Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾
أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah Kami menjadikan bumi
tempat berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati? [al-Mursalat/77:25-26].
Di antara Ulama ahli tafsir, ada yang
mengartikan ayat tersebut dengan menyebutkan, bahwa Allah Azza wa Jalla
menjadikan bumi dua bagian, yaitu bagian atas untuk dihuni orang yang hidup dan
bagian bawah dihuni oleh orang yang mati.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga memerintahkan untuk segera dalam mengurus mayat manusia. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ
صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ
عَنْ رِقَابِكُمْ
Segerakanlah penyelenggaraan
jenazah. Karena, apabila jenazah itu orang shalih maka kalian telah berbuat
baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu bukan orang baik maka agar kalian
segera meletakkan benda jelek dari pikulan kalian. [HR al-Bukhari, no. 1252].
Dalam prakteknya, adakalanya perintah ini
tidak terlaksana. Mayat masih dibiarkan berhari-hari atau berminggu-minggu atau
bahkan bertahun-tahun. Hal itu disebabkan beberapa alasan yang hendak dicapai.
Salah satu dari sekian alasan yang ada, misalnya, untuk membedah mayat
tersebut.
Tujuan dari pembedahan mayat, secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, untuk otopsi. Kedua,
untuk pembelajaran calon dokter.
Otopsi sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan
pertama, untuk hukum pidana, seperti, otopsi forensik yang dilakukan untuk
mengetahui penyebab kematian sehingga mungkin menjadi masalah pidana. Agar
memungkinkan mencari tersangka pembunuhan tersebut dengan tujuan bisa
menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla secara benar dan tepat. Tujuan kedua,
yang disebut otopsi klinis atau akademik. Ini dilakukan untuk mencari penyebab
medis kematian. Digunakan dalam kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak
pasti. Otopsi ini biasanya dilakukan bila terjadi wabah penyakit baru yang
menyebabkan kematian tanpa diketahui jenis penyakit yang membunuhnya, maka
diperlukan usaha untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti. Dan salah
satu cara yang harus ditempuh adalah dengan cara membedah mayat.
Pembahasan ini sangat penting untuk
diketahui hukumnya, karena pembedahan mayat tersebut sudah merupakan perlakuan
yang biasa didengar, terlebih lagi bila pembedahan itu bertujuan untuk belajar
bagi calon dokter. Banyak mayat yang jadi sasaran perlakuan ini, bahkan
biasanya menjadi sarana untuk memperjualbelikannya.
Masalah yang timbul dari fenomena tersebut
adalah mengenai perlakuan tidak wajar terhadap mayat manusia dengan cara
mengutak-atik organ tubuhnya. Padahal, ini tidaklah selayaknya diperlakukan
pada jasad manusia. Terlebih lagi bila ditinjau dari hukum Islam.
Berikut dalil-dalil dan pendapat para Ulama
tentang hukum perlakuan pada mayat manusia.
Firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [al-Isra`/17:70]
Ayat ini menunjukkan bahwa jasad manusia
itu mulia. Dan kemuliaan ini berlaku baik dalam keadaan ia hidup maupun sudah
mati. Sedangkan dalam proses bedah mayat, terjadi perlakuan yang tidak mulia
terhadap mayat, seperti dipotong daging atau tulangnya, diangkat organ tubuh,
dan perlakuan lain yang semisalnya.
Disebutkan dalam hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus pasukan perang, beliau akan menasihati pemimpin pasukannya secara
pribadi untuk teguh bertaqwa pada Allah Azza wa Jalla , serta menasihati
seluruh pasukannya dengan pesan yang baik, seraya berkata :
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ
اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا
تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا
Berangkatlah berperang di jalan Allah
Azza wa Jalla dengan menyebut nama Allah Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang
kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar
perjanjian, dan jangan pula kalian memotong-motong mayat. [HR Muslim, no. 1731]
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ
حَيًّا
Memecahkan tulang mayat hukumnya
seperti memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup. [HR Abu Dawud, no. 3209. Hadits ini
dinyatakan shahîh oleh Albani dalam kitabnya, Irwaul Ghalîl, 3/213]
Dalam riwayat Imam Ahmad terdapat sedikit
perbedaan teks, yaitu: “memecahkan tulang mayat orang Mukmin hukumnya seperti
memecahkan tulangnya ketika ia masih hidup”.
Pendapat Para Ulama
Kami hanya akan membawakan ucapan mereka
mengenai perlakuan sewajarnya terhadap mayat orang kafir. Sedangkan untuk mayat
orang Muslim, kami rasa tidak perlu dibahas lagi. Karena, kita mengetahui bahwa
mayat Muslim wajib diperlakukan dengan istimewa, dari awal dimandikan sampai
proses pemakaman; semua wajib dijalankan sesuai dengan tata cara tertentu yang
sudah diatur olah syariat.
Sedangkan perlakuan terhadap mayat orang
kafir, berikut pendapat dari para Ulama.
Menurut madzhab Ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyyah, Hambaliyah dan Zhahiriyah, mereka sepakat, bila seorang kafir
dzimmi meninggal di tengah-tengah kaum Muslimin, sedangkan di tempat itu tidak
ada orang kafir dzimmi lain yang mengurus mayatnya, maka kaum Musliminlah yang
menguburkannya, seperti ia diperlakukan dengan baik pada masa hidupnya. Hanya
saja madzhab Hanafiyah menambahkan, walaupun ia dikuburkan namun tidak diperlakukan
seperti mayat orang muslim; maksudnya, tidak dikafani dan tidak dibuatkan
lahad, hanya dimasukkan begitu saja ke dalam kubur.
Adapun perlakuan terhadap mayat kafir harbi
dan orang murtad, maka madzhab Syafi’iyah menyatakan tidak wajib bagi kaum
Muslimin menguburkan mayat mereka. Namun, bila hendak dikuburkan juga tidak
mengapa dengan tujuan agar kaum Muslimin tidak terganggu dengan bau busuk
bangkai mereka.
Sedangkan madzhab lainnya (Hanafiyah, Malikiyah,
Hambaliyah dan Zhahiriyah); bahwasanya pendapat mereka tetap sama dalam hal
perlakuan terhadap mayat kafir harbi atau orang murtad, sebagaimana pendapat
mereka dalam perlakuan terhadap mayat kafir dzimmi. [Ahkamul Maqabir fî
Syari’ah Islamiyah, hlm. 232-233]
Demikian beberapa dalil yang menunjukkan
perlakuan selayaknya pada mayat manusia.
Hukum Bedah Mayat
Dalam permasalahan ini, Majelis Ulama Besar
di Saudi Arabia telah melakukan pembahasan mengenai hal ini dalam muktamar
mereka ke sembilan tahun 1396 H / 1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan
sebagai berikut.
Untuk keperluan otopsi, baik otopsi
forensik maupun otopsi medis, maka Majelis Ulama Besar memutuskan, boleh
membedah mayat untuk keperluan tersebut. Dengan pertimbangan, adanya maslahat
yang besar dibalik otopsi ini. Karena, otopsi forensik bertujuan untuk
menegakkan hukum pidana sehingga terciptanya keamanan dalam masyarakat.
Sedangkan otopsi medis, bertujuan terjaganya masyarat dari penyakit mewabah.
Menurut pertimbangan majelis, kedua
maslahat ini lebih besar dibandingkan dengan mafsadat membedah mayat. Jadi,
bedah mayat untuk tujuan ini dibolehkan walaupun mayat tersebut adalah mayat
orang muslim ataupun mayat orang kafir ma’shum (yang dilindungi oleh hukum
Islam, seperti kafir dzimmi).
Adapun jenis bedah mayat yang kedua, yaitu
untuk belajar. Dalam hal ini majelis mempertimbangkan beberapa hal, di
antaranya:
• Bahwa syariat Islam datang dengan tujuan
membawa maslahat serta memaksimalkannya; dan menolak mafsadat serta
meminimalkannya.
• Bedah mayat untuk belajar medis ini ada
maslahat yang besar, seperti yang sudah diketahui terkait dengan kemajuan dalam
ilmu medis.
• Belum adanya hewan yang bisa menggantikan
jasad manusia guna memenuhi kebutuhan pembelajaran ini.
• Syariat Islam menghormati kemuliaan jasad
muslim, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati. Sedangkan proses
bedah mayat pasti memperlakukan jasad tidak sesuai dengan kehormatannya.
• Tidak adanya keperluan yang mendesak
untuk membedah mayat orang muslim karena memungkinkan untuk memperoleh mayat
orang kafir yang tidak ma’shum.
Dengan pertimbangan di atas, maka majelis
memutuskan tidak boleh membedah mayat orang Muslim ataupun orang kafir yang
ma’shum untuk pembelajaran ilmu kedokteran. Yang digunakan cukuplah mayat orang
kafir tidak ma’shum, seperti kafir harbi atau orang yang murtad.
Demikian keputusan Majelis Ulama Besar
Saudi Arabia tersebut.
Senada dengan pendapat majelis ini, Syaikh
Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah juga berfatwa yang sama mengenai hukum bedah
mayat untuk keperluan pembelajaran ilmu kedokteran. Beliau hanya membolehkan
pembedahan mayat kafir harbi dan mayat orang murtad saja. [Majmu’Fatawa, Syaikh
Bin Baz, 22/349-350]
Akan tetapi, yang sangat penting untuk
diperhatikan oleh dokter atau pelaksana bedah mayat lainnya, ialah landasan
dibolehkannya membedah mayat karena faktor yang mendesak kebutuhan. Oleh karena
itu, apabila suatu saat kebutuhan ini telah terpenuhi, maka kembali kepada
hukum asal bahwa seluruh jasad manusia tidak boleh dipotong-potong. Pendapat
ini disampaikan oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Muhammad Mukhtar Syinqithi dalam disertasi
doktoralnya, Ahkam Jirahah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha
(hukum-hukum Islam seputar operasi medis), halaman ke-112.
Begitu pula kaidah ini seharusnya
diterapkan dalam mengotopsi jenazah seorang Muslim; apabila sebab kematian
dapat diketahui dengan mudah tanpa harus otopsi, atau hanya perlu pembedahan
kecil, maka tidak boleh dibedah melebihi kebutuhan yang sebenarnya diperlukan.
Dalam keputusan Majelis Ulama Besar Saudi
Arabia memuat beberapa alasan yang memperkuat maslahat untuk membolehkan
membedah mayat. Di antara alasan tersebut sebagai berikut.
Pertama, Dibolehkan membedah mayat wanita
hamil untuk mengeluarkan janin yang kemungkinan besar akan hidup. Memang
permasalahan ini sudah diperdebatkan oleh Ulama dahulu, namun, menurut hemat
kami, pendapat paling kuat adalah yang membolehkannya. [Ahkam Jirahah
Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 216]
Kedua, Dibolehkan memakan mayat manusia dalam
keadaan kelaparan yang mendesak.
Dalam Raudhatuth-Thalibin (2/551)
disebutkan, “Apabila orang kelaparan sedangkan ia tidak mendapatkan makanan
kecuali mayat orang ma’shum, maka halal baginya untuk memakan mayat tersebut …
walaupun boleh, namun hanya dimakan sebatas untuk menyambung hidup (tidak
sampai kekenyangan) … daging mayat itu pun tidak boleh dimasak ataupun
dipanggang, harus dimakan mentah-mentah. Karena, dimakan dengan cara itu sudah
cukup untuk menyambung hidup…”.
Adapun masalah larangan memutilasi mayat
yang disebutkan dalam hadits di atas, ternyata, ada kalanya dibolehkan kalau
memang diperlukan. Seperti hukuman yang dijatuhkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada kaum Uraniyyin, dipotong tangan dan kaki mereka, ditusuk
mata mereka sampai buta dan dibiarkan sampai mati di bukit batu kota Madinah
(HR Muslim, no. 1671).[Ahkam Jirahah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha,
hlm. 118-119] Atau bisa juga dikatakan, bahwa larangan memutilasi mayat, kalau
hanya untuk main-main, bukan untuk suatu kebutuhan mendesak, seperti memotong
telinga untuk gantungan kunci dan lain-lain. Sedangkan dalam kasus ini, bedah
dilakukan untuk suatu maslahat besar.
Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar