Imam al-Bukhari dan yang
lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah
Ta’ala berfirman,
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ
غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ
أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga Jenis (manusia)
yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu:
seseorang yang memberi
dengan nama-Ku, kemudian berkhianat;
seseorang yang menjual
orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya;
dan seseorang yang
mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak
memberikan upahnya.”
Maka, bagi setiap majikan hendaklah ia
tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat
pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika
disepakati, gaji diberikan setiap bulannya, maka wajib diberikan di akhir bulan.
Jika diakhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak dzalim.
Allah Ta’ala berfirman
mengenai anak yang disusukan oleh istri yang telah diceraikan,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS.
Ath Tholaq: 6). Dalam ayat ini dikatakan bahwa pemberian upah itu segera
setelah selesainya pekerjaan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari
‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja
upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan
hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika
telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.
Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda
pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud
memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk
menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai
ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah
kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)
Menunda penurunan gaji pada pegawai
padahal mampu termasuk kedzaliman. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda penunaian kewajiban
(bagi yang mampu) termasuk kedzaliman” (HR. Bukhari no. 2400 dan
Muslim no. 1564)
Bahkan orang seperti ini halal
kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ
عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Orang yang menunda kewajiban,
halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no.
3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan).
Maksud halal kehormatannya, boleh saja
kita katakan pada orang lain bahwa majikan ini biasa menunda kewajiban
menunaikan gaji dan dzalim. Pantas mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja
ditahan karena kejahatannya tersebut.
Para ulama telah
menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya
setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang
sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan
bentuk kedzaliman. Di antara bentuk kedzalimannya adalah tidak memberikan sama
sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan,
terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur),
tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa membayar pekerjaan tambahan atau
waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan
kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran gaji dan
tidak memberikannya kecuali dengan usaha keras para pekerja dengan tujuan agar
para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada
yang bermaksud menggunakan upah pekerja tersebut untuk usahanya dan
mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak memiliki bahan
makanan untuk diri dan keluarganya.
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad
Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada para
pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu
setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena
mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”
Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang
wajib adalah majikan memberikan gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi jika ada kesepakatan dan sudah saling
ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir setelah satu atau dua tahun, maka
seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المسلمون على شروطهم
“Kaum muslimin wajib mematuhi
persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad
Daimah, 14: 390).
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Jibrin pernah ditanya : Apa nasehat anda
untuk para majikan yang menangguhkan upah para pekerjanya hingga tiga bulan
atau lebih?
Beliau menjawab: Kami nasehatkan agar
mereka tidak melakukan itu karena merugikan para pekerja itu, bahkan perbuatan
ini merupakan kezhaliman yang besar dan perusakan terhadap hak-hak mereka.
Sebagaimana para majikan itu tidak rela hal ini terjadi pada diri mereka,
walaupun kebutuhannya sedikit, maka demikian juga para pekerja miskin itu,
mereka sangat membutuhkan upah yang sedikit itu. Kami lihat para karyawan
pemerintah, saat menjelang akhir bulan, mereka bersiap-siap untuk menerima
gaji, jika terlambat, mereka marah dan bersikap kasar saat memintanya. Telah
disebutkan dalam sebuah hadits sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah 2443).
Yakni sebelum berlalu waktunya walaupun
sedikit
Tidak diragukan lagi, bahwa
menangguhkannya hingga dua bulan atau lebih akan menyulitkan orang-orang miskin
itu, lebih-lebih lagi mereka megemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan
diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada
kelaparan, kesulitan, tidak adanya pakaian, pinjaman dan utang. Sungguh ini
merupakan kezhaliman yang besar. Maka hendaknya para majikan senantiasa
mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka
ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan.
Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas
antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi. Wallahu ‘alam
[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala
wal Amilin, hal. 63 Syaikh Ibnu Jibrin]
Jangan Membebani
Pekerjaan Diluar Kesepakatan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Jibrin pernah ditanya : Bagaimana hukumnya majikan yang membebani pekerja
dengan lebih dari satu pekerjaan, misalnya, tukang ukir dituntut untuk
mengerjakan pekerjaan lainnya. Apakah ini dibolehkan? Padahal ia datang hanya
untuk satu pekerjaan saja.
Beliau menjawab : Hal ini merujuk kepada
kesepakat awal. Jika didatangkan untuk bekerja sebagai satpam, maka tidak boleh
dipindah tugaskan sebagai sopir. Jika ia datang untuk bekerja sebagai teknisi
listrik, maka tidak boleh ditugaskan menjahit. Jika ia datang untuk bekerja di
lading tidak boleh dipekerjakan di pabrik. Jika ia datang untuk bekerja sebagai
tukang bangunan, maka tidak boleh ditugasi pekerjaan tehnikal, dan sebagainya.
Karena masing-masing mereka memiliki keahlian tersendiri, maka dari itu majikan
harus menepati janjinya dan tidak membebani pekerja dengan tugas yang tidak
mampu dikerjakannya atau tidak dikuasainya dan bukan bidangnya. Juga tidak
boleh memberatkannya dengan panjangan waktu kerja. Biasanya , pekerja itu
bekerja selama tujuh atau delapan jam per hari. Jika telah disepakati suatu
pekerjaan tertentu dengan jam kerja tertentu serta masa kerja tertentu, maka
tidak boleh dilanggar.
Tetapi jika sama-sama rela untuk merubah
bidang pekerjaan, atau mengurangi atau menambah pekerjaan dengan konsekwensi
menambah atau mengurangi upah, maka itu terserah kesepakatan antara keduanya.
Jika tidak ada kesepakatan baru, maka pekerja itu harus diberi insentif
tambahan karena adanya tambahan pekerjaan dari yang telah disepakati. Wallahu
a’lam
[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala
wal Amilin, hal. 56 Syaikh Ibnu Jibrin]
Bagaimana Hukum Memberi Upah di Bawah UMR
Misalnya seseorang memiliki
pembantu rumah tangga, atau pekerja, apakah harus menggajinya sesuai UMR?
Bolehkah di bawah UMR tergantung kesepakatan. Dengan pertimbangan, UMR terlalu
besar nilainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar
setiap muslim memenuhi setiap perjanjian dan kesepakatan yang mereka buat.
Selama kesepakatan itu, tidak melanggar aturan syariat, seperti kesepakatan
yang memaksa orang untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ
حَلَالًا ، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Semua kaum muslimin harus
sesuai dengan kesepakatan mereka. Kecuali kesepakatan yang mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram. (HR. Turmudzi
1352, Abu Daud 3594, dan dishahihkan al-Albani).
Dan diantara bentuk
kesepakatan yang tidak tertulis adalah ‘urf (tradisi) yang berlaku di
masyarakat.
Ada kaidah
mengatakan,
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
Apa yang menjadi
tradisi dan kesepakatan masyarakat, itu seperti kesepakatan yang
dipersyaratkan. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqhiyah, hlm. 306).
Artinya, ketika
seseorang melakukan akad dengan kliennya, mereka dibatasi dengan tradisi yang
berlaku dimasyarakatnya. Meskipun tradisi itu tidak tertulis dalam perjanjian.
Sebagai contoh, si A meminta tukang untuk memperbaiki rumahnya. Si A menyewa tukang selama 3 hari. Berapa jam tukang ini harus bekerja? Dan apakah ada uang makan, uang jajan yang harus dia terima selama bekerja? Ini semua kembali kepada ‘urf (tradisi) yang berlaku di masyarakat. Meskipun ketika akad, sama sekali tidak ada kesepakatan itu.
UMR (Upah Minimum Regional)
Pemerintah
menetapkan UMR, salah satu tujuannya adalah untuk membangun ‘urf, agar ketika
tidak ada kesepakatan antara pekerja dengan atasan mengenai upah, bisa
dikembalikan ke ‘urf yang berlaku.
Yang menjadi
pertanyaan, bolehkah seseorang keluar dari ‘urf?
Secara hukum
syariat, keluar dari ‘urf diperbolehkan, namun harus dinyatakan dalam
kesepakatan di depan. Sehingga tidak menimbulkan sengketa.
Sebagai contoh,
Menurut ‘urf, tukang di tempat kita bekerja dari jam 8.00 sampai jam 17.00. meskipun demikian, pemilik rumah dibenarkan meminta tukang untuk bekerja dari jam 7.00 sampai jam 20.00, dengan mengganti biaya lembur. Dan ketentuan yang menyimpang dari ‘urf ini harus dinyatakan di depan.
Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Potongan hak,
harus sesuai dengan kesepakatan.” (al-Fatawa al-Kubro, 3/124).
Membayar Upah di Bawah Upah
Minimum
Terlepas dari hukum
yang berlaku di negara kita, memberi upah di bawah UMR, selama itu disepakati,
hukumnya dibolehkan. Artinya, upah itu diberikan tanpa mengikuti ‘urf yang
berlaku di masyarakat.
Hanya saja, setiap
warna negara, ada kewajiban untuk mengikuti aturan dan perundangan dalam
negara.
Sementara itu,
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; pengusaha
dilarang membayarkan upah pekerja di bawah upah minimum.
Kemudian Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum;
Pada pasal 90 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah
minimum (UM) berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota (yang sering
disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada
wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).
Kami tidak tahu,
sejauh mana ikatan undang-undang ini berlaku di masyarakat. Apakah berlaku
untuk semua karyawan, termasuk asisten rumah tangga? Apakah boleh ada
pengecualian, ahli hukum nasional yang lebih paham tentang hal ini.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar