Witir secara bahasa berarti
ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya
Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no.
6410dan Muslim no. 2677)
Sedangkan yang dimaksud
witir pada shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya’ dan
terbitnya fajar (masuknya waktu Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat
malam.
Mengenai shalat witir apakah
bagian dari shalat lail (shalat malam/tahajud) atau tidak, para ulama
berselisih pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian
dari shalat lail dan ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.
Hukum Shalat Witir
Menurut mayoritas ulama,
hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah
yang amat dianjurkan).
Namun ada pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa
shalat witir itu wajib bagi orang yang punya
kebiasaan melaksanakan shalat tahajud.[1] Dalil
pegangan beliau barangkali adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah
akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998
dan Muslim no. 751)
Waktu Pelaksanaan Shalat
Witir
Para ulama sepakat bahwa
waktu shalat witir adalah antara shalat Isya hingga terbit fajar. Adapun jika
dikerjakan setelah masuk waktu shubuh (terbit fajar), maka itu tidak
diperbolehkan menurut pendapat yang lebih kuat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ
صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat
malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan
masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup)
bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990
dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)
Ibnu ‘Umar mengatakan,
مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ
فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ »
“Barangsiapa
yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah akhir shalat malamnya adalah
witir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Dan
jika fajar tiba, seluruh shalat malam dan shalat witir berakhir, karenanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat witirlah kalian
sebelum fajar”. (HR. Ahmad 2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu manakah waktu shalat
witir yang utama dari waktu-waktu tadi?
Jawabannya, waktu yang utama
atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam terakhir.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى
السَّحَرِ.
“Kadang-kadang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya
dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan
witir hingga tiba waktu sahur.” (HR.
Muslim no. 745)
Disunnahkan –berdasarkan
kesepakatan para ulama- shalat witir itu dijadikan akhir dari shalat lail
berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah
akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998
dan Muslim no. 751)
Yang disebutkan di atas
adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat) bangun di akhir malam. Namun jika
ia khawatir tidak dapat bangun malam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat
witir sebelum tidur. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ
لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ
فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Siapa di
antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir
dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam,
hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh
para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.” (HR. Muslim no. 755)
Dari Abu Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ
» قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ».
قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ».
وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, ” Kapankah kamu
melaksanakan witir?” Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan
malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, “Kapankah kamu melaksanakan witir?”
Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata
kepada Abu Bakar, “Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati.” Dan kepada Umar
beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat.” (HR. Abu Daud
no. 1434 dan Ahmad 3/309. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Jumlah Raka’at dan Cara
Pelaksanaan
Witir boleh dilakukan satu,
tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.
Pertama: witir dengan satu raka’at.
Cara seperti ini dibolehkan
oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan dengan satu raka’at. Dalilnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ
فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“Witir
adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan
witir lima raka’at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang
hendak melakukan witir tiga raka’at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang
siapa yang hendak melakukan witir satu raka’at maka hendaknya ia melakukannya.”
(HR. Abu Daud no. 1422. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kedua: witir dengan tiga raka’at.
Di sini boleh dapat
dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali salam, [2] mengerjakan dua
raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian
salam.
Dalil cara pertama:
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ
إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau
tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al
Baihaqi)
Dari Abu Ayyub Al Anshori, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa yang suka lakukan witir tiga
rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud no. 1422 dan An Nasai no. 1712. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalil cara kedua:
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ
وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ
يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah
dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memisah antara raka’at yang genap
dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Nafi’, ia berkata mengenai shalat
witir dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ
فِى الْوِتْرِ ، حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ
“Ibnu ‘Umar biasa mengucapkan salam
ketika satu rakaat dan dua rakaat saat witir sampai ia memerintah untuk
sebagian hajatnya.” (HR. Bukhari no. 991).
Kalau ingin melakukan tiga raka’at
langsung tidak boleh diserupakan dengan shalat Maghrib.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لا
توتروا بثلاث أوتروا بخمس أو بسبع ولا تشبهوا بصلاة المغرب
“Janganlah lakukan
shalat witir yang tiga rakaat seperti shalat Maghrib. Namun berwitirlah dengan
lima atau tujuh rakaat” (HR. Ibnu Hibban no. 2429, Al Hakim dalam Mustadroknya no. 1138 dan Al
Baihaqi dalam Sunan Kubro no. 4593. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Muslim). Artinya, kalau caranya seperti shalat Maghrib berarti yang tiga rakaat
memakai tasyahud awal di dalamnya. Itu yang tidak dibolehkan pada tiga rakaat.
Dalam Syarhul Mumthi’ (4: 79), Syaikh
Muhammad Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa
syari’at ingin agar ibadah sunnah tidak disamakan dengan ibadah wajib.”
Kedua cara di atas boleh dilakukan. Para
ulama memilih di antara kedua cara itu manakah yang lebih afdhol. Intinya kedua
cara di atas boleh dilakukan.
Ketiga: witir dengan lima raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah
dianjurkan mengerjakan lima raka’at sekaligus dan tasyahud pada raka’at kelima,
lalu salam. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ
فِى آخِرِهَا.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga
belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima
raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at
terakhir.” (HR. Muslim no. 737)
Keempat: witir dengan tujuh raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah
dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at keenam.
Setelah tasyahud pada raka’at keenam, tidak langsung salam, namun dilanjutkan
dengan berdiri pada raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud pada raka’at ketujuh dan
salam. Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan sembilan raka’at.
Kelima: witir dengan sembilan raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah
dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan.
Setelah tasyahud pada raka’at kedelapan, tidak langsung salam, namun
dilanjutkan dengan berdiri pada raka’at kesembilan. Kemudian tasyahud pada
raka’at kesembilan dan salam.
Dalil tentang hal ini adalah
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah
mengatakan,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ
أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ
رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ
وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ
فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ
وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا
بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ
اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ
الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
“Kami dulu
sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya
sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu` dan shalat
sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada
rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya,
kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri
dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah,
memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring
agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam
sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia
lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat,
dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada
yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim
no. 746)
Bacaan Dalam Shalat
Witir
Disunnahkan bagi orang
yang melakukan shalat Witir untuk membaca pada raka’at per-tama dengan surat
al-A’laa, pada raka’at kedua dengan surat al-Kaafiruun, pada raka’at ketiga
dengan surat al-Ikhlash, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi
dan dia menilainya hasan, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى : سَبِّحِ
اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي رَكْعَةِ الثَّانِيَةِ :قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ
، وَفِي الثَّالِثَةِ : قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.
“Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca pada raka’at pertama dengan surat al-A’laa, pada
raka’at kedua dengan surat al-Kaafiruun dan pada raka’at ketiga dengan surat
al-Ikhlash dan dua surat mu’awidzatain (surat al-Falaq dan surat an-Naas).” [HR. At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya dalam kitab
ash-Shalaah, bab Maa Jaa-a fiimaa Yaqra-u fil Witr, (hadits no. 462) dan
dihasankannya dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, (hadits no. 2432),
sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Ihsaan. Al-Albani rahimahullah berkata:
“Hadits ini shahih,”]
Dan terdapat pula
hadits serupa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan Ubay
bin Ka’ab Radhiyallahu anuma.
Dari semua hadits yang ada, maka disunnahkan
pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan
membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau
an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat
yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca
al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.
Qunut Witir
Tanya: Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika
(shalat sunnah) witir?
Jawab: Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah
sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca
qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa
kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika
engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu
pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak
menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca
do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini
tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah
sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062[2]]
Do’a qunut witir yang dibaca
terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa
kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ
مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ
مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman
hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii
fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik,
wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang
Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang
telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah
Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku,
lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya
Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan
hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha
Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Adakah doa atau bacaan
khusus setelah shalat witir?
Doa Setelah Shalat Witir
Ada dua doa yang bisa
diamalkan sebagai berikut:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Subhaanal
malikil qudduus –dibaca 3x- [artinya: Maha Suci Engkau yang
Maha Merajai lagi Maha Suci dari berbagai kekurangan]” (HR. Abu Daud no. 1430,
An-Nasai no. 1735, dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatkaan bahwa
sanad hadits ini shahih)
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ
عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا
أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Allahumma
inni a’udzu bi ridhaoka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu
bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik”
-dibaca 1x- [artinya: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari
kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung
kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan
kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu
sendiri]. (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An-Nasa’i no. 1748 dan
Ibnu Majah no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Cara Baca “Subhaanal Malikil
Qudduus”
Dari Ubay bin Ka’ab, ia
berkata,
فَإِذَا فَرَغَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari
witirnya, beliau membaca ‘subhaanal malikil qudduus (sebanyak tiga kali)’,
beliau memanjangkan di akhirnya.” (HR. An-Nasa’i no. 1700, Ibnu Majah no. 1182.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu ‘Abdirrahman bin
Abza, dari bapaknya, ia berkata,
وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا
وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
“Jika mengucapkan salam,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak tiga kali lalu
beliau mengeraskan suaranya pada ucapan yang ketiga.” (HR. An-Nasa’i no. 1733
dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Cara membacanya:
a. Mengeraskan bacaan terakhir berbeda dengan bacaan “subhaanal malikil qudduus” di pertama dan kedua.
b.
Memanjangkan bacaan “qudduus” dengan
empat atau enam harakat.
Apakah Ada Tambahan “Rabbil
Malaikati war Ruuh”?
Dari Ubay bin Ka’ab, ia
berkata,
فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ
وَالرُّوحِ »
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam,
beliau mengucapkan, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak
tiga kali dan di suara ketiga, beliau memanjangkan suaranya. Lalu beliau
mengucapkan, ‘Rabbil malaikati war ruuh.’ ” (HR. As-Sunan Al-Kubra
Al-Baihaqi 3: 40 dan Sunan Ad-Daruquthni 4:371. Tambahan ‘rabbil malaikati war ruuh’ adalah tambahan maqbulah yang diterima).
Tambahan ‘rabbil malaikati war ruuh’ adalah tambahan yang
diterima. Sehingga doa setelah witir bisa pula dengan ‘subhaanal malikil quddus’ sebanyak 3 kali lalu bacaan
terakhir dikeraskan atau dipanjangkan lalu ditambahkan dengan rabbil malaikati war ruuh.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar