Allah mengingatkan kepada orang yang
beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan
tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat.
Alah berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65).
Dalam ilmu hukum, kita diajarkan, jika hukum
yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka hukum yang
lebih tinggi harus dikedepankan.
Hukum syariat datang dari Allah,
sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum
syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya
datang jauh setelah itu.
Secara hierarki, hukum syariat jauh
lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan.
Karena itulah, tradisi yang melanggar
syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.
Kaidah Pokok Tukar-menukar Uang
Dalam kajian ekonomi islam, kita
diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah). Dan
barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan
garam.
Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam
hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak
ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur,
gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma,
garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda
yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan
tunai” (HR. Muslim 4147).
Dalam riwayat lain, Dari Abu Said
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas ditukar dengan emas, perak
ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar)
ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan
garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil
maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)
Juga disebutkan dalam riwayat dari
Ma’mar bi Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً
بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.
“Jika makanan dibarter dengan makanan
maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan,
“Makanan pokok kami
di masa itu adalah gandum syair” (HR.
Muslim 4164).
Berdasarkan hadis di atas,
Dari keenam benda ribawi di atas, ulama
sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:
[1] Kelompok 1:
Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelompok
pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman
kita.
[2] Kelompok 2:
Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam.
Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan
(al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.
Aturan Baku yang Berlaku
Dari hadis di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib
sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan
rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ
takarannya harus sama, ukurannya sama
dan dari tangan ke tangan (tunai).
Dan jika dalam transaksi itu ada
kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ
فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang
memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih
satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh
beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata
uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ
الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika benda yang dibarterkan berbeda maka
takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”
Terdapat kaidah,
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل
والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط
Apabila barang ribawi ditukar dengan
yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis,
wajib tunai.
Ketiga, jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak
ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai.
Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar
dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha.
Karena itulah apabila salah satu
persyaratan ini tidak terpenuhi, maka akad ini dikategorikan riba bai’. Riba
ba’i yaitu: riba yang objeknya adalah akad jual-beli.
Riba ini terbagi 2:
Pertama, Riba fadhl yaitu menukar (emas, perak, dan mata uang)
dengan yang sejenis dan ukuran berbeda.
Misalnya: menukar 10 gr emas 22 karat
dengan 11 gr emas 20 karat.
Kedua, Riba nasi’ah: menukar salah satu harta riba dengan harta
riba lainnya yang sejenis atau berlainan jenis akan tetapi ‘illat-nya
sama (sama-sama alat tukar) dengan cara tidak tunai.
Misalnya: menukar 10 gr emas batangan
dengan 10 gr kalung emas tidak tunai, termasuk hal ini adalah beli emas secara
kredit.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
para ulama bahwa serah-terima komoditi riba disyaratkan tunai dan disyaratkan
sama ukurannya bila ditukar dengan komoditi yang sejenis, dan bila berlainan
jenis dan masih satu illat disyaratkan tunai saja
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Ijma’ ini
dinukil oleh An Nawawi (al-Majmu’, jilid X, hal 40).
Ibnu Munzir mengatakan, “Para ulama
sepakat bahwa dua orang yang saling menukar uang bila berpisah sebelum
melakukan serah-terima uangnya maka transaksinya tidak sah.” (al-Ijma’,
hal 92).
Penukaran Uang Baru di
Bank dengan Uang Jasa (Fee)
Akhir-akhir ini banyak semarak menukar
uang baru di Bank, namun penukarannya ada jasa fee, misalnya: untuk
penukaran uang baru 1 Juta (fee = Rp 25.000).
Hukum Penukaran Uang tersebut adalah termasuk riba fadhl
(riba karena kelebihan).
Jika uang itu sejenis, misalnya: rupiah
dengan rupiah, maka barter harus senilai tanpa ada selisih, dan
tukar menukar dilakukan di tempat transaksi. jika ada selisih maka itu haram
karena termasuk riba fadhl.
Dalilnya adalah hadits Abu Said
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu diatas, dimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas ditukar dengan emas, perak
ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar)
ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan
garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil
maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)
Para ulama mengqiyaskan (analogi)
uang zaman sekarang dengan emas atau perak, sehingga hukum penukaran
uang itu sama dengan tukar menukar emas dan
perak.
Tukar Menukar Uang Receh
Menjelang Lebaran
Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi
di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100rb ditukar
dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk
transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.
Karena rupiah yang ditukar dengan
rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan
tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ
فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang
memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Riba tetap Riba, sekalipun
Saling Ridha
Bagaimana jika itu dilakukan saling
ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang
jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.
Dalam transaksi haram, sekalipun
pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini
diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena
melanggar aturan syariat.
Orang yang melakukan transaksi riba,
sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.
Transaksi jual beli khamr atau narkoba,
hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.
Bagaimana dengan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)
Ayat ini kita yakini benar. aturannya
juga benar. Namun Saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang
disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang halal. Seperti
jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba, tidak
berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah
hukum.
Itu Upah Penukaran Uang
Ada yang beralasan, kelebihan itu
sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus
bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.
Jelas ini alasan yang tidak benar.
Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank. tapi
yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang.
Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.
Misalnya, Pak Bos meminta Paijo
menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita
bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2
juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah
berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.
Sementara kasus tukar menukar ini
niainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi
riba, dan bukan upah.
Sayangi Pahala Puasa Anda
Riba termasuk salah satu dosa besar.
Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.
Allah berfiman,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Jika kalian tidak meninggalkan riba,
maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279)
Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,
يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ
لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلحَرْبِ
Besok di hari kiamat para pemakan riba
akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/716)
Dalam hadis, dosa riba disetarakan
seperti berzina dengan ibunya
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلَاثَةٌ
وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه
Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang
paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).
Karena itulah, para salaf menyebut dosa
riba lebih parah dari pada zina,
Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ
الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً
Satu dirham riba yang dimakan seseorang,
sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)
Sementara dosa dan maksiat adalah sumber
terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita miliki
berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi sangat
tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita
kerjakan.
Semacam inilah yang pernah diingatkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih
riwayat Bukhari dan yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu
‘anhu, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ
الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan
dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa)
meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903)
Ketika ada orang yang berzina di malam
ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya?
Bisa jadi hilang semua pahalanya.
Apa yang bisa anda bayangkan, ketika
orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih sangar dari pada zina,
dilakukan terang-terangan di siang bolong Ramadhan?
Jual Beli Mata Uang
Kuno (Semisal uang Rp. 1)
Bagaimana hukum jual beli uang kuno?
Semisal terjadi transaksi pembelian uang kuno Rp. 1, dihargai Rp. 15.000,
. Apakah ini dikategorikan sebagai riba?? Karena belakangan ini
banyak mahar yang menggunakan angka satuan rupiah (semisal 14rupiah).
Pertama, diantara aturan tukar menukar uang yang sama adalah
harus dilakukan secara tunai dengan nilai nominal yang sama. Misalnya, Rp
20.000 ditukar dengan pecahan Rp 5.000. Proses tukar harus dilakukan tunai,
dengan nilai nominal yang sama. Rp 20.000 satu lembar, ditukar dengan Rp 5.000
sebanyak empat lembar. Jika hanya diserahkan Rp 5.000 sebanyak 3 lembar, dan
yang satu lembar menyusul, hukumnya dilarang, karena termasuk transaksi riba.
Berbeda jika rupiah ditukar dengan mata
uang asing. Misal, dengan dollar. Proses tukar menukar harus tunai, meskipun
nilai nominalnya beda. Misal, $1 ditukar dengan Rp 10.000. Ini boleh, yang
penting tunai.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا
إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Emas ditukar dengan emas adalah riba,
kecuali tunai di majlis akad. (HR. Bukhari 2134)
Kemudian dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ
بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ،
وَلاَ تَبِيعُوا الوَرِقَ بِالوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا
بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
Janganlah kalian menjual emas dengan
emas, kecuali beratnya sama. Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat
lainnya. Janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali beratnya sama.
Jangan melebihkan berat yang satu melebihi berat lainnya. Dan janganlah menukar
emas-perak yang satu tunai sementara yang satu terhutang. (HR. Bukhari 2177).
Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan aturan tukar menukar emas dan perak.
Bahwa jika emas ditukar dengan emas, atau perak ditukar dengan perak maka
beratnya harus sama dan tunai. Sementara untuk pertukaran yang berbeda,
misalnya emas dengan perak, boleh ada selisih berat, namun tetap harus
dilakukan secara tunai.
Emas dan perak merupakan mata uang di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.
Karena itu, para ulama menegaskan bahwa aturan transaksi tukar menukar uang
kartal, mengikuti aturan transaksi tukar menukar emas dan perak.
Kedua, apa illah (alasan yang melatar belakangi) dilarangnya
tukar menukar emas atau perak yang tidak sama beratnya atau tidak dilakukan
secara tunai?
Ulama berbeda pendapat tentang illah
larangan ini. Ada 3 pendapat besar dalam kasus ini,
1. Illahnya adalah al-wazn
(timbangan). Artinya, emas dan perak dilarang untuk ditukar kecuali dengan
aturan khusus, karena kedua benda ini ditimbang. Ini merupakan pendapat
an-Nakhai, az-Zuhri, ats-Tsauri, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Namun ini pendapat yang tidak kuat.
Karena jika illahnya adalah karena emas dan perak itu adalah karena timbangan,
tentu aturan di atas berlaku untuk semua benda yang ditimbang lainnya, seperti
tembaga, bahan makanan, minyak, dst. Padahal ulama sepakat bahwa jual beli
semacam ini boleh dilakukan secara kredit.
2. Illahnya adalah ghalabah
tsamaniyah (yang umumnya dijadikan mata uang). Artinya, aturan tukar
menukar yang rumit itu, hanya berlaku untuk benda yang umumnya dijadikan
sebagai mata uang. Dan umumnya adalah emas atau perak. Ini merupakan pendapat
yang masyhur dari Imam Malik dan Imam as-Syafii.
Namun pendapat ini juga tidak benar,
karena dengan menyatakan bahwa illahnya adalah ghalabah tsamaniyah, ini akan
sangat membatasi berlakunya aturan tersebut. Karena illah yang tidak bisa
dikembangkan untuk kasus yang lain, tidak bisa untuk dijadikanillah. Disamping
hikmah larangan adanya riba dalam tukar menukar mata uang, bukan hanya khusus
untuk emas dan perak saja.
3. Illahnya adalah muthlaq tsamaniyah
(semua benda yang dijadikan mata uang). Artinya, aturan tukar menukar yang
rumit itu, berlaku untuk semua benda yang dijadikan sebagai mata uang. Meskipun
berupa kertas atau logam lainnya. Ini dalah satu pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam malik, dan Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikhul
Islam dan Ibnul Qoyim.
Pendapat ketiga inilah yang lebih
mendekati kebenaran, karena illah ini mencakup seluruh mata uang, yang itu
merupakan sasaran terjadinya riba.
Sumber: Fatwa Lajnah Daimah http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=17&PageNo=1&BookID=1
Ketiga, setelah kita menyimpulkan bahwa illah aturan yang rumit
untuk emas adalah karena statusnya sebagai mata uang, maka semua benda yang
berstatus sebagai mata uang, berlaku aturan itu. Sebaliknya, benda yang dulunya
mata uang, namun saat ini tidak lagi diberlakukan dan menjadi uang antik, tidak
berlaku aturan di atas.
Berdasarkan keterangan di atas, mata
uang kuno, yang tidak lagi menjadi alat tukar dan masyarakatpun tidak lagi
menerimanya, boleh diperjual belikan meskipun dengan nilai yang lebih besar.
Misal, uang kuno Rp 1, dijual dengan harga 10 ribu.
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya tentang hukum jual beli uang kuno.
Jawaban beliau,
ليس فيه بأس ؛ لأن العملة
القديمة أصبحت غير نقد ، فإذا كان مثلاً عنده من فئة الريال الأولى الحمراء أو من
فئة خمسة أو عشرة التي بطل التعامل بها وأراد أن يبيع ذات العشرة بمائة فلا حرج ؛
لكونها أصبحت سلعة ليست بنقد ، فلا حرج
Tidak masalah. Karena mata uang kuno,
sudah bukan lagi alat tukar. Misalnya ada orang yang memiliki beberapa lembar
mata uang real dulu, yang warnanya merah, atau uang 5 atau 10 real yang tidak
lagi diberlakukan untuk alat tukar, kemudian dia hendak menjual 10 real itu
dengan 100 real, hukumnya boleh. Karena uang kuno semacam ini sudah menjadi
barang dagangan, dan bukan mata uang, sehingga tidak masalah. (Liqa’at Bab
Maftuh, 233/19).
Hukum Jual Beli Valas
Online
Telah kita ketahui bahwa tukar-menukar
emas dengan emas, emas dengan uang, atau uang dengan uang yang sejenis atau
berlainan jenis dinamakan oleh para ulama dengan sharf. Yang disyaratkan harus
tunai, serta harus sama nominalnya jika ditukar sejenis. Dan bila berlainan
jenis hanya disyaratkan tunai saja. Bila salah satu persyaratan ini tidak
terpenuhi, maka akad ini dikategorikan riba bai’. Lihat keterangan tentang
riba ba’i ini diatas.
Apakah Uang Kartal Dapat
Disamakan dengan Emas dan Perak?
Emas dan perak yang merupakan mata uang
utama di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat disamakan
dengan mata uang sekarang. Keterangan ini merupakan hasil keputusan para ulama
se-dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam Islami (Muslim World League) dalam
muktamar ke V di Mekkah pada tahun 1982, dinyatakan, “Berdasarkan penelitian
yang diajukan kepada Majelis Lembaga Fikih Islam tentang uang kartal (real
money) serta hukumnya menurut syariat, setelah ditelaah, dikaji, dan
didiskusikan oleh para anggota majlis, maka diputuskan sebagai berikut:
Pertama: berdasarkan bahwa asal uang adalah emas dan perak, dan
berdasarkan illat berlakunya riba pada emas dan perak adalah
mutlaq tsamaniyah (sebagai alat tukar) menurut pendapat ulama
yang terkuat. Dan berdasarkan pendapat ulama bahwa mutlaq tsamaniyah tidak
terbatas pada emas dan perak saja, sekalipun statusnya adalah logam mulia yang
menjadi patokan.
Dan berdasarkan bahwa uang kartal pada
masa sekarang dianggap sebagai alat tukar, menggantikan emas dan perak, dan
sebagai alat ukur harga, karena tidak ada lagi orang yang menggunakan emas dan
perak sebagai alat tukar. Dan uang kartal telah dipercaya orang untuk
menginvestasikan, dan menyimpan hartanya, serta digunakan sebagai alat pembayar
kewajiban, sekalipun nilai uang kartal bukan pada zat fisiknya, akan tetapi
nilainya berasal dari kepercayaan pengguna untuk dipindahtangankan, dari hal
itulah sifat tsamaniyah (nilai) dihasilkan. Dan karena
pendapat yang terkuat tentang illat riba pada emas dan perak
adalah mutlaq tsamaniyah dan hal itu terdapat pada
uang kartal.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka
majlis memutuskan bahwa uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri. Hukum
uang kartal sama dengan uang emas dan perak, maka wajib mengeluarkan zakat dari
uang kartal. Riba fadhl dan nasi’ah juga berlaku pada uang kartal, layaknya
emas dan perak, maka hukum-hukum yang berkenaan dengan emas dan perak juga
berlaku pada uang kartal.
Kedua: uang kartal adalah uang yang berdiri sendiri, sama seperti
uang emas dan perak. Uang kartal terdiri dari berbagai jenis, sesuai dengan
jenis negara yang mengeluarkannya. Maka mata uang Arab Saudi satu jenis, mata
uang Amerika jenis yang lain, dan seterusnya setiap mata uang sebuah negara
merupakan jenis tersendiri.
Dengan demikian, dapat terjadi riba
fadhl dan nasi’ah pada setiap mata uang sebagaimana terjadi riba fadhl dan
nasi’ah pada uang emas dan perak.
Konsekuensi dari keputusan ini adalah
sebagai berikut:
a.
Tidak boleh menukar satu mata uang dengan mata uang negara
yang lain, atau dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai.
Misalnya:
Menukar Riyal Arab Saudi
dengan mata uang lain dengan cara tidak tunai (serah-terima kedua mata uang
tidak di tempat akad berlangsung), tidak dibolehkan.
b.
Tidak boleh menukar uang menjadi pecahan dalam satu mata uang
dengan nominal yang berbeda, sekalipun dilakukan tunai.
Misalnya:
Satu lembar nominal S.R.
10.00 ditukar dengan 11 lembar nominal S.R. 1.00 tidak boleh.
c.
Boleh menukar mata uang yang berlainan jenis berbeda
nominalnya dengan syarat berlangsung tunai.
Misalnya:
Menukar 1 Dollar Amerika
dengan 3 Riyal Saudi dengan cara tunai dibolehkan.
Ketiga: wajib mengeluarkan zakat uang kartal bila nominalnya
senilai salah satu nishab zakat emas atau perak, atau menggenapkan nishab
bersama harta yang lain seperti harta perniagaan.
Keempat: boleh menjadikan uang kartal sebagai modal pada akad
jual-beli salam dan sebagai modal dalam berserikat. Wallahu a’lam.
Demikian juga keputusan Muktamar ke III
para ulama Islam se-dunia di bawah OKI yang diselenggarakan di Amman, Yordania
pada tahun 1986.
Dengan demikian, maka 1 lembar uang Rp
100.000,00 harus ditukar dengan nominal uang rupiah pecahan yang sama (dengan
10 lembar uang Rp10.000,00) dan harus tunai. Bila tidak tunai maka terjadilah
riba nasi’ah.
Dari hasil keputusan muktamar di atas,
maka 100 Dollar Amerika boleh ditukar dengan, misalnya, Rp 900.000,00 dengan
syarat harus tunai.
Begitu juga jual-beli emas. Tidak boleh
membeli emas dengan cara kredit. Karena antara emas dan uang kartal illat-nya
sama yaitu: tsamaniyah, hanya jenisnya yang berbeda. Maka disyaratkan
antara barang emas dan uang harus diserahkan-terimakan tunai di majelis akad
berlangsung (Dr. Sulaiman At Turki, Ba’i taqsith wa Ahkamuhu, hal
141).
Juga termasuk riba ba’i membeli emas
dengan cara memberikan uang muka/DP (down payment) kemudian melunasi
sisanya pada waktu yang ditentukan dan emas diterima.
Kasus tentang jual beli emas dengan
membayar DP saja pernah ditanyakan kepada lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi,
nomor fatwa: 3211, berbunyi,
Pertanyaan: Seorang pelanggan datang ingin membeli emas ke tokoku, ia
hanya membawa uang tunai cukup untuk bayar DP saja. Ia berkata, “Saya beli emas
yang ini, saya hanya bawa DP saja, mohon emasnya disisihkan dan ini uangnya!
Nanti saya datang untuk melunasinya”. Beberapa waktu kemudian ia datang
melunasi dan menerima emas tersebut. Apa hukum jual-beli ini?
Jawab: Jual-beli ini tidak dibolehkan, karena serah-terima barang
tidak tunai”. (Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 476.)
Termasuk bentuk riba ba’i membeli emas
via internet. Di mana pembeli melakukan transaksi beli emas melalui website
dari salah satu pedagang emas (dinar) dan membayar tunai harganya dengan
fasilitas kartu kredit atau internet banking. Setelah transaksi jual beli
dilakukan, pedagang mengirimkan emas yang dipesan ke pembeli, yang tentunya
akan diterima pembeli setelah beberapa waktu transaksi dilakukan. Ini termasuk
riba ba’i karena illat emas dan uang kartal adalah sama.
Namun, serah terima barang dan uang tidak tunai. Uang sudah diterima penjual,
sementara pembeli belum emas tersebut.
Juga termasuk riba ba’i yaitu jual-beli
emas melalui telepon, karena serah-terima komoditi riba yang sama illat-nya
tidak tunai.
Hal ini pernah ditanyakan kepada lembaga
fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa No. 3211, yang berbunyi,
Soal: Terkadang pemilik toko emas membeli emas dalam jumlah besar
dari salah satu agen emas di luar kota melalui telepon, dan jenis emas yang
dipesan jelas. Setelah terjadi kesepakatan harga, kemudian pembeli mengirim
uang kepada penjual melalui transfer rekening bank, apakah transaksi ini
dibolehkan, atau apa yang harus dilakukan?
Jawab: Transaksi ini hukumnya tidak boleh, karena serah-terima
barang emas dan uang tidak tunai, padahal keduanya adalah komoditi riba.
Transaksi ini termasuk riba nasi’ah, hukumnya haram. Solusinya, pada saat uang
diterima, akad jual-beli diulang kembali agar akad berlangsung tunai. (Fatawa
Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 475).
Bentuk Jual Beli yang Tidak Mengindahkan
Kaedah di Atas
1. Transaksi Spot
Transaksi spot adalah transaksi
pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu
(over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua
hari.
Comment: Transaksi ini tidak memenuhi
syarat penukaran mata uang, yaitu harus tunai (berlangsung sebelum berpisah
dari majelis akad).
2. Transaksi Forward
Transaksi forward adalah transaksi
pembelian dan penjualan valuta asing (valas) yang nilainya ditetapkan pada saat
sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam
sampai dengan satu tahun.
Comment: Transaksi ini jelas tidak dibolehkan
karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan
penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan
tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.
Dengan melihat semua keterangan diatas,
maka bisnis valas secara online yang disebut dengan forex adalah bisnis
yang diharamkan. Yang demikian itu karena pembayaran pada bisnis cara ini tidak
dilakukan dengan kontan dan lunas, akan tetapi pembeli hanya membayarkan
beberapa persen dari total valas yang ia beli sebagai jaminan, dan pada
penutupan pasar valas di akhir hari atau pada akhir tempo yang disepakati oleh
keduanya, mereka berdua mengadakan perhitungan untung atau rugi selaras dengan
pergerakan nilai tukar kedua mata uang yang diperdagangkan.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar