Kasus pertama
Bagaimana hukumnya seorang suami mengatakan cerai sebanyak 3X beturut –
turut kepada istrinya dalam keadaan sadar namun terpaksa, karena harus
bertanggung jawab telah menzinahi wanita lain sampai hamil, sang suami diberi
persyaratan harus menikahi wanita yang dizinahinya ini dan harus menceraikan
istrinya karena kalau tidak menikahi wanita tersebut maka dia akan dilaporkan
ke pihak yang berwajib?.
Kasus kedua
Seorang suami menikah siri tanpa setahu dan seijin istri pertama. Seiring
berjalannya waktu, hal itu diketahui istri pertama dan keluarganya, kemudian si
suami dipaksa untuk menceraikan istri kedua yang dinikahi siri tersebut. Si
suami bahkan dipaksa harus talak 3, padahal si suami masih mencintai si istri
keduanya. Seiring berjalannya waktu, si suami akhirnya bercerai dengan istri
pertamanya. Bisakah si suami menikahi lagi mantan istri keduanya tadi,
sedangkan si mantan istri kedua belum pernah menikah lagi setelah di talak 3
tadi. Apakah mantan istri kedua harus menikah dengan orang lain dulu baru boleh
menikah dengan mantan suami yang mentalak 3 atas kemauan istri pertamanya tadi.
Kasus ketiga
Suami saya telah menjatuhkan talak kepada saya di depan hakim saja untuk
mengakhiri pernikahan secara undang-undang, agar dia dibolehkan menikah dengan
istri kedua, namun sebenarnya dia masih menjadi suami saya yang sah, akan
tetapi hakim menekan dan memaksanya untuk menceraikan saya di bawah al Qur’an,
kalau tidak maka penjara menanti kita berdua, dia pun menuruti perintah hakim.
Tentu suami saya tidak bermaksud untuk menceraikan saya, hanya saja
undang-undang telah mengakhiri pernikahan dengan istri pertama selamanya begitu
seorang suami ingin menikah lagi dengan istri kedua. Inilah yang diinginkan
oleh hakim dengan paksa, apalagi saya sedang hamil ketika proses tersebut
berlangsung. Apakah talak karena undang-undang tersebut dianggap jatuh talak?, apakah
kami wajib membayar denda (kaffarat)?, kami ingin terbebas dari setiap dosa;
karena banyak masalah yang mengitari kami dari semua sisi, besar perkiraan kami
karena keburukan maksiat.
Pembahasan
Melihat ketiga kasus diatas, inti permasalahannya adalah seseorang yang
dipaksa untuk menjatuhkan talak, apakah talak tersebut sah sehingga suami dan
istri tersebut menjadi bercerai?.
Jika seorang suami dipaksa untuk menceraikan istrinya dengan diancam akan
disakiti fisik dan hartanya atau diancam dengan penjara, dari seseorang yang
dianggap mampu untuk melaksanakan ancamannya tersebut, maka dalam kondisi
seperti itu tidak dianggap jatuh talak. Karena hukum talak yang dilakukan
karena dipaksa adalah tidak sah, demikian yang disampaikan oleh para ulama
diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, para ulama yang tergabung dalam
Lajnah Daaimah. Imam Ibnu Utsaimin berkata :
إنما
يقع الطلاق إذا أراده الإنسان إرادةً حقيقية وكتبه بيده أو نطقه بلسانه مريداً له
غير ملجأ إليه ولا مغلقٍ عليه ولا مكره ، فهذا الذي يقع طلاقه
“Talak yang sah itu talak yang dilakukan dengan keinginan yang hakiki,
atau ditulis dengan tangan sendiri atau diucapkan dengan lisannya sendiri
karena menginginkan cerai, bukan dalam rangka mencari pelarian, atau ga ada
pilihan atau karena dipaksa, ini semua adalah talak yang tidak sah.” (Fatawa
Nurun Alad Darb : 10/359).
Diantar dalil yang melandasi ucapan para ulama ini adalah sabda Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ
اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا
عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan umatnya jika mereka melakukan kesalahan
karena tidak sengaja, lupa dan karena dipaksa.” (HR Ibnu Majah : 2043 dishahihkan oleh
Imam Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan :
لَيْسَ
لِمُكْرَهٍ طَلاَقٌ
“Orang yang dipaksa itu tidak berlaku talak baginya.” (HR Baihaqi dalam Sunan Al Kubra :
15499 dishahihkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in :
3/38).
Atas dasar itulah maka meskipun suami telah mengucapkan kata talak, maka
perceraian itu tidak terjadi; karena dia dalam kondisi terpaksa.
Dan jika lafadz talak tidak di ucapkan, tapi ditulis atau terjadi hanya di
atas dokumen tertentu tanpa ada niat untuk menjatuhkan talak; maka talak lebih
tidak terjadi; karena perceraian melalui tulisan tidak terjadi kecuali dengan
disertai niat talak.
Dalam kasus ketiga, menikah dengan istri kedua hukumnya
mubah dalam syari`at, bisa jadi sunnah dan bisa jadi wajib, dan tidak seorang
pun boleh melarangnya atau memaksanya untuk menceraikan istri pertamanya
terlebih dahulu.
Dan sebaiknya istri pertama menguatkan apa saja yang menjadi hak-nya dari
sang suami, seperti; mas kawin yang belum dibayarkan atau yang lainnya; karena
dia setelah proses perceraian menurut pengadilan tidak dianggap istri yang sah
di hadapan undang-undang.
Dalam kasus pertama dan kedua terjadi talak 3 sekaligus.
Disini kami menguatkan pendapat tentang haramnya talak 3 sekaligus, sebagaimana
yang telah ditentukan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits beliau bahwa talak 3
sekaligus, jatuhnya tetap pada talak 1.
Rukanah bin Abdullah mentalak istrinya tiga sekaligus dalam satu waktu.
Lalu ia merasa sangat sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, “Bagaimana kamu mentalaknya?” Dia menjawab, “Aku
mentalaknya tiga kali.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dalam
satu waktu?” Dia menjawab, “Ya.”
قَالَ:
إِنَّمَا تِلْكَ وَاحِدَةٌ فَأَرْجِعْهَا إِنْ شِئْتَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang
demikian itu adalah talak satu, maka kembalilah jika kamu mau.”
Lalu, dia kembali kepadanya.
Imam Ahmad berkata, “Said bin Ibrahim telah meriwayatkan kepada kami,
ayahku telah menceritakan kepadaku dari Muhammad bin Ishar, Daud bin Husain
menceritakan kepadaku dari Ikrimah -maula (mantan budak) Ibnu Abbas- dia
berkata, “Setiap talak itu harus dalam keadaan suci.” (HR. Ahmad).
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan
talak tiga sekaligus.
فَقَامَ
غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: أَيَلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟
حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَقْتُلُهُ؟
“Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam keadaan
marah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah dia hendak
mempermainkan Kitab Allah (Al-Quran), sedangkan aku masih berada di
tengah-tengah kalian?’ Sampai-sampai ada seorang laki-laki yang berdiri, lalu
berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh membunuhnya?’” (HR. An-Nasa’i).
Semoga Allah memberikan taufiq dan petunjuk-Nya.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar