Dibulan Ramadhan
ini beredar sebuah anjuran untuk beribadah, baik lewat WA, Telegram, BBM dan
lain-lain yang bunyinya seperti ini:
Bersabda Rasulullah SAW : ”Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan
sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka sholatlah di hari Jum’at
terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1x tasyahud (tasyahud akhir
saja), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 X dan
surat Al-Kautsar 15 X .
Niatnya: ” Nawaitu Usholli arba’a raka’atin kafaratan limaa faatanii
minash-shalati lillaahi ta’alaa”
Sayidina Abu Bakar ra. berkata ” Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Sholat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut
Sayidina Ali ra. sholat tersebut sebagai kafaroh 1000 tahun.
Maka shohabat bertanya :” umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun,
lalu untuk siapa kelebihannya?”.
Rasulullah SAW menjawab: ” untuk kedua orangtuanya, untuk istrinya, untuk
anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang yang didekatnya/
lingkungannya”
Setelah selesai Sholat membaca Istigfar 10 x :
أَسْتَغْفِرُ اللهَ
الْعِظِيْمِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَ أتُبُوْا
إِلَيْكَ
Kemudian baca sholawat 100 x :
اللَّهُمَّ صَلِّّ عَلَى
سَيِّدِنَا محمّد
Kemudian menbaca basmalah, hamdalah dan syahadat
Kemudian membaca Doa kafaroh 3x :
اَللَّهُمَّ يَا مَنْ لاَ
تَنْفَعُكَ طَاعَتِيْ وَلاَ تَضُرُّكَ مَعْصِيَتِيْ تَقَبَّلْ مِنِّيْ مَا لاَ
تَنْفَعُكَ وَاغْفِرْ لِيْ مَا وَلاَ تَضُرُّكَ يَا مَنْ إِذَا وَعَدَ وَفَا وَ
إِذَا تَوَعِدُ تَجَاوَزَ وَعَفَا اِغْفِرْ لِيْ لِعَبْدٍ ظَلَمَ نَفْسَهُ
وَأَسْأَلُكَ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ بَطْرِ اْلغِنَى وَجَهْدِ
اْلفَقْرِ إِلَهِيْخَلَقْتَنِيْ وَلَمْ أَكُنْ شَيْئًاً وَرَزَقْتَنِيْ وَلَمْ
اَكُنْ شَيْئاً وَارْتَكَبْتُ اْلمَعَاصِيْ فَإِنِّيْ مُقِرٌّ لَكَ بِذُنُوبِيْ
فَإِنْ عَفََوْتَ عَنِّيْ فَلاَ يَنْقُصُ مِنْ مُلْكِكَ شَيْئاً وَإِنْ
عَذَبْتَنِيْ فَلاَ يَزِدُ فِيْ سُلْطَاِنكَ شيئاً اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَجِدُ
مَنْ تُعَذِّبُهُ غَيْرِي لَكِنِّيْ لاَ أَجِدُ مَنْ يَرْحَمْنِيْسِوَاكَ
فَاغْفِرْ لِيْ مَا بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ وَمَا بَيْنَ خَلْقِكَ اِرْحَمْنِيْ
بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَيَا رَجَاءَ السّائِلِيْنَ وَيَا
أَمَانَ اْلخَائِفِيْنَ إِرْحَمْنِيْ بِِرَحْمَتِكَ الْوَاسِعَةَ أَنْتَ أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَاَلمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ ِللْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَتَابِعِ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمْ بِالْخَيْرَاتِ ربّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَ أَنْتَ
خَيْرُالرَّاحِمِيْنَ وصل الله على سيّدنا محمّد وعلى ألِهِ وصحبه وسلّم تسليمًا
كثيرًا والحمد لله ربّ العالمين. أمين.
Diambil dari kitab “Majmu’atul Mubarakah”, susunan Syekh
Muhammad Shodiq Al-Qahhawi.
Waktu : Yaitu, shalat sunnah kafarat yang hanya
kesempatannya di hari Jumat akhir Ramadhan batasnya antara waktu dhuha dan
Ashar.
Apakah ini benar adanya? Mohon pencerahan…
Jawab
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya
Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah
ditetapkan waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Dalam shalat wajib, ada batas awal dan ada batas akhir. Orang yang
mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana orang yang
mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga batal.
Sehingga hukum asal shalat wajib harus dikerjakan pada waktu yang telah
ditentukan. Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali karena ada
sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti alasan bolehnya menjamak shalat.
Alasan lain yang membolehkan seseorang shalat di luar waktu adalah ketika
dia memiliki udzur di luar kesengajaannya. Seperti karena ketiduran atau
kelupaan.
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا،
فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu
shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Ahmad 11972 dan Muslim 1600).
Dan itulah satu-satunya kaffarah yang diizinkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia harus segera shalat ketika ingat atau ketika bangun.
Selain cara itu, tidak ada kaffarah baginya.
Dalam riwayat lain, juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا
ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika ingat. Tidak ada
kaffarah untuk menebusnya selain itu.” (HR. Bukhari 597 & Muslim 1598)
Kita bisa simak, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Tidak ada kaffarah untuk menebusnya selain itu.”
Artinya, tidak ada model kafarah lainnya. Sehingga kita bisa meyakini
bahwa riwayat di atas 100% dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dusta atas nama Abu Bakr dan Ali radhiyallahu ‘anhu.
Disebutkan dalam hadis yang lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para shahabat. Di
malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat. Namun mereka
kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena sinar matahari.
Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar azan
dikumandangkan. Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah subuh, kemudian
beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat
subuh berjemaah. Para sahabatpun saling berbisik, ‘Apa penebus untuk kesalahan
yang kita lakukan karena telat shalat?’ Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ
تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى
يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ
يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan shalat. Yang disebut
menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat, hingga masuk waktu
shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingga telat shalat maka hendaknya dia
laksanakan ketika bangun…” (HR. Muslim 1594)
Jika Meninggalkan dengan Sengaja, tidak ada Kaffarahnya
Konsekuensi dari keterangan di atas, orang yang meninggalkan shalat dengan
sengaja, tidak ada kaffarah baginya. Karena hakekatnya dia shalat di luar
waktu. Sementara dia tidak memiliki udzur, karena dia lakukan secara sengaja.
Lalu bagaimana cara menebus kesalahan karena meninggalkan shalat dengan
sengaja?
Cara menebusnya adalah dengan memperbanyak shalat sunah. Karena shalat
sunah bisa menambal kekurangan dari shalat wajib yang dilakukan hamba ketika di
hari hisab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita proses hisab
amal hamba,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا
جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى
أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ
كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ
فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ
تَطَوُّعِهِ
Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat adalah shalat.
Allah bertanya kepada para Malaikatnya – meskipun Dia paling tahu – “Perhatikan
shalat hamba-Ku, apakah dia mengerjakannya dengan sempurna ataukah dia
menguranginya?” Jika shalatnya sempurna, dicatat sempurna, dan jika ada yang
kurang, Allah berfirman, “Perhatikan, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunah?.”
jika dia punya shalat sunah, Allah perintahkan, “Sempurnakan catatan
shalat wajib hamba-Ku dengan shalat sunahnya.” (HR. Nasai 465, Abu Daud 864,
Turmudzi 415, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Berdasarkan hadis ini, para ulama menganjurkan, bagi siapa saja yang
meninggalkan shalat wajib, agar segera bertaubat dan perbanyak melakukan shalat
sunah. Dengan harapan, shalat sunah yang dia kerjakan bisa menjadi penebus
kesalahannya.
Syaikhul Islam mengatakan,
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ،
ولا تصح منه ، بل يكثر من التطوع ، وهو قول طائفة من السلف
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan
meng-qadhanya. Dan jika dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang dia
lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian
ulama masa silam.” (Al-ikhtiyarot, hlm. 34).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Hazm,
من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها فهذا لا
يقدر على قضائها أبداً، فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع؛ ليُثَقِّل ميزانه يوم
القيامة؛ وليَتُبْ وليستغفر الله عز وجل
“Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka
selama dia tidak bisa mengqadha’-nya. Hendaknya dia memperbanyak amal soleh dan
shalat sunah, agar memperberat timbangannya keelah di hari kiamat. Dia harus
bertaubat dan banyak istighfar.” (al-Muhalla, 2/279).
Bahaya Menyebarkan Berita Dusta atas Nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Seiring dengan semaraknya sarana informasi, manusia begitu mudah
menyebarkan apapun yanng dia dengar. Termasuk hadis-hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kita sangat yakin, maksud mereka baik, memotivasi
masyarakat untuk beramal. Namun jangan sampai ini menjadi alasan untuk
melakukan menyebarkan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dari Mughirah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku, tidak seperti berdusta atas nama orang
lain. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya dia siapkan
tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 1291 & Muslim 5)
Demikian pula ketika kita mendapat berita atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang diragukan keabsahannya, jangan disebarkan.
Karena itu terhitung berdusta. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى
أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu
dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena
meriwayatkannya).”
(HR. Muslim
dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang
yang tsiqoh -terpercaya-, juga Ibnu Majah 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
bahwa hadits ini shahih).
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar