Dewasa ini permasalahan yang sering kita temukan
di masyarakat kita yaitu talak tiga kali dalam sekali ucap. Seperti contohnya
seseorang mengucapkan, “Kamu kutalak, kamu kutalak, kamu kutalak!” Atau
ucapan, “Saya talak kamu tiga kali.” Benarkah seperti ini jatuh talak
tiga sekaligus? Atau masih dianggap satu kali talak? Padahal kesempatan talak
bagi seorang suami adalah sampai tiga kali. Jika sudah terucap tiga kali talak,
maka istri tidak halal lagi bagi si suami sampai ia menikah dengan laki-laki
lain, lalu disetubuhi, kemudian berpisah secara wajar.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الطَّلَاقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ … فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ
بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al Baqarah: 229-230).
Begitu beratnya efek dari sebuah talak tiga, lalu bagaimana jika seseorang mentalak
istrinya dalam sekali ucap langsung dengan tiga kali talak? semisal dengan
ucapan, “Saya talak kamu tiga kali.” Atau ia berkata, “Saya talak
kamu, saya talak kamu, saya talak kamu.”
Masalah ini terdapat perselisihan pendapat yang masyhur di kalangan para
ulama.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak seperti ini hukumnya mubah dan
dianggap talak tiga.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan
pendapat terakhir dari Imam Ahmad menyatakan bahwa talak ini dihukumi haram dan
tetap dianggap talak tiga.
Sedangkan ulama Zhohiri, Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim
berpendapat bahwa talak tiga dalam sekali ucap dihukumi haram dan dianggap
hanya satu talak (bukan tiga kali talak). Pendapat ini juga menjadi pendapat
kebanyakan tabi’in. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat dengan alasan
sebagai berikut:
1. Kita dapat berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
الطَّلَاقُ
مَرَّتَانِ
“Talak (yang dapat kembali rujuk) dua kali” (QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud di
sini adalah talak itu ada dua, artinya talak itu tidak sekali ucap. Jika jatuh
talak, lalu dirujuk, setelah itu ditalak lagi, ini baru disebut dua kali.
Artinya ada kesempatan untuk rujuk. Sedangkan talak tiga dalam sekali ucap
tidak berlaku demikian dan berseberangan dengan aturan yang telah Allah tetapkan.
Kita dapat ambil permisalah dengan seseorang berdzikir “subhanallah”.
Jika diperintahkan bertasbih sebanyak 100 kali, maka kita ucapkan subhanallah
berulang sampai 100 kali. Jika hanya disebut, “Subhanallah 100x”, maka
ini sama saja dengan sekali ucap dan belum dianggap 100 kali ucapan yang
berulang.
2. Ada riwayat yang mendukung bahwa talak tiga sekali ucap dianggap satu.
Rukanah bin Abdullah mentalak istrinya tiga sekaligus dalam satu waktu.
Lalu ia merasa sangat sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, “Bagaimana kamu mentalaknya?” Dia menjawab, “Aku
mentalaknya tiga kali.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dalam
satu waktu?” Dia menjawab, “Ya.”
قَالَ:
إِنَّمَا تِلْكَ وَاحِدَةٌ فَأَرْجِعْهَا إِنْ شِئْتَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang
demikian itu adalah talak satu, maka kembalilah jika kamu mau.”
Lalu, dia kembali kepadanya.
Imam Ahmad berkata, “Said bin Ibrahim telah meriwayatkan kepada kami,
ayahku telah menceritakan kepadaku dari Muhammad bin Ishar, Daud bin Husain
menceritakan kepadaku dari Ikrimah -maula (mantan budak) Ibnu Abbas- dia
berkata, “Setiap talak itu harus dalam keadaan suci.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad mengatakan, “Hadits ini
shahih, dan dapat dijadikan hujjah.”
Imam At-Tirmidzi juga berpendapat demikian.
Abdur Razaq berkata, “Ibnu Juraih telah mengabarkan kepadaku, dia berkata,
‘Sebagian Bani Rafi (maula Rasulullah) telah mengabarkan kepadaku dari Ikrimah
dari Ibnu Abbas, dia berkata, ‘Abu Rukanah telah menceraikan istrinya Ummu
Rukanah, dan menikah dengan perempuan dari Madinah.”‘
Lalu, ia (istri baru Abu Rukanah) mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Dia tidaklah cukup bagiku seperti halnya
sehelai rambut yang kuambil dari kepalanya. Oleh karena itu, pisahkan aku
dengannya.’
Maka, Rasulullah memanggil Abu Rukanah dan istrinya, lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Tahukah kamu bahwa si fulan dari
Abdi Yazid seperti ini dan itu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, wahai
Rasulullah.’ Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
Abdi Yazid, ‘Ceraikan dia.’ Maka ia pun menceraikannya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata lagi, ‘Rujuklah istrimu atau Rukanah.’ Dia
menjawab, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah mentalaknya dengan talak tiga.’
قَالَ:
قَدْ عَلِمْتُ، رَاجِعْهَا، وَتَلاَ: يَآ أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَآءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, aku tahu itu.
Kembalilah kepadanya.’ Lalu beliau membacakan ayat, ‘Wahai Nabi, apabila
kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu,
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.’”
Abu Daud meriwayatkan dengan jalan lain dari Ahmad bin Shalih, Abdur Razaq
telah menceritakan kepadanya. Sanad ini tidak melalui Ibnu Ishaq yang
dikhawatirkan sebagai perawi mudallis.
Itulah beberapa hadits shahih menyatakan bahwa di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, talak tiga dalam satu waktu dianggap sebagai
talak satu. Begitu juga pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Dari Thowus, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
كَانَ
الطَّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ
وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ
لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ. فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ.
“Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, lalu dua
tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar
pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan
talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak
itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap
bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak
tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak. [HR. Muslim no.1472]
Hadits ini menunjukkan bahwa talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk,
tidak bisa langsung menjatuhkan tiga kali talak dan tidak ada rujuk sama
sekali. Dan karena merajalelanya kebiasaan mentalak tiga sekaligus dalam sekali
ucap, maka ‘Umar memutuskan dianggap tiga kali talak. Hal ini dilakukan ‘Umar
agar orang tidak bermudah-mudahan dalam menjatuhkan talak tiga sekaligus.*
Sekali lagi masalah ini adalah masalah ijtihadiyah (masih ada ruang
ijtihad). Dari hadits Ibnu ‘Abbas di atas menunjukkan bahwa talak tiga dalam
sekali ucap dianggap hanya jatuh talak satu. Dan inilah hukum asal dari talak.
Namun seandainya hakim melihat maslahat yaitu agar orang tidak
mudah-mudahan menjatuhkan talak tiga sekaligus dalam sekali ucap, maka bisa
dianggap talak tersebut talak tiga sebagaimana yang terjadi di masa khalifah
‘Umar. Itu adalah sebagai hukuman dan pelajaran agar talak tiga dalam satu
waktu tidak dilakukan oleh orang banyak. Ini juga merupakan ijtihad pribadi
Umar, yang bertujuan demi kemaslahatan bersama. Adapun hukum sebenarnya adalah
sebagaimana yang difatwakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan
talak tiga sekaligus.
فَقَامَ
غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: أَيَلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟
حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَقْتُلُهُ؟
“Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam keadaan
marah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah dia
hendak mempermainkan Kitab Allah (Al-Quran), sedangkan aku masih berada di
tengah-tengah kalian?’ Sampai-sampai ada seorang laki-laki yang berdiri,
lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh membunuhnya?’” (HR.
An-Nasa’i).
Cara rujuk kembali setelah talak tiga
Apabila talak tiga telah jatuh maka suami tidak bisa kembali kepada istri
baik pada masa ‘iddahnya ataupun setelah masa ‘iddah kecuali dengan akad dan
mahar baru, dan setelah mantan istri menikah dengan laki-laki lain.
Allah berfirman,
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah
itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ….” (QS. Al-Baqarah:230)
Pernikahan wanita ini dengan lelaki kedua bisa menjadi syarat agar bisa
rujuk kepada suami pertama, dengan syarat:
Pertama: Dalam pernikahan yang dilakukan harus terjadi hubungan badan, antara sang
wanita dengan suami kedua.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah,
أَنَّ
امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ
طَلاَقِى ، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ
الْقُرَظِىَّ ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – « لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ ،
لاَ ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ
»
“Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Ia berkata, “Aku adalah
istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku
menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang
ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : “Apakah kamu ingin kembali
kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun
merasakan madumu.” [HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433]
Maksud hudbatuts-tsaub (ujung kain) maknanya adalah kemaluan suami
lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].
‘Usailah (madu) yang dimaksud dalam hadits di atas menurut jumhur (mayoritas ulama)
adalah kelezatan ketika hubungan intim, yaitu ketika ujung kemaluan suami telah
tenggelam pada kemaluan istri walau tidak keluar mani nantinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang
yang berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang
menikahinya) pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar
ataukah tidak?”
Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pendapat para Imam
kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga
(kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang
pertama.):
لاَ
حَتَّى تَذُوْقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ.
‘Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.’
Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu masing-masing dan
ini tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak diketahui adanya
pendapat yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah pendapat aneh yang
diselisihi oleh Sunnah yang shahih, lagi pula telah ada ijma’ sebelumnya dan
sesudahnya.” [Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/109)]
Kedua: Pernikahan ini dilakukan secara alami, tanpa ada rekayasa dari mantan
suami maupun suami kedua. Jika ada rekayasa maka pernikahan semacam ini disebut
sebagai “nikah tahlil“; lelaki kedua yang menikahi sang wanita, karena
rekayasa, disebut “muhallil“; suami pertama disebut “muhallal lahu“.
Hukum nikah tahlil adalah haram, dan pernikahannya dianggap batal.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Nikah muhallil adalah haram, batal, menurut
pendapat umumnya ulama. Di antaranya: Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i,
Qatadah, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.”
(Al-Mughni, 7:574)
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan
bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya
dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar
menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan akad
nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka
selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut.” [Al-Umm (V/117)]
Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang menjadi
muhallil dan muhallal lahu. Dari Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR.
Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan
perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah meriwayatkan
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Maukah aku
tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?” Mereka menjawab: “Tentu,
wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Ia adalah muhallil, semoga Allah
melaknat muhallil dan muhallal lahu.” [HR. Ibnu Majah no. 1936, dihasankan
oleh Syaikh al-Albani]
Bahkan, termasuk dalam melakukan tindakan “merekayasa” ketika ada
seorang lelaki yang menikahi wanita yang dicerai dengan talak tiga, dengan niat
untuk dicerai agar bisa kembali kepada suami pertama, meskipun suami pertama
tidak mengetahui.
Ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ada seseorang datang kepada
beliau dan bertanya tentang seseorang yang menikahi seorang wanita. Kemudian,
lelaki tersebut menceraikan istrinya sebanyak tiga kali. Lalu, saudara lelaki
tersebut menikahi sang wanita, tanpa diketahui suami pertama, agar sang wanita
bisa kembali kepada saudaranya yang menjadi suami pertama. Apakah setelah
dicerai maka wanita ini halal bagi suami pertama? Ibnu Umar memberi jawaban,
“Tidak halal. Kecuali nikah karena cinta (bukan karena niat tahlil). Dahulu,
kami menganggap perbuatan semacam ini sebagai perbuatan zina di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Hakim dan Al-Baihaqi; dinilai sahih oleh
Al-Albani)
Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang pria
bertanya kepadanya: “Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya bagi
(mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu.” Ia
menjawab: “Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika
mengagumkanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah.
Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai perzinaan.” [Al-Mughni (VII/570)]
Kemudian sebagai catatan adalah ketika mantan istri telah menikah dengan
pria lain dan terjadi perceraian lalu kembali pada suami yang dulu, maka talak
tiga yang dulu sudah kembali nihil. Jika terjadi talak, maka dihitung mulai
dari nol lagi. Demikian ijma’ para ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar