Secara umum peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam selalu disemarakkan dengan sholawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun
Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung Qasidah Burdah.
Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang
awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah
Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam yang diawali dengan dengan membaca kitab Daiba’, lalu Barzanji, kemudian
ditutup dengan Qasidah Burdah.
Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan
maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih
tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika
banyak diantara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya
dibanding al-Quran.
Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini
adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah
daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya:
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi
tiga:
1. Cerita tentang perjalanan hidup Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam dengan sastra bahasa yang tinggi yang terkadang
tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2. Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah
tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3. Sholawat kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
tetapi telah bercampur aduk dengan sholawat bid’ah dan sholawat-sholawat yang
tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Penulis Kitab Barzanji
Kitab Barzanji ditulis oleh Ja’far al-Barzanji al-Madani
, dia adalah khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari kalangan
Syafi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan diatara karyanya
adalah Kisah Maulid Nabi Shalallahu’alahi wa sallam (Al-Munjid fii al A’laam,
125)
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermahzab
Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan
Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Ini dibuktikan dalam do’anya “Dan
berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para
pemimpin dari keturunan az-Zahra di bumi Nu’man”. (Majmuatul Mawalid, hal. 132)
Kesalahan Umum Kitab Barzanji
Kesalahan kitab Barzanji tidak separah yang ada pada
kitab Daiba’ dan Qasidah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika
kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Quran. Bahkan, dianggap
lebih mulia daripada al-Quran. Padahal, tidak ada nash syar’i yang memberi
jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba’ atau Qasidah Burdah.
Sementara, membaca al-Quran yang jelas pahalanya, kurang
diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca kitab Barzanji
daripada membaca al-Quran apalagi pada saat perayaan maulid Nabi. Padahal Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa membaca 1 huruf dari al-Quran maka dia akan
mendapatkan 1 kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10
pahala. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf. Tetapi, Alif 1 huruf,
Laam 1 huruf, Miim 1 huruf .” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di
dalam shahihul jam’i hadist ke 6468).
Kesalahan Khusus Kitab Barzanji
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji
antara lain :
Pertama : Penulis kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua
orang tua Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam termasuk ahlul iman dan
termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan
sumpah.
ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﺳْﺒَﺤَﺎﻭَﺍﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ
ﺃَﻫْﻞِ ﺍْﻹِ ﻳْﻤَﺎﻥِ
ﻭَﺟَﺎﺀَﻟِﻬَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ
ﺷَﻮَﺍ ﻫِﺪُ
ﻭَﻣَﺎﻝَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟْﺠَﻢُّ ﻣِﻦْ
ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻌِﺮْﻓَﺎﻥِ
ﻓَﺴَﻠَّﻢْ ﻓَﺈِﻥََّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺟَﻞَّ
ﺟَﻼَﻟُﻪُ
ﻭَﺇِﻥَّ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡَ ﺍْﻷَ ﺷْﻌَﺮِﻱَ
ﻟَﻤُﺜْﺒِﺖُ
ﻧَﺠَﺎﺗَﻬُﻤَﺎﻧَﺼَّﺎﺑِﻤُﺤْﻜَﻢِ
ﺗِﺒْﻴَﺎﻥِ
“Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Ta’ala
termasuk ahli iman
Dan telah datang dalil dari hadist sebagai
bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini
Maka ucapkanlah salam, karena sesungguhnya Allah Maha
Agung.
Dan sesugguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya
selamat menurut nash tibyan (al-Quran).” (Lihat Majmuatul Mawalid Barzanji, hal 101)
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadist dari
Anas radliyallahu’ahu:
Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya “Wahai
Rasulullah, dimanakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shalallahu ’alahi wasallam
bersabda, “Dia berada di neraka.”
Ketika orang itu pergi, beliau memanggilnya dan bersabda
:
“Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka”.
(HR. Muslim dalam shahihnya (348) dan Abu Daud dalam
sunannya (4718))
Imam Nawawi berkata :
“Makna hadits ini adalah bahwa, barangsiapa yang mati
dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan kedekatan kerabat tidak
berguna baginya. Begitu juga orang Arab penyembah berhala yang mati pada masa
fatrah (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyimpangan
dakwah mereka, kaena sudah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim
‘alahissalam dan yang lainnya.” (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam
Nawawi. 3/74)
Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya
kembali kedua orang tua Nabi Shalallahu ’alahi wasallam dan keduanya beriman
dan selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah
sekali serta tidak ada satupun yang shahih. Para ahli hadits sepakat akan
kedhaifannya seperti Daruquthni, al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khatib, Ibnu
Asaki, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurtubi, ath-Tabhari dan
Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari berpendapat bahwa
kedua orang tua Nabi beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam
Suyuthi berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam
beriman dan selamat dari Neraka, namun hal ini menyelisihi para hafidz dan para
ulama peneliti hadist. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Kedua : Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya
agar mereka meyakini bahwa Rasulullah hadir pada saat membaca shalawat,
terutama ketika Mahallul Qiyam (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali
di awal qiyam (berdiri) mambaca :
ﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎﻳَﺎﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎ ﻳَﺎﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎ
ﻣَﺮْ ﺣَﺒًَﺎﻳَﺎﺟَﺪَّ ﺍﻟْﺤُﺴَﻴْﻦِ
ﻣَﺮْﺣَﺒًَﺎ
“Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat
datang wahai kakek Husain selamat datang”
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan
kepada orang yang hadir secara fisik? Meskipun di tengah mereka terjadi
perbedaan, apakah yang hadir jasad Nabi Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam
bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela
perayaan Maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa
yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam telah
berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Ta’ala di surga,
sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa
Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian
mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.
ﻳَﺎﻧَﺒِﻨﻲْ ﺳَﻼَﻡٌُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝ ﺳَﻠَﻢٌُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻳَﺎﺣَﺒِﺐُ ﺳَﻼَﻡٌُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﺻَﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
“Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam
sejahtera atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah
tercurah atasmu.”
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisional”
berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi
Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan
seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu
sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan
untuk menghormati benda mati.
Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada
hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika
bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh
peserta upacara diharuskan berdiri.
Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera
merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera
saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak dilakukan,
sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah Nabi Muhammad
Shalallahu ’alahi wasallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati
dari pada orang lain? (Lihat Fikh Tradisional, Muhyiddin Abdusshamad (277-278))
Ini adalah qiyas yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana
mungkin menghormati Rasul Shallallahu ’alahi wa sallam disamakan dengan hormat
bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shalallahu ’alahi wasallam
sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat.
Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau
berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi.
Di samping itu, kehadiran Rasul Shalallahu ’alahi
wasallam ke dunia merupakan keyakinan bathil karena termasuk perkara gaib yang
tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Ta’ala, dan bukan dengan
logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara
bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam terwujud dengan cara
menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan mencintainya.
Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan
merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu’alahi wa sallam.
Demikian juga dengan cara perayaan maulid Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam,
perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi
Shallallahu ’alahi wa sallam adalah para shahabat, sebagaimana perkataan Urwah
bin Mas’ud kepada kaum Quraisy :
“Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan
kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku pernah menjadi
utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang
Raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad. Tidaklah
Muhammad meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka,
melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka.
Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera
melaksanakannya. Apabila beliau berwudhu, mereka saling berebut bekas air
wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak
berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka.” (HR.
Bukhari : 3/187, no. 2731, 2732, al-Fath 5/388)
Bentuk pengagungan para shahabat kepada Nabi Shallallahu
’alahi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan
acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu’alahi
wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut
disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadits
Nabi Shalallahu’alahisasalam, “Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang
paling baik di antara kalian” (Shahih HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya),
maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi berpendapat bahwa pada hadits di
atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang
yang mempunyai keutamaan, (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz
XII, hal. 313).
Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun
terhadap Rasulullah Shallallahu ’alahi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar,
hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul kepada orang-orang Anshar
agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Mu’adz radliyallahu ’anhu turun
dari keledainya, karena ia sedang terluka parah, bukan menyambut atau
menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan. (Lihat Ikmalil
Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi ‘Iyadh, 6/105).
Ketiga : Penulis Barzanji mengajak untuk mengkultuskan
Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai
tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
ﻓِﻴﻚَ ﻗَﺪْ ﺃَﺣْﺴَﻨْﺖُ ﻇَﻨِّﻲْ
ﻳَﺎﺑَﺸِﻴْﺮُ ﻳَﺎﻧَﺬِﻳْﺮُ
ﻓَﺄَﻏِﺜْﻨِﻲْ ﻭَ ﺃَﺟِﻦ
ﻳَﺎﻣُﺠِﻴْﺮُﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻌِﻴْﺮِ
ﻳَﺎﻏَﻴَﺎﺛِﻲْ ﻳَﺎﻣِﻼَﺫِﻱْ
ﻓِﻲْ ﻣُﻬِﻤَّﺎﺕِ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ
“Padamu sungguh aku telah berbaik sangka.
Wahai pemberi kabar gembira
wahai pemberi peringatan
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai pelindung dari neraka sa’ir.
Wahai penolongku dan pelindungku.
Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah
dan genting)”.
Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ’alahi wa
sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah
Ta’ala dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau dan bersumpah dengan
nama beliau merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu’alahi wa
sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik.
Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi
petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu’alahi wa sallam, bahkan
menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu Tauhid.
Nabi telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut,
sehingga beliau Shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :
“Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku
sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. AKu
hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR.
Bukhari dalam shahihnya 3445)
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa
‘alahissalam sebagai sekutu bagi Allah dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa
kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Ta’ala, padahal ibadah
tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alahi wa
sallam telah memberi peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan
beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya :
“Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat berkumpul,
bacalah shalawat atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku dimanapun
kaum berada”. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih (2042) dan dishahihkan
oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram : 125)
Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam memberikan peringatan
keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan
beliau.
Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam
mengagungkan Nabi Shalallahu ’alahi wasallam, mereka berkata :
“Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau adalah
orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda kepada mereka :
“Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan
jangan biarkan syaitan mengelincirkanmu.”
(Shahih, disahhihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram
127, lihat takhrij beliau di dalamnya).
Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampaui batas
terhadap Nabi adalah bersumpah dengan anma beliau, karena adalah bentuk
pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama
Allah Ta’ala, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim dalam
shahihnya 2679 dan 1646)
Cukuplah dengan hadist tentang larangan bersikap
berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam menjadi dalil
yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin
mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadist tersebut,
dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Keempat : Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa
shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi
Shallallahu’alahi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji menganggap bahwa membaca
shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam merupakan ibadah yang
sangat terpuji.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻼَﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺂﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻼَﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺂﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).
Ayat ini yang mereka jadikan dalil untuk membaca kitab
tersebut pada setiap peringatan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam.
Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka
membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti
pada perayaan maulid Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bershalawat atas Nabi Shallallahu
’alahi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu ’alahi wa
sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan shalawat
atas Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan
hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, karena :
1) Terkena doa Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam yaitu
sabda beliau:
“Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku
disisnya, namun ia tidak bershalawat atasku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/254, At-Tirmidzi dalam
Sunannya 3545 dan dishahihkan oleh al-Albani dal ‘Irwa : 6)
2) Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ’alahi
wa sallam, beliau bersabda :
“Orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku
disisinya, ia tidak bershalawat atasku”. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya 3546, Ahmad
dalam Musnadnya 1/201, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ‘Irwa : 5).
3) Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari
Allah Ta’ala, karena meninggalkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya.
Nabi bersabda :
“Barangsiapa membaca shalawat atasku skali, maka Allah
Ta’ala bershalawat atasku 10 kali”. (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya 284).
4) Tidak mendapatkan keutamaan shalawat dari Allah Ta’ala
dan para malaikat.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya yang teramg dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS. Al Ahzab 33:34)
Bahkan membaca shalawat menyebabkan hati menjadi lembut,
karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir.
Dengan dzikir, hati menjadi tentram dan damai sebagaimana
firman Allah Ta’ala :
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram
dangan mengingat Allah Ta’ala. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tenteram”. (QS. Ar-Ra’du
13:28).
Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan
ikhlas karena Allah Ta’ala semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan
khurafat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu ’alahi wa
sallam, sehingga bukan mendapat ketentraman di dunia dan pahala di akherat,
melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Ta’ala.
Siksaan tersebut bukan karena mambaca shalawat, namun
karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam
peringatan maulid Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam saja, yang jelas-jelas
merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap syariat.
Kelima : Penulis kitab Barzanji juga meyakini tentang Nur
Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam
syairnya :
ﻭَﻣَﺎﺯَﺍﻝَ ﻧُﻮْﺭُﺍﻟْﻤُﺴْﻄَﻔَﻰ
ﻣُﺘَﻨَﻘِّﻼًَ
ﻣِﻦَ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺐِ ﺍْﻷَﺗْﻘَﻲ ﻟِﻄَﺎﻫِﺮِﺃَﺭْﺩَﺍﻥٍِ
“Nur musthafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari
sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni”
Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi,
seperti al-Hallaj yang berkata :
“Nabi Shallallahu ’alahi wa sallam memilik cahaya yang
kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang
ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum
Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut”.
Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Attha’i bahwa semua
Nabi sejak Nabi Adam ‘alahissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari
cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ’alahi wa sallam yaitu penutup para Nabi.
(Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasulullah oleh Abdur Rauf Utsman
(169-192)).
Perlu diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya.
Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya
terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga
berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum
jahiliyah.
Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan
mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa ‘alahissalam, seperti ;
dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip Trinitas mereka. Bahkan
mereka adalah kepunyaan Allah Ta’ala dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun, mereka
menyembah Tuhan-Tuhan mereka dengan keyakinan bahwa Tuhan-Tuhan mereka itu
mempu memberi syafaat dan menolong mereka.
Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab
Barzanji, semoga bermanfaat.
Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12 Th. XII Rabiul
Awal 1430/Maret 2009 oleh: Al-Ustadz Zainal Abidin, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar