Saya dapat BC seperti ini:
Bersabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa selama hidupnya
pernah meninggalkan sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka
sholatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1x
tasyahud (tasyahud akhir saja), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian
surat Al-Qadar 15 X dan surat Al-Kautsar 15 X .
Niatnya: ” Nawaitu Usholli arba’a raka’atin kafaratan
limaa faatanii minash-shalati lillaahi ta’alaa”
Sayidina Abu Bakar ra. berkata ” Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “Sholat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) sholat
400 tahun dan menurut Sayidina Ali ra. sholat tersebut sebagai kafaroh 1000
tahun.
Maka shohabat bertanya :” umur manusia itu hanya 60 tahun
atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?”.
Rasulullah SAW menjawab: ” untuk kedua orangtuanya, untuk
istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang yang
didekatnya/ lingkungannya”
Apakah ini benar adanya? Mohon pencerahan…
Jawab
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa
ba’du,
Shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya
Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang
beriman yang telah ditetapkan waktunya.” (QS.
An-Nisa: 103).
Dalam shalat wajib, ada batas awal dan ada batas akhir.
Orang yang mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana
orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga batal.
Sehingga hukum asal shalat wajib harus dikerjakan pada
waktu yang telah ditentukan. Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini,
kecuali karena ada sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti alasan bolehnya
menjamak shalat.
Alasan lain yang membolehkan seseorang shalat di luar
waktu adalah ketika dia memiliki udzur di luar kesengajaannya. Seperti karena
ketiduran atau kelupaan.
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا،
فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga
terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia
ingat.” (HR. Ahmad 11972 dan Muslim 1600).
Dan itulah satu-satunya kaffarah yang diizinkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia harus segera shalat ketika ingat atau ketika bangun.
Selain cara itu, tidak ada kaffarah baginya.
Dalam riwayat lain, juga dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا
ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika
ingat. Tidak ada kaffarah untuk menebusnya selain itu.” (HR.
Bukhari 597 & Muslim 1598)
Kita bisa simak, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menegaskan,
لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Tidak ada kaffarah untuk menebusnya selain itu.”
Artinya, tidak ada model kafarah lainnya. Sehingga kita
bisa meyakini bahwa riwayat di atas 100% dusta atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dusta atas nama Abu Bakr dan Ali radhiyallahu
‘anhu.
Disebutkan dalam hadis yang lain bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para
shahabat. Di malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat.
Namun mereka kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam karena sinar matahari.
Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar
azan dikumandangkan. Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah subuh, kemudian
beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat
subuh berjemaah. Para sahabatpun saling berbisik, ‘Apa penebus untuk kesalahan
yang kita lakukan karena telat shalat?’ Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ
تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى
يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ
يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan
shalat. Yang disebut menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat,
hingga masuk waktu shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingga telat shalat
maka hendaknya dia laksanakan ketika bangun…” (HR.
Muslim 1594)
Jika Meninggalkan dengan Sengaja, tidak ada Kaffarahnya
Konsekuensi dari keterangan di atas, orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak ada kaffarah baginya. Karena
hakekatnya dia shalat di luar waktu. Sementara dia tidak memiliki udzur, karena
dia lakukan secara sengaja.
Lalu bagaimana cara menebus kesalahan karena meninggalkan
shalat dengan sengaja?
Cara menebusnya adalah dengan memperbanyak shalat sunah.
Karena shalat sunah bisa menambal kekurangan dari shalat wajib yang dilakukan
hamba ketika di hari hisab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita
proses hisab amal hamba,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ
وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى
أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ
كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ
فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ
تَطَوُّعِهِ
Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari
kiamat adalah shalat. Allah bertanya kepada para Malaikatnya – meskipun Dia
paling tahu – “Perhatikan shalat hamba-Ku, apakah dia mengerjakannya dengan
sempurna ataukah dia menguranginya?” Jika shalatnya sempurna, dicatat sempurna,
dan jika ada yang kurang, Allah berfirman, “Perhatikan, apakah hamba-Ku
memiliki shalat sunah?.” jika dia punya shalat sunah, Allah perintahkan,
“Sempurnakan catatan shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunahnya.” (HR. Nasai
465, Abu Daud 864, Turmudzi 415, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Berdasarkan hadis ini, para ulama menganjurkan, bagi
siapa saja yang meninggalkan shalat wajib, agar segera bertaubat dan perbanyak
melakukan shalat sunah. Dengan harapan, shalat sunah yang dia kerjakan bisa
menjadi penebus kesalahannya.
Syaikhul Islam mengatakan,
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ، ولا تصح
منه ، بل يكثر من التطوع ، وهو قول طائفة من السلف
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak
disyariatkan meng-qadhanya. Dan jika dilakukan, shalat qadhanya tidak sah.
Namun yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan
pendapat sebagian ulama masa silam.” (Al-ikhtiyarot, hlm. 34).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Hazm,
من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها فهذا لا يقدر
على قضائها أبداً، فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع؛ ليُثَقِّل ميزانه يوم
القيامة؛ وليَتُبْ وليستغفر الله عز وجل
“Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar
waktunya, maka selama dia tidak bisa mengqadha’-nya. Hendaknya dia memperbanyak
amal soleh dan shalat sunah, agar memperberat timbangannya keelah di hari
kiamat. Dia harus bertaubat dan banyak istighfar.” (al-Muhalla, 2/279).
Bahaya Menyebarkan Berita Dusta atas Nama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seiring dengan semaraknya sarana informasi, manusia
begitu mudah menyebarkan apapun yanng dia dengar. Termasuk hadis-hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kita sangat yakin, maksud mereka baik, memotivasi
masyarakat untuk beramal. Namun jangan sampai ini menjadi alasan untuk
melakukan menyebarkan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dari Mughirah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى
أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku, tidak seperti
berdusta atas nama orang lain. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR.
Bukhari 1291 & Muslim 5)
Demikian pula ketika kita mendapat berita atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang diragukan keabsahannya, jangan disebarkan.
Karena itu terhitung berdusta. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى
أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia
menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta
(karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya
pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga Ibnu
Majah 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar