Di negeri kita ini,
masyarakat terbiasa memberi gelaran haji / hajah bagi mereka yang sudah pernah
melaksanakan rukun islam yang kelima ini. Lalu, apa
hukum gelar haji bagi mereka yang berhaji? Apakah diperbolehkan menyebut Haji
Fulan /
Fulanah?
Gelar
haji atau hajah belum dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun sahabat. Bahkan menurut Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama
kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi
ulama yang wafat tahun 680an.
Lantas
bagaimana hukum memberi gelar haji untuk mereka yang sudah berangkat haji?
Orang
yang sedang melakukan haji, disebut oleh Allah dalam al-Quran
dengan sebutan Haji. Allah berfirman,
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ
وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil
haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. at-Taubah: 19).
Dr.
Bakr Abu Zaid mengatakan,
وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج
. وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون
Kata
“Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang
melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar
dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah
dikenal di masa generasi terbaik umat islam (qurun mufadhalah).
Selanjutnya
beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai gelar ini,
Pendapat pertama, gelar haji hukumnya dilarang.
Karena
ini adalah gelar belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan gelar ini dikhawatirkan memicu riya.
Dalam
salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan,
أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات
الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم
ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى
Panggilan
Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan
kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala
dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. dan wajib bagi setiap muslim
untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar
niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384).
Keterangan
yang semisal juga pernah disebutkan Imam al-Albani rahimahullah, beliau melarangnya
karena tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat kedua, gelar semacam ini dibolehkah, terlepas
dari kondisi batin jamaah haji.
Dengan
beberapa alasan,
a. Alasan keikhlasan itu alasan pribadi, dan berlaku bagi
semua ibadah. Dalam arti, kita diperintahkan untuk mengikhlaskan ibadah apapun
kondisinya, meskipun ibadah itu diketahui orang banyak.
b. Gelar tertentu untuk ibadah tertentu lebih bersifat urf
(bagian tradisi), sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang tradisi
di masyarakat.
Terkadang masyarakat memberi gelar untuk
mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi
yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid. Dulu peserta
perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir
tahunan, gelar itu tetap melekat.
c. Tidak ada dalil yang melarangnya.
An-Nawawi mengatakan,
يجوز أن يقال
لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ،
وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم
: إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع
Boleh menyebut orang yang pernah
berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau
bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan
dalam riwayat Baihaqi dari a-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau
mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang
yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus. (al-Majmu’, 8/281).
Alasan
bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan
as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan,
وأما الحاجي فلغة العجم في النسبة إلى من حج ، يقولون للحاج إلى
بيت الله الحرام : حاجِّي
Gelar
al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat
haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan
Haji.. (Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro, 4/299)
Karena
di Indonesia, bisa haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil
melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.
Demikian,
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar