، تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا » .
فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى أَخٍ لَهُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu
ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada
tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan
mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa
pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata,
“Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa
mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya.
Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.”
Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah
sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619). Lihatlah
sahabat mulia ‘Umar bin Khottob masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada
saudaranya yang non muslim.
Prinsip Lakum Diinukum Wa Liya Diin
Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah
dan perayaan non muslim, bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena
Islam mengajarkan prinsip,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip di atas disebutkan pula dalam ayat lain,
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut
keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا
بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku
kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama
kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang
kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam
di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak
meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku
tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari,
14: 425).
Toleransi yang Ditawarkan oleh Non Muslim
Bertoleransi yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari
non muslim. Mereka sengaja memberi selamat kepada kita saat lebaran atau Idul
Fitri, biar kita nantinya juga mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip
seperti ini ditawarkan oleh kafir Quraisy pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam.
Ketika Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan
Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka menawarkan pada beliau,
يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد
، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد
شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد
شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu
dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam
segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang
lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu.
Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu,
engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi,
14: 425)
Itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir
Quraisy di masa silam, hingga Allah pun menurunkan ayat,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ
مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang
kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.
(QS. Al-Kafirun: 1-6)
Jangan heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat
pada perayaan Idul Fitri yang kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita
bisa membalas ucapan selamat di perayaan Natal mereka. Inilah prinsip yang
ditawarkan oleh kafir Quraisy di masa silam pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi
toleransi seperti itu? Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum
wa liya diin, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan
mereka beribadah dan berhari raya, tanpa kita turut serta dalam perayaan
mereka. Tanpa ada kata ucap selamat, hadiri undangan atau melakukan bentuk
tolong menolong lainnya.
Jangan Turut Campur dalam Perayaan Non Muslim
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para
ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka.
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم
فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja
mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar berkata,
اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم
“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian
apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Juga sifat ‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman
juga tidak menghadiri acara yang di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal
bukanlah maksiat biasa, karena perayaan tersebut berarti merayakan kelahiran
Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan. Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara maksiat
lebih-lebih acara kekufuran,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا
مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan
menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72).
Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat.
Jadi, jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu
suatu musibah dan bencana.
Wallahu waliyyut taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar