عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :((قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ
آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ
,وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ،
وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي
امْرُؤٌ صَائِمٌ. وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوْفُ فَمِ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ
يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ
صَوْمِهِ))مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذََا لَفْظُ رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ. وَفِيْ
رِوَايَةٍ لَهُ: يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ،
اَلصِّيَامُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا وَ
فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ
بِعَشْرِ أمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : (إِلاَّ
الصَّوْمَ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ
أجْلِي). لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ
لِقَاءِ رَبِّهِ . وَلَخُلُوْفُ فِيْهِ أطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ المِسْكِ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Azza wa
Jalla berfirman, ‘Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa.
Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.’Puasa adalah
perisai. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata
kotor/keji (cabul) dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya
atau mengajak bertengkar, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi
Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang
yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi. Bagi
orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa
dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.’” [Muttafaq ‘alaihi, dan
ini lafazh al-Bukhari]
Dalam suatu riwayat lain imam al-Bukhari,
“Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu
untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Setiap satu kebaikan akan dibalas
sepuluh kali lipatnya.”
Dalam riwayat Muslim, “Semua amalan
anak Adam dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat
sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali
puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk Aku,
dan Aku-lah yang membalasnya. Dia meningalkan syahwatnya dan makanannya
karena Aku.’Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan
ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada
aroma minyak kesturi.”
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 1894, 1904, 5927, 7492, 7538); Muslim (no. 1151); Ahmad
(II/232, 266, 273); Ibnu Majah (no. 1638); an-Nasa-i (IV/163-164), dan Ibnu
Khuzaimah (no. 1896, 1900).
Kosa Kata Hadits
جُنَّةٌ : Benteng, pelindung dari api
Neraka dan kemaksiatan.
اَلرَّفَثُ : Ucapan kotor dan keji.
الصَّخَبُ : Bertengkar dan berteriak.
خُلُوْفٌ : Perubahan bau mulut.
Syarh Hadits
Betapa agungnya hadits ini karena
didalamnya disebutkan amalan secara umum, kemudian disebutkan puasa secara
khusus, keutamaannya, kekhususannya, pahala yang akan diperoleh dengan segera
maupun yang akan datang, penjelasan hikmahnya, tujuannya, dan apa-apa yang
harus diperhatikan seperti adab-adab yang mulia. Semua hal tersebut tercakup
dalam hadits ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan pokok yang menyeluruh, bahwa semua amal shalih, dilipatgandakan
(amal shalih tersebut) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan
hingga berkali-kali lipat lebih dari itu.
Ini menunjukkan keagungan dan luasnya
rahmat Allah dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman, karena Allah
Azza wa Jalla membalas satu perbuatan buruk dan menyelisihi syari’at dengan
satu balasan.
Adapun balasan kebajikan, maka
pelipatgandaan minimal sepuluh kali, dan bisa lebih dari itu dengan sebab-sebab
lain. Di antaranya yaitu kuatnya iman seorang hamba dan kesempurnaan ikhlasnya.
Jika iman dan ikhlas semakin bertambah kuat, maka pahala amal shalih pun akan
berlipat ganda.
Di antaranya juga yaitu amalan yang
memiliki porsi besar, seperti berinfak dalam rangka jihad di jalan Allah dan
menuntut ilmu syar’i, serta berinfak untuk proyek-proyek agama Islam secara
umum. Dan juga seperti amalan yang semakin kuat karena kebaikannya dan
kekuatannya dalam menolak hal-hal yang bertentangan dengan syari’at,
sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
kisah orang yang tertahan dalam gua [HR. al-Bukhari, no. 2272 dan Muslim, no.
2743] , dan kisah pezina yang memberi minum seekor anjing lalu Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengampuninya [HR. al-Bukhari, no. 3467 dan Muslim, no. 2245] . Dan
juga seperti suatu amalan yang dapat menumbuhkan amalan lain dan diikuti oleh
orang lain. Dan juga seperti menolak bahaya-bahaya yang besar atau menghasilkan
kebaikan-kebaikan yang besar. Dan juga seperti amalan-amalan yang berlipat
ganda karena keutamaan waktu dan tempat, serta keutamaan seorang hamba di sisi
Allah Azza wa Jalla . Semua pelipatgandaan ini mencakup semua amalan.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengecualikan puasa dan menyandarkannya kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang akan membalasnya dengan keutamaan dan kemuliaan-Nya, dengan tidak
melipatgandakannya seperti amalan yang lain. Ini adalah suatu hal yang tidak
dapat diungkapkan, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan sesuatu
yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak didengar oleh telinga, dan tidak
terlintas dalam benak manusia.
Ulama berbeda pendapat tentang makna :
فَإنَّهُ
لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ
Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan
membalasnya
Padahal semua amal perbuatan adalah
untuk Allah Azza wa Jalla dan Dia-lah yang akan membalasnya, sebagai berikut:
Pertama : Di dalam puasa tidak terdapat unsur
riya’ sebagaimana yang terjadi pada ibadah lainnya.
Kedua : Bahwa yang dimaksud dengan “dan Aku-lah
yang akan membalasnya,” adalah “Hanya Aku-lah yang mengetahui besarnya balasan
orang tersebut dan berapa banyak kebaikannya dilipatgandakan. Adapun ibadah
lainnya, karena ia dapat dilihat orang.”
Ketiga: Yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang
akan membalasnya,” yaitu bahwa puasa adalah ibadah yang paling Aku cintai dan
yang akan didahulukan di sisi-Ku.
Keempat: Idhafah (penyandaran) dalam redaksi ini
merupakan idhafah tasyrif (kemuliaan) dan ta’zhim (keagungan), sebagaimana
dikatakan “Baitullah (rumah Allah), meskipun seluruh masjid sebenarnya adalah
milik Allah.” az-Zain Ibnul Munayyir berkata, “Pengkhususan pada konteks
redaksi umum seperti ini tidaklah dipahamiselain dengan makna pengagungan dan
pemuliaan.”
Kelima: Tidak membutuhkan makan dan
syahwat-syahwat lainnya merupakan salah satu sifat Allah Azza wa Jalla . Dan
karena orang yang berpuasa mendekatkan dirinya dengan salah satu sifat-Nya,
maka Dia pun menyandarkan ibadah tersebut kepada diri-Nya.
Keenam: Maksudnya sama seperti di atas; hanya
saja hal tersebut sesuai dengan sifat malaikat. Karena tidak membutuhkan makan
dan tidak memiliki syahwat merupakan salah satu sifat mereka.
Ketujuh: Maksudnya bahwa puasa tersebut murni
hanya untuk Allah Azza wa Jalla , dan tidak satu bagian pun dari ibadah
tersebut yang ditujukan kepada sesama hamba. Demikian yang dikatakan oleh
al-Khaththabi dan demikian pula pendapat yang dinukil oleh ‘Iyadh dan yang
lainnya.
al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Ada
dua hal yang menjadi alasan mengapa ibadah puasa diistimewakan dengan kelebihan
seperti ini. Pertama, karena ibadah-ibadah lainnya dapat dilihat oleh manusia,
berbeda dengan puasa karena ia merupakan rahasia antara hamba dan Allah Azza wa
Jalla . Ia melakukannya dengan ikhlas dan mengerjakannya karena mengharap
ridha-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Azza wa Jalla dalam sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa salla, (hadits qudsi, yang artinya) ,
‘Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku.’
Kedua, karena seluruh perbuatan baik
dilakukan dengan cara mengeluarkan harta atau mempergunakan fisik. Sementara
puasa mencakup pengekangan hawa nafsu dan membuat fisik menjadi lemah. Dalam
ibadah puasa terdapat unsur kesabaran menahan rasa lapar, haus, dan
meninggalkan syahwat. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Azza wa Jalla dalam
sabda beliau n (hadits qudsi, yang artinya), ‘Dia meninggalkan syahwatnya
karena-Ku.’” [Diringkas dari Fat-hul Bari (IV/107-108).]
Para Ulama berkata, “Puasa dikecualikan
karena ia mencakup tiga macam sabar, yaitu
(1) sabar dalam (melaksanakan) ketaatan
kepada Allah,
(2) sabar (menjauh) dari maksiat kepada
Allah, dan
(3) sabar terhadap takdir Allah.”
Adapun sabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada Allah, yaitu seorang hamba membebani dirinya untuk berpuasa walaupun
terkadang ia tidak menyukainya karena ada kesulitannya, bukan karena Allah
telah mewajibkannya. Jika seseorang membenci puasa karena Allah mewajibkannya,
maka akan semua amalnya akan terhapus. Seseorang yang tidak menyukai puasa
karena sulit, namun ia tetap memaksa dirinya untuk berpuasa, ia bersabar
(menahan diri) dari makan, minum, dan jima’ karena Allah Azza wa Jalla .Oleh
karena itu disebutkan dalam hadits qudsi di atas, Allah berfirman :
يَتْرُكُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ
Dia meninggalkan makanan, minuman, dan
syahwatnya karena Aku.”
Sedangkan sabar (menahan diri) dari
maksiat kepada Allah, ini didapat dari orang yang berpuasa, karena ia
menyabarkan dirinya dan menjauhkan dirinya dari berbuat maksiat kepada Allah.
Ia menjauhi hal yang sia-sia, berkata kotor, bodoh, dusta, dan selainnya dari
apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan.
Adapun sabar terhadap takdir Allah,
yaitu seseorang diuji ketika ia berpuasa -apalagi jika pada musim panas yang
panjang- dengan rasa malas, bosan, dan haus, tetapi ia tetap bersabar karena
mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala .Ketika puasa mencakup tiga macam
sabar tersebut, maka ganjarannya tidak terbatas. Allah Azza wa Jalla berfirman
:
مَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“…Hanya orang-orang yang bersabarlah
yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]
Hikmah dari pengkhususan tersebut yaitu
bahwa orang yang berpuasa ketika dia meninggalkan hal-hal yang dicintai oleh
hawa nafsunya karena Allah, maka itu artinya ia telah mendahulukan kecintaannya
kepada Allah dari segala kecintaan jiwanya, ia lebih mengharap ridha-Nya dan
ganjaran-Nya daripada meraih keinginan hawa nafsu. Oleh karena itu, Allah Azza
wa Jalla mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dan menjadikan pahala orang yang
berpuasa di sisi-Nya.
Coba Anda pikirkan, bagaimana dengan
ganjaran dan balasan yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla, Yang
Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahadermawan, Mahapemberi, yang pemberian-Nya
menyeluruh kepada semua makhluk yang ada, lalu Allah mengkhususkan untuk para
wali-Nya bagian yang banyak dan sempurna, dan Allah mentakdirkan buat mereka
sarana yang dengannya mereka bisa meraih apa-apa yang ada di sisi Allah berupa
perkara-perkara yang tidak pernah terlintas dalam benak dan dalam khayalan?!
Bagaimana dengan apa yang akan Allah Azza wa Jalla lakukan kepada mereka,
orang-orang yang berpuasa dengan ikhlas?!
Itulah karunia yang Allah berikan kepada
siapa yang dikehendaki
Hadits ini juga menunjukkan bahwa puasa
yang sempurna yaitu jika seorang hamba meninggalkan dua perkara:
Pertama, pembata-pembatal puasa seperti makan,
minum, jima’ (bersetubuh) dan lainnya.
Kedua, hal-hal yang mengurangi (kesempurnaan)
amalan, seperti berkata kotor, jorok, cabul dan berteriak-teriak, mengerjakan
perbuatan haram dan pembicaraan haram. Jauhkanlah semua maksiat, pertengkaran,
dan perdebatan yang menyebabkan dendam. Karena inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah berkata kotor/keji (cabul).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, yang artinya, “Janganlah berteriak-teriak!” Yaitu perkataan yang
menyebabkan fitnah dan permusuhan. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda dalam hadits yang lain:
مَنْ لَمْ
يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan
dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak butuh kepada (puasanya) yang hanya
meninggalkan makan dan minumnya [HR. al-Bukhari, no. 1903 dan 6057, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu]
Barangsiapa menerapkan dua perkara
tersebut di atas maka sempurnalah pahala puasanya. Siapa yang tidak
menerapkannya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menunjuki orang yang puasa bahwa apabila ada yang mengajak untuk
bertengkar dan mencelanya, hendaklah ia mengatakan:
إِنِّي
صَائِمٌ
Sesungguhnya aku sedang berpuasa
Faidahnya yaitu bahwa seakan-akan ia
berkata, “Ketahuilah bahwa aku bukannya tidak bisa membalas apa yang engkau
katakan, tapi sesungguhnya aku sedang berpuasa. Aku menghormati puasaku dan
menjaga kesempurnaannya, serta perintah Allah dan rasul-Nya. Dan ketahuilah
bahwa puasa mengajakku untuk tidak membalas semua itu dan memerintahkanku untuk
bersabar. Maka apa yang aku lakukan ini lebih baik dan lebih mulia dari apa
yang engkau perbuat kepadaku, wahai orang yang mengajak bertengkar!”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
وَالصِّيَامُ
جُنَّةٌ
Puasa adalah perisai
Yaitu penjaga yang menjaga seorang hamba
dari dosa-dosa di dunia, membiasakannya untuk mengerjakan kebajikan, dan
menjaga dari siksa neraka.
Ini adalah hikmah syari’at yang paling
agung dari faidah puasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang
beriman!Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa.” [al-Baqarah/2:183]
Jadi, puasa menjadi perisai dan sebab
untuk mendapat ketakwaan. Karena puasa mencegah dari perbuatan haram dan
apa-apa yang dilarang serta memerintahkan untuk memperbanyak amal ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
لِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Orang yang berpuasa memiliki dua
kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika
bertemu dengan Rabb-nya
Kedua ganjaran ini, ganjaran pertama,
segera didapat dan ganjaran kedua, ganjaran yang didapatkan di akhirat. Yang
langsung didapat yaitu ketika orang yang berpuasa itu berbuka, ia gembira
karena nikmat Allah yang diberikan kepadanya sehingga bisa menyempurnakan
ibadah puasanya.
Sedangkan ganjaran yang akan datang
yaitu kegembiraannya ketika bertemu Rabb-nya dengan keridhaan-Nya dan
kemuliaan-Nya.
Kegembiraan yang didapat langsung di
dunia ini adalah contoh dari kegembiraan yang akan datang, dan Allah akan
mengumpulkan keduanya bagi orang yang berpuasa.
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini juga menunjukkan bahwa orang yang berpuasa jika sudah mendekati
waktu berbuka, maka ia mendapat kegembiraan. Itu merupakan balasan dari apa
yang telah ia lalui pada siang hari berupa kesulitan menahan nafsu.
Ini untuk menumbuhkan semangat dan
berlomba dalam berbuat kebaikan.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
لَخُلُوفُ
فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ
Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu
lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi
al-Khuluf yaitu pengaruh bau dalam mulut ketika
kosong dari makanan dan naiknya uap. Walaupun ini tidak disukai oleh orang,
tapi janganlah engkau bersedih, wahai orang yang berpuasa! Karena sesungguhnya
ia lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi dan berpengaruh pada
ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya. Dan semua yang meninggalkan pengaruh
dalam ibadah berupa kesulitan dan ketidaksukaan, maka itu dicintai oleh Allah
Azza wa Jalla . Dan kecintaan Allah bagi orang Mukmin lebih didahulukan dari
segala sesuatu. [Bahjatu Qulubil Abrar bi Syarh Jawami’il
Akhbar, hlm. 191-196, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Syarh Riyadhis
Shalihin,hlm. 267, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin]
Fawaa-id
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin
balasan puasa seseorang dengan balasan yang istimewa
2. Apapun yang berhubungan dengan ibadah
puasa, baik kadar keikhlasan hamba, diterima atau tidak, maupun kadar jerih
payah dalam melaksanakannya, hanya Allah yang mengetahuinya.
3. Semua amalan memiliki pahala
tertentu, yang kemudian dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali
puasa. Karena pahala puasa tidak terbatas hitungannya.
4. Puasa adalah benteng, sebagai
pelindung dari api neraka dan dosa-dosa yang bisa menjerumuskan ke neraka,
serta penghalang dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan syari’at. Oleh karena
itu orang yang berpuasa wajib menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat
serta menjauhkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
5. Orang yang berpuasa tidak boleh
berkata kotor, jorok, keji, cabul, perkataan yang membawa kepada persetubuhan,
dan lainnya.
6. Orang yang berpuasa tidak boleh
berteriak-teriak, tidak boleh bertengkar, dan tidak boleh mengganggu orang
lain.
7. Orang yang berpuasa tidak boleh
berkata bohong, dusta, membohongi dan menipu orang, dan lainnya.
8. Orang yang terus menerus berbohong
dan berlaku bodoh, ghibah, fitnah dan mengadu domba, maka Allah Azza wa Jalla
tidak butuh kepada puasanya.
9. Orang yang berpuasa wajib menjaga
lisannya dan anggota tubuh lainnya dari yang terlarang. Dia harus selalu taat,
berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a, sedekah, dan ibadah lainnya.
10. Puasa melatih dan mendidik diri
untuk taat, membiasakan diri bersabar terhadap penyakit dan gangguan karena
mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla .
11. Boleh memberitahukan amal ketaatan
kepada orang lain apabila dapat membuahkan maslahat dan menolak keburukan.
Misalnya ucapan orang yang berpuasa, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Ucapan
ini digunakan untuk menghindari kata-kata makian seseorang atau ajakan untuk
bertengkar.
12. Bau mulut orang yang berpuasa kelak
di hari kiamat lebih harum aromanya dari aroma minyak kesturi.
13. Orang yang berpuasa pasti bergembira
dengan puasanya. Apalagi menjelang buka puasa, maka semua orang yang berpuasa
bergembira karena makan, minum, jima’ yang halal yang tadinya tidak boleh
dilakukan selama siang hari, menjadi boleh dengan terbenamnya matahari.
14. Kegembiraan orang yang berpuasa di
saat berbuka jangan sampai berlebihan sehingga melanggar syari’at.
15. Orang yang berpuasa atau orang yang
beribadah dengan ikhlas, jika ia gembira karena ibadahnya, maka kegembiraannya
itu tidak mengurangi pahalanya sedikit pun di akhirat kelak.
16. Kegembiraan yang sempurna didapatkan
ketika bertemu Allah Azza wa Jalla, yakni ketika orang-orang yang sabar dan
yang berpuasa diberikan pahalanya secara utuh tanpa dibatasi oleh hitungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar