Dalam sebuah kasus, seorang pengendara ojek online
menunggu orderan (mangkal) di masjid, sambil membaca Al Qur’an dan semisalnya.
Sementara kita tahu akan adanya larangan untuk jual beli di masjid. Apakah yang
dilakukan pengojek ini termasuk larangan jual beli di masjid?
Dalil tentang larangan jual beli di masjid secara umum
dapat kita ketahui melalui hadits riwayat Imam Tirmidzi;
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ
يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ
تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ
الههُ عَلَيْكَ
“Jika engkau mendapati orang yang menjual atau membeli
(bertransaksi) di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Alloh tidak
memberikan keuntungan/laba pada transaksi perdaganganmu’, dan bila engkau
menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka
katakanlah kepadanya, ‘Semoga Alloh tidak mengembalikan barangmu yang hilang'” [HR Tirmidzi 1321]
Hal ini sejalan dengan tujuan utama didirikannya sebuah
masjid yang Alloh abadikan dalam surat An-Nur :
في بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن
تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ
وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ
وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ
الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار
“Di rumah-rumah yang di sana Alloh telah memerintahkan
untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, ber-tasbih kepadaNya pada
waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Alloh, mendirikan sholat, dan
membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan
penglihatan menjadi goncang” (QS An-Nur
36-37).
Telah jelas pada ayat di atas bahwa masjid adalah tempat
untuk menegakkan ibadah kepada Alloh. Bukan untuk urusan dunia yang melalaikan,
apalagi sampai jadi tempat untuk bertransaksi.
Sebagaimana pula dengan sabda Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam :
إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ
اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sejatinya masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan
dzikir kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an” [HR Muslim 285]
Bahkan terdapat atsar dari Atho’ bin Yasar rohimahulloh,
salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang dinukilkan oleh Imam Malik dalam
Muwaththo’ bahwa masjid bukanlah pasar dunia :
كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ
بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ، دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا
تُرِيدُ؟ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ، قَالَ: عَلَيْكَ
بِسُوقِ الدُّنْيَا. فَإِنَّمَا هذَا سُوقُ الآخِرَةِ
“Jika Atho’ bin Yasar melewati orang yang berjual-beli di
masjid, ia memanggilnya dan menanyakan apa yang ia bawa dan apa yang ia
inginkan? Jika orang tersebut menjawab bahwa ia ingin berjual beli maka Atha
akan berkata: silahkan anda pergi ke pasar dunia, karena di sini adalah pasar
akhirat” [HR Imam Malik 601]
Nah atas dasar semua larangan ini, bagaimana jika bentuk
transaksinya adalah hal yang bersifat online?
Hal pertama harus kita lakukan adalah menyamakan persepsi
tentang jual beli online, baik itu jasa ataupun barang.
Jika jual beli bermakna tukar menukar harta dengan harta
lainnya, dengan tujuan untuk memiliki.
Maka jual beli online adalah tukar menukar harta dengan
harta lain untuk sebuah kepemilikan, yang akadnya dilakukan via online, tanpa
saling tatap muka.
Dijelaskan dalam sebuah kaidah,
اَلْعِبْرَة ُفِي الْعُقُوْدِ لِلْمَقَاصِدَ وَالْمَعَانِي لَا لِلْأَلْفَاظِ
وَالْمَبِانِي
‘Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah tujuan & subtansinya (rukun
serta aturannya) , bukan bentuk lafalnya (atau istilahnya) “
Begitu pula dalam kaidah yang lain,
الأَصْلُ فِي
الأَشْيَاءِ الإِباحة
“Hukum asal segala sesuatu (muamalah) itu adalah boleh”
Maka dengan pengertian dan kaidah ushul di atas, tak
peduli itu istilahnya offline, online, atau semi online sekalipun, selama rukun
& syarat jual beli (yakni Penjual – Pembeli – Barang/Jasa – Akad) beserta
aturan-aturan yang berlakunya telah terpenuhi, sah jual beli tersebut.
Dan yang perlu dicatat disini bahwa larangan jual-beli di
masjid itu terkait dengan terjadinya kesepakatan akad, bukan pada permasalahan
serah terima barang atau jasa, sebab dinamakan akad jika sudah terjadi
kesepakatan.
Dengan demikian jual beli online di masjid hukumnya haram
sebagaimana jual beli konvensional yang disertai tatap muka.
Keharaman ini menyertai banyak wasilah, entah itu melalui
SMS, WA, BBM, TELEGRAM, INSTAGRAM, ataupun Aplikasi Jual Jasa seperti GR*B
& GO*EK.
Termasuk juga yang sering dilalaikan banyak orang, yakni
membeli pulsa lewat mobile banking yang ada di HP saat sedang berada di masjid.
Maka bagi saudara penanya, hendaklah tidak menjadikan
peribadatannya di masjid sebagai moment nunggu orderan, tapi gunakan itu
sebagai amal sholeh yang bisa digunakan untuk bertawashul demi mendapatkan
rezeki yang barokah. Dan jika ingin start mencari order, keluarlah dari masjid.
Lantas bagaimana jika sudah terlanjur kepencet terima
order saat di masjid? Apakah otomatis batal akad tersebut?
Tidak, namun ia berdosa karenanya. Sebab saat Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ أَرْبَحَ اللهُ
تِجَارَتَكَ
“Semoga Alloh tidak memberikan keuntungan/laba pada
transaksi perdaganganmu”
Ini adalah celaan dari Beliau agar orang yang bertransaksi
di masjid tidak diberi laba atau keberkahan, bukan menunjukkan batalnya suatu
akad transaksi tersebut.
Semoga kita semua diberi kemudahan dalan menjalankan
syariat, serta kehati-hatian dalam memilih yang terbaik & yang paling
menyelamatkan bagi hidup kita.
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar