Shalat Nisfu Syaban
Apakah shalat “nisfu Sya’ban” itu ada
dan sesuai dengan Sunah? Karena kita sering mendengar adanya pelaksanaan
shalat tersebut secara berjamaah,
Allah berfirman:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran
di malam yang berkah, dan sesungguhnya Kami yang memberi peringatan. () Di
malam itu diturunkan setiap takdir dari Yang Maha Bijaksana.” (QS. Ad-Dukkhan: 3 – 4).
Diriwayatkan dari Ikrimah – rahimahullah
– bahwa yang dimaksud malam pada ayat di atas adalah malam nisfu syaban.
Ikrimah mengatakan:
أن هذه الليلة
هي ليلة النصف من شعبان ، يبرم فيها أمر السنة
Sesungguhnya malam tersebut adalah malam
nisfu syaban. Di malam ini Allah menetapkan takdir setahun. (Tafsir Al-Qurtubi,
16/126).
Sementara itu, mayoritas ulama
berpendapat bahwa malam yang disebutkan pada ayat di atas adalah lailatul qadar
dan bukan nisfu syaban. Sebagaimana keterangan Ibnu Katsir, setelah menyebutkan
ayat di atas, beliau mengatakan:
يقول تعالى
مخبراً عن القرآن العظيم أنه أنزله في ليلة مباركة ، وهي ليلة القدر كما قال عز
وجل :{ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر} وكان ذلك في شهر رمضان، كما
قال: تعالى: { شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ }
Allah berfirman menceritakan tentang
Al-Quran bahwa Dia menurunkan kitab itu pada malam yang berkah, yaitu lailatul
qadar. Sebagaimana yang Allah tegaskan di ayat yang lain, (yang artinya); “Sesungguhnya
Kami menurunkan Al-Quran di lailatul qadar.” Dan itu terjadi di bulan
ramadhan, sebagaimana yang Allah tegaskan, (yang artinya); “Bulan ramadhan,
yang mana di bulan ini diturunkan Al-Quran.” (Tafsir Ibn Katsir, 7/245).
Selanjutnya Ibnu Katsir menegaskan lebih
jauh:
ومن قال :
إنها ليلة النصف من شعبان -كما روي عن عكرمة-فقد أبعد النَّجْعَة فإن نص القرآن
أنها في رمضان
Karena itu, siapa yang mengatakan, yang
dimaksud malam pada ayat di atas adalah malam nisfu syaban – sebagaimana
riwayat dari Ikrimah – maka itu pendapat yang terlalu jauh, karena nash
Al-Quran dengan tegas bahwa malam itu terjadi di bulan ramadhan. (Tafsir Ibn
Katsir, 7/246).
Dengan demikian, pendapat yang kuat
tentang malam yang berkah, yang disebutkan pada surat Ad-Dukhan di atas adalah
lailatul qadar di bulan ramadhan dan bukan malam nisfu Syaban. Karena itu, ayat
dalam surat Ad-Dukhan di atas, tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan
keutamaan malam nisfu Syaban.
Puasa Nisfu Syaban
Kita dianjurkan memperbanyak puasa
selama bulan sya’ban. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan,
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ
شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي
شَعْبَانَ
“.. saya tidak pernah melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan,
saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan
Sya’ban.” (HR. Bukhari 1969 dan Muslim 782).
Dalam hadis lain, dari Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
Wahai Rasulullah, saya belum pernah
melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan
Sya’ban. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ
شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ
تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ
عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan
banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana
amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya
diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. Ahmad 21753, Nasa’i 2357, dan dihasankan Syuaib
al-Arnauth).
Jika kita perhatikan dari semua hadis di
atas, kita menyimpulkan bahwa puasa sya’ban yang dilakukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sebulan penuh. Bukan khusus di
pertengahan bulan sya’ban. Orang yang secara sengaja mengkhususkan puasa hanya
di nishfu sya’ban, sementara dia tidak puasa di tanggal-tanggal yang lain,
tidak sesuai dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Hadis Khusus Anjuran Puasa Nisfu Syaban
Terdapat satu hadis khusus yang
menganjurkan untuk berpuasa ketika nisfu syaban, hanya saja pakar hadis menilai
hadis ini sebagai hadis lemah. Hadis itu menyatakan,
إِذَا
كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا
نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ
الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا
مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا
كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Jika masuk malam pertengahan bulan
Sya’ban maka shalat-lah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.
Karena Allah turun ke langit dunia ketika matahari terbenam. Dia berfirman:
Mana orang yang meminta ampunan, pasti Aku ampuni, siapa yang minta rizki,
pasti Aku beri rizki, siapa…. sampai terbit fajar.”
Status Hadis:
Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah dalam
Sunannya no 1388. Dari jalur Ibnu Abi Sabrah dari Ibrahim bin Muhammad, dari
Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far.
Para pakar hadis mempermasalahkan Ibnu
Abi Sabrah.
Kata al-Haitami:
أبو بكر
ابن أبي سبرة وهو متروك
Abu Bakr Ibnu Abi Sabrah, perawi yang
ditinggalkan. (Majma’ Zawaid, 1/213).
Fuad Abdul Baqi menukil keterangan Imam
Ahmad dan Ibnu Ma’in tentang Ibnu Abi Sabrah,
قال فيه
أحمد بن حنبل وابن معين يضع الحديث
Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in menilai Ibnu
Abi Sabrah: Dia telah memalsu hadis. (Ta’liq ‘ala Sunan Ibnu Majah, 1/444).
Dari keterangan di atas, para ulama
menilai hadis di atas sebagai hadis palsu atau lemah sekali, sehingga tidak
bisa dijadikan dalil.
Oleh karena itu, tidak ada puasa khusus
untuk pertengahan sya’ban. Yang ada adalah memperbanyak puasa selama bulan
sya’ban, sebagaimana yang dipraktekkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Allah Menutup Catatan
Perbuatan Manusia Di Malam Nisfu Syaban
Pertama, kami tidak pernah menjumpai dalil
maupun keterangan ulama bahwa buku catatan amal hamba ditutup di malam nisfu
Sya’ban atau ketika bulan Sya’ban. Kami hanya menduga, barangkali anggapan
semacam ini karena kesalah pahaman terhadap hadis, dari Usamah bin Zaid, beliau
bertanya,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ
شَعْبَانَ
“Wahai Rasulullah, saya belum pernah
melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan
Sya’ban?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ذَلِكَ
شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ
تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ
عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan
banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana
amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya
diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.’” (HR. An Nasa’i 2357, Ahmad 21753, Ibnu
Abi Syaibah 9765 dan Syuaib Al-Arnauth menilai ‘Sanadnya hasan’).
Dalam hadis di atas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, salah satu waktu, dimana amal para
hamba dilaporkan adalah ketika bulan Sya’ban. Dan karenanya, beliau
memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.
Kedua, Penting untuk dicatat, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan di tanggal berapa peristiwa
pelaporan amal itu terjadi. Bahkan zahir hadis menunjukkan, itu terjadi selama
satu bulan. Karena itulah, puasa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam di bulan Sya’ban tidak pilih-pilih tanggal. Beliau juga tidak
menganjurkan agar kita memilih pertengahan Sya’ban untuk puasa. Yang beliau
lakukan, memperbanyak puasa selama Sya’ban.
Untuk itu, siapa yang beranggapan
dianjurkan memperbanyak ibadah ketika pertengahan Sya’ban, dengan anggapan
bahwa ketika itu terjadi pelaporan amal, maka dia harus mendatangkan dalil.
Tanpa dalil, berarti dia menebak perkara ghaib. Dan tentu saja, pendapatnya
wajib ditolak.
Kemudian, penting juga untuk kita
perhatikan, hadis itu sedikitpun tidak menyebutkan adanya penutupan buku
catatan amal. Beliau hanya menyampaikan ketika bulan Sya’ban terdapat pelaporan
amal dan bukan penutupan catatan amal.
Ketiga, tidak ada istilah penutupan buku
amal dalam islam. Karena kaum muslimin dituntut untuk selalu beramal dan
beramal sampai ajal menjemputnya. Allah berfirman,
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai
datang kepadamu Al-Yaqin.” (QS. Al-Hijr: 99)
Para ulama tafsir sepakat bahwa makna
Al-Yaqin pada ayat di atas adalah kematian. Karena setiap manusia dituntut
beramal dan beribadah selama akalnya masih berjalan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menasehatkan agar kita selalu menjaga iman, dengan istiqamah beramal. Ada
seorang sahabat yang meminta nasehat kepada beliau. Yang nasehat ini akan
selalu dia jaga selama hidupnya. Nasehat yang beliau sampaikan sangat ringkas,
قلْ آمنتُ
بالله ثم استقم
Katakan, Saya beriman kepada Allah,
kemudian istiqmahlah.” (HR. Ahmad 15416 dan sanadnya shahih).
Dan yang namanya istiqamah, tentu saja
tidak akan ada putusnya.
Al-Imam Ahmad pernah ditanya, ‘Kapan
waktu untuk istirahat?’ beliau menjawab,
عند أول
قدم نضعها في الجنة
“Ketika pertama kali kita menginjakkan
kaki kita di surga.”
Sekali lagi tidak ada istilah istirahat
beramal atau buku catatan amal ditutup sementara. Amal kita yang dihisab tidak
hanya ketika nisfu Sya’ban, namun juga di bulan-bulan lainnya. Semoga Allah
meringankan kita untuk terus istiqamah meniti jalan kebenaran. Amin..
Hadis seputar nisfu syaban
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan
keutamaan nisfu syaban. Ada yang shahih, ada yang dhaif, bahkan ada yang palsu.
Berikut beberapa hadis tentang nisfu syaban
yang tenar di masyarakat;
Pertama,
إِذَا
كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا
فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا
فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ
فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى
يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Jika datang malam pertengahan bulan
Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena
Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah
berfirman, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia.
Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki
kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia, dst…?’ (Allah
berfirman tentang hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah, 1/421; HR. al-Baihaqi
dalam Su’abul Iman, 3/378)
Keterangan:
Hadits di atas diriwayatkan dari jalur
Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin
Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, secara marfu’ (sampai kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Hadits dengan redaksi di atas adalah
hadits maudhu’ (palsu), karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah statusnya
muttaham bil kadzib (tertuduh berdusta), sebagaimana keterangan Ibnu Hajar
dalam At-Taqrib. Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentang Ibnu
Abi Sabrah, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”[ Lihat Silsilah
Dha’ifah, no. 2132]
Kedua,
Riwayat dari A’isyah, bahwa beliau
menuturkan:
فقدت النبي
صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافعا رأسه إلى السماء فقال: “أكنت
تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله” فقلت يا رسول الله ظننت أنك أتيت بعض نسائك
فقال: ” إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر
لأكثر من عدد شعر غنم كلب
Aku pernah kehilangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian aku keluar, ternyata beliau di Baqi, sambil
menengadahkan wajah ke langit. Nabi bertanya; “Kamu khawatir Allah dan
Rasul-Nya akan menipumu?” (maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberi jatah Aisyah). Aisyah mengatakan: Wahai Rasulullah, saya hanya
menyangka anda mendatangi istri yang lain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam nisfu
syaban, kemudian Dia mengampuni lebih dari jumlah bulu domba bani kalb.”
Keterangan:
Hadis ini diriwayatkan At-Turmudzi, Ibn
Majah dari jalur Hajjaj bin Arthah dari Yahya bin Abi Katsir dari Urwah bin
Zubair dari Aisyah. At-Turmudzi menegaskan: “Saya pernah mendengar Imam Bukhari
mendhaifkan hadis ini.” Lebih lanjut, imam Bukhari menerangkan: “Yahya tidak
mendengar dari Urwah, sementara Hajaj tidak mendengar dari Yahya.” (Asna
Al-Mathalib, 1/84).
Ibnul Jauzi mengutip perkataan
Ad-Daruquthni tentang hadis ini: “Diriwayatkan dari berbagai jalur, dan
sanadnya goncang, tidak kuat.” (Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 3/556).
Akan tetapi hadis ini dishahihkan
Al-Albani, karena kelemahan dalam hadis ini bukanlah kelemahan yang parah,
sementara hadis ini memiliki banyak jalur, sehingga bisa terangkat menjadi
shahih dan diterima. (lihat Silsilah Ahadits Dhaifah, 3/138).
Ketiga,
Hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله
ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Sesungguhnya Allah melihat pada malam
pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang
musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Keterangan:
Hadis ini memiliki banyak jalur,
diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Abu Musa, Muadz bin Jabal, Abu
Tsa’labah Al-Khusyani, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhum.
Hadis dishahihkan oleh Imam Al-Albani dan dimasukkan dalam Silsilah Ahadits
Shahihah, no. 1144. Beliau menilai hadis ini sebagai hadis shahih, karena
memiliki banyak jalur dan satu sama saling menguatkan. Meskipun ada juga ulama
yang menilai hadis ini sebagai hadis lemah, dan bahkan mereka menyimpulkan
semua hadis yang menyebutkan tentang keutamaan nisfu syaban sebagai hadis
dhaif.
Sikap ulama terkait nisfu
syaban
Berangkat dari perselisihan mereka dalam
menilai status keshahihan hadis, para ulama berselisish pendapat tentang
keutamaan malam nisfu Syaban. Setidaknya, ada dua pendapat yang saling bertolak
belakang dalam masalah ini. Berikut ini rinciannya:
Pendapat pertama: Tidak ada keutamaan
khusus untuk malam nishfu Sya’ban.
Statusnya sama dengan malam-malam biasa
lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam
nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al-Hafizh Abu Syamah mengatakan, “Al-Hafizh
Abul Khithab bin Dihyah, dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban, mengatakan,
‘Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satu pun
hadis sahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban.”” (Al-Ba’its ‘ala
Inkaril Bida’, hlm. 33)
Dalam nukilan yang lain, Ibnu Dihyah
mengatakan:
لم يصح في
ليلة نصف من شعبان شيء ولا نطق بالصلاة فيها ذو صدق من الرواة وما أحدثه إلا
متلاعب بالشريعة المحمدية راغب في زي المجوسية
“Tidak ada satupun riwayat yang shahih
tentang malam nisfu syaban, dan para perowi yang jujur tidak menyampaikan
adanya shalat khusus di malam ini. Sementara yang terjadi di masyarakat berasal
dari mereka yang suka mempermainkan syariat Muhammad yang masih mencintai
kebiasaan orang majusi (baca: Syiah). (Asna Al-Mathalib, 1/84)
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Syekh
Abdul Aziz bin Baz. Beliau mengingkari adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban.
Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam
nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang
menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu,
sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At-Tahdzir min Al-Bida’,
hlm. 11)
Pendapat kedua: Ada keutamaan khusus
untuk malam nishfu Sya’ban.
Para ulama yang menilai shahih beberapa
dalil tentang keutamaan nisfu syaban, mereka mengimaninya dan menegaskan adanya
keutamaan malam tersebut. Diantara hadis pokok yang mereka jadikan landasan
adalah hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari;
إن الله
ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Sesungguhnya Allah melihat pada malam
pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang
musyrik dan orang yang bermusuhan.” (H.R. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani; dinilai
sahih oleh Al-Albani)
Diantara jajaran ulama ahlus sunah yang
memegang pendapat ini adalah ahli hadis abad ini, Imam Muhammad Nasiruddin
Al-Albani. Bahkan beliau menganggap sikap sebagian orang yang menolak semua
hadis tentang malam nisfu syaban termasuk tindakan yang gegabah. Setelah
menyebutkan salah satu hadis tentang keutamaan malam nisfu syaban, Syaikh
Al-Albani mengatakan:
فما نقله
الشيخ القاسمي رحمه الله تعالى في ” إصلاح المساجد ” (ص 107) عن أهل التعديل
والتجريح أنه ليس في فضل ليلة النصف من شعبان حديث صحيح، فليس مما ينبغي الاعتماد
عليه، ولئن كان أحد منهم أطلق مثل هذا القول فإنما أوتي من قبل التسرع وعدم وسع
الجهد لتتبع الطرق على هذا النحو الذي بين يديك. والله تعالى هو الموفق
Keterangan yang dinukil oleh Syekh
Al-Qosimi –rahimahullah– dalam buku beliau; ‘Ishlah Al-Masajid’ dari beberapa
ulama ahli hadis, bahwa tidak ada satupun hadis shahih tentang keutamaan malam
nisfu syaban, termasuk keterangan yang tidak layak untuk dijadikan sandaran.
Sementara, sikap sebagian ulama yang menegaskan tidak ada keutamaan malam nisfu
syaban secara mutlak, sesungguhnya dilakukan karena terlalu terburu-buru dan
tidak berusaha mencurahkan kemampuan untuk meneliti semua jalur untuk riwayat
ini, sebagaimana yang ada di hadapan anda. Dan hanyalah Allah yang memberi
taufiq. (Silsilah Ahadits Shahihah, 3/139)
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang
utama, Syekhul Islam mengatakan, “… Pendapat yang dipegang mayoritas ulama dan
kebanyakan ulama dalam Mazhab Hanbali adalah meyakini adanya keutamaan malam
nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak
hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari
para shahabat dan tabi’in ….” (Majmu’ Fatawa, 23/123)
Ibnu Rajab mengatakan, “Terkait malam
nishfu Sya’ban, dahulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan,
Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya memuliakannya dan
bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu ….” (Lathaiful Ma’arif, hlm.
247)
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas, ada beberapa
hal yang dapat disimpulkan:
Pertama, malam nishfu syaban termasuk malam yang
memiliki keutamaan. Hal ini berdasarkan hadis, sebagaimana yang telah
disebutkan. Meskipun sebagian ulama menyebut hadis ini hadis yang dhaif, namun,
insya Allah yang lebih kuat adalah penilaian Syekh Al-Albani, yaitu bahwa hadis
tersebut berstatus sahih.
Kedua, belum ditemukan satu pun riwayat yang
shahih, yang menganjurkan amalan khusus maupun ibadah tertentu ketika nishfu
Syaban, baik berupa puasa atau shalat. Hadis shahih tentang malam nisfu syaban
hanya menunjukkan bahwa Allah mengampuni semua hamba-Nya di malam nishfu
sya’ban, tanpa dikaitkan dengan amal tertentu. Karena itu, praktek sebagian
kaum muslimin yang melakukan shalat khusus di malam itu dan dianggap sebagai
shalat malam nisfu syaban adalah anggapan yang tidak benar.
Ketiga, Ulama berselisih pendapat tentang
apakah dianjurkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan banyak beribadah?
Sebagian ulama menganjurkan, seperti sikap beberapa ulama tabi’in yang
bersungguh-sungguh dalam ibadah. Sebagian yang lain menganggap bahwa
mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk beribadah adalah bid’ah.
Keempat, Ulama yang memperbolehkan memperbanyak
amal di malam nishfu Sya’ban menegaskan bahwa tidak boleh mengadakan acara
khusus, atau ibadah tertentu, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri, di
malam nisfu syaban, karena tidak ada amalan sunah khusus di malam nishfu
Sya’ban. Untuk itu, menurut pendapat ini, seseorang diperbolehkan memperbanyak
ibadah secara mutlak, apa pun bentuk ibadah tersebut.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar