Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah.
Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk
pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah;
karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan
qiyam Ramadhan.
Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan
shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan
orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap
pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Sebagaimana dalam hadits shahih yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قاَمَ
رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan
dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)
Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan
siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:
مَثْنىَ مَثْنىَ
فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu
khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR.
Bukhari)
Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu yang lain dikatakan:
صَلاَةُ
اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ
“Shalat malam hari dan siang hari itu dua
rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid,
5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)
Maka jika ada dalil lain yang shahih yang
menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita
mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau
shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.
Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan
berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah,
ia berkata:
“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai
sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25
Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27
Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR.
Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)
Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu dia berkata:
Kami puasa tetapi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih)
hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam.
Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi). Dan
pada malam ke lima (tinggal 5 hari) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat
separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’,
maka beliau bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ
الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barang siapa shalat tarawih bersama imam
sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”
Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi
hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam
ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami
khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia
(Abu Dzar) berkata ‘sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad,
Shahih)
Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan
bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan
shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil
dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.
Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan
untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan
oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau
memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam
untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu
‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.
Tata Cara Shalat Malam
Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat
malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah
tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut
semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut
adalah hukumnya sunnah.
Maka sebagai perwujudan mencontoh dan
mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu,
sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja
berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita
juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata
cara yang tidak ada dalilnya.
Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang
ringan.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.
3. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang
lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.
4. Kemudian shalat witir 1 rakaat.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau
memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat
dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang
lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan
yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan
bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat
dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1
rakaat.” (HR. Muslim)
Faedah,
Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat
tarawih.
Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2
rakaat.
2. Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali
salam.
Hal ini berdasarkan hadits shahih yang
diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari
tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan
rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir
lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”
Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2
rakaat.
2. Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan
Aisyah, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ
الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ
إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ
بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia
menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan
salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR.
Muslim)
Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4
rakaat.
2. Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali
salam.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan
dari Aisyah, beliau berkata:
مَا كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ
إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ
طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ
ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada
bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka
jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi
sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat
witir 3 rakaat.” (HR Muslim)
Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada
shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada
dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat
maghrib.
Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat
langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam
kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan
Aisyah, beliau berkata:
كُناَّ نُعِدُّ
لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ
مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ
يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ
يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى
التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ
يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا
يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)
“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air
wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah
beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung
bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih
9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas
membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian
bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir
dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam
dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2
rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)
Faedah, Hadits
ini merupakan dalil atas:
1. Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.
2. Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru
melaksanakan shalat genap.
3. Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.
4. Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.
Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang
baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
2. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan
bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
3. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan
bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
4. Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
…ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ
فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ
حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ
يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ
“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri,
rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya
berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii
kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian
berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)
Faedah,
Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu
Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan
perincian sebagai berikut:
1. Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung
6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian
berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.
2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan
Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka
tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka
beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan
shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata
cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR.
Muslim 1233)
Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada
rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan
membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada
rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan
membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.
Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh
melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia
sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut
dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan
satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata
cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak
ditinggalkan oleh kaum Muslimin.
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at
Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan.
Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa
pendapat.
Pendapat pertama,
yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al
Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua,
shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat
mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi,
juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini
adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan
para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak
ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau
kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat
tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih
dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at
inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang
ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20
raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini
menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah
banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga,
shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam
Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40
raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh
‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7
raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan
Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat
Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada
adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Semua jumlah raka’at di atas boleh
dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam
cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat
malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang
dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam
dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini
dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan
dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu
melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan
20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan
oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan
antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun
seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga
diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga
telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka
bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari
11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan,
hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan
ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan
sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah
melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti
imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan
shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam
menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat
besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai
–baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala
shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai
ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits
ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Sejarah mencatat, pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu
‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13
rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur
rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus
di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali
tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat
memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat).
Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab:
مَثْنىَ مَثْنىَ
فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu
khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR.
Bukhari)
Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan
adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar
Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk
menutup shalat malam dengan witir.
Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi
perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat
tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode
tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan
riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan
pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam
menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah
menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu
riwayat tertentu. Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini).
Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u)
tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:
· Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang
masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang
ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi
banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’
al-Fatawa 23/113)
· Ath-Thartusi
berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar,
yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali
memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada
rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik
dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar
memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya
keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8
rakaat atau 12 rakaat.”
·
Imam
Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya
dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat
itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11
dekat dengan 13.
·
Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak
boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh
lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada
tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa,
lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh
dilanggar.”
Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini
khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat
(Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan
bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!
Doa Qunut dalam Shalat Witir
Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam
shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin
tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang
membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang
tidak. Hal ini berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR.
Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)
يَجْعَلُهُ
قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad,
Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)
Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah
ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan
oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut
tersebut.
Di antara doa qunut witir yang disyariatkan
adalah:
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini
fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait,
waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa
yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang
yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang
yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang
telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku,
lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya
Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan
hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha
Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Shalat Tarawih bagi Wanita
Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika
melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini
berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid
pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia
sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ
تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ
قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
“Aku telah mengetahui bahwa engkau
senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …
(Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di
masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di
masjidku.” [HR. Ahmad no.
27135]
Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna
mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga
jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti
dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu
atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di
masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak
mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ (yang
bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar
rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap
menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai
harum-haruman (parfum), dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita
berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan
syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ
الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang
istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita)
tentu lebih baik.” [HR. Abu Daud
no. 567 dan Ahmad 7/62. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ
نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri kalian meminta izin pada
kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” [HR. Muslim no. 442]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada
para wanita,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ
الْعِشَاءَ فَلاَ تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Jika salah seorang di antara kalian
ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” [HR. Muslim no. 443]
Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita simpulkan
bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di rumahnya apalagi jika
dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di rumahnya lebih baik
daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita telah mengetahui bahwa
pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila seseorang melaksanakan shalat
di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.
Namun apabila pergi ke masjid tidak menimbulkan fitnah
(godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid bisa dapat faedah
lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat dari orang yang
berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan
syarat-syarat ketika keluar rumah.
Di antara syarat-syarat tersebut adalah: (1) menggunakan
hijab dengan sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar
wanita memakai jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak
tangan, (2) minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah
suami atau mahrom tidak melarangnya, dan (3) tidak menggunakan harum-haruman
dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.
Wallahua'lam
Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar