Al Ustadz Abdullah bin Taslim bertanya:
Sehubungan dengan Pemilu untuk memilih presiden yang sebentar lagi akan
diadakan di Indonesia, dimana Majelis Ulama Indonesia mewajibkan masyarakat
Indonesia untuk memilih dan mengharamkan golput, bagaimana sikap kaum muslimin
dalam menghadapi masalah ini?
Jawaban dari Syaikh Abdul Malik:
Segala puji bagi Allah, serta salawat, salam dan keberkahan semoga
senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang
setia mengikuti jalannya, amma ba’du:
Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan (berat) dalam
memilih pemimpin (kepala negara) mereka melalui cara pemilihan umum, yang ini
merupakan (penerapan) sistem demokrasi yang sudah dikenal. Padahal terdapat
perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam
memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal
jama’ah). Untuk penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah)
bisa merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama besar
dan mulia, yaitu kitab “al-’Adlu fil Islaam wa laisa fi dimokratiyyah al
maz’uumah” (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam dan bukan pada sistem
demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami syaikh Abdul Muhsin bin Hamd
al-’Abbaad al-Badr –semoga Allah menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau
dalam ketaatan kepada-Nya –.
‘Ala kulli hal, pemilihan umum dalam sistem demokrasi telah diketahui,
yaitu dilakukan dengan cara seorang muslim atau kafir memilih seseorang atau
beberapa orang tertentu (sebagai calon presiden). Semua perempuan dan laki-laki
juga ikut memilih, tanpa mempertimbangkan/membedakan orang yang banyak berbuat
maksiat atau orang shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Semua ini (jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat) Islam.
Sesungguhnya para sahabat yang membai’at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq
radhiallahu ‘anhu (sebagai khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di saqiifah (ruangan besar beratap
tempat pertemuan) milik (suku) Bani Saa’idah, tidak ada seorang perempuan pun
yang ikut serta dalam pemilihan tersebut. Karena urusan siyasah (politik) tidak
sesuai dengan tabiat (fitrah) kaum perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut
berkecimpung di dalamnya. Dan ini termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Qs. Ali ‘Imraan: 36)
Maka bagaimana kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan
antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua jenis
manusia ini membedakan antara keduanya?! Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali
tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash: 68)
Di sisi lain Allah Ta’ala berfirman:
أَفَنَجْعَلُ
الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian);
bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. al-Qalam: 35 – 36)
Sementara kalian (wahai para penganut sistem demokrasi) menyamakan antara
orang muslim dan orang kafir?! Maka ini tidak mungkin untuk… (kalimat yang kurang jelas). Masalah ini (butuh) penjelasan yang panjang
lebar.
Akan tetapi (bersamaan dengan itu), sebagian dari para ulama zaman
sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam pemilihan umum dalam rangka
untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan terpaksa). Meskipun mereka
mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan umum) adalah tidak boleh
(haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua orang diharuskan ikut serta
dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau tidak? Mereka berkata: anda
ikut memilih dan pilihlah orang yang paling sedikit keburukannya di antara
mereka (para kandidat yang ada). Karena umumnya mereka yang akan dipilih adalah
orang-orang yang memasukkkan (mencalonkan) diri mereka dalam pemilihan
tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:
“Janganlah engkau (berambisi) mencari kepemimpinan, karena sesungguhnya
hal itu adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat nanti.” (Gabungan dua hadits shahih riwayat imam
al-Bukhari (no. 6248) dan Muslim (no. 1652), dan riwayat Muslim (no. 1825))
Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang (berambisi)
mencari kepemimpinan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Barangsiapa yang (berambisi) mencari kepemimpinan maka dia akan
diserahkan kepada dirinya sendiri (tidak ditolong oleh Allah dalam menjalankan
kepemimpinannya).” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dinyatakan lemah oleh syaikh
al-Albani dalam “adh-Dha’iifah” (no. 1154). Lafazh hadits yang shahih Riwayat
al-Bukhari dan Muslim: “Jika engkau menjadi pemimpin karena (berambisi)
mencarinya maka engkau akan diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh
Allah).”
Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa yang
diserahkan kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah diserahkan kepada
kelemahan, ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh
salah seorang ulama salaf – semoga Allah meridhai mereka–.
‘Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti ini dalam rangka menghindari
atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau keadaannya memaksa
kita terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita tidak memilih). Adapun jika
ada dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita memilih yang paling berhak
di antara keduanya.
Akan tetapi jika seseorang tidak mengatahui siapa yang lebih baik (agamanya)
di antara para kandidat yang ada, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia
untuk memilih, padahal dia sendiri mengatakan: aku tidak mengetahui siapa yang
paling baik (agamanya) di antara mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَلا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggung-jawabannya.” (Qs. al-Israa’: 36)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk
golongan kami.” (HR Muslim no. 101). Jika anda memilih orang yang anda tidak ketahui
keadaannya maka ini adalah penipuan/pengkhianatan.
Demikian pula, jika ada seorang yang tidak merasa puas dengan kondisi
pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam pemilu) secara mutlak, baik
dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia
melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam?!
Maka ‘ala kulli hal, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Dialah yang memilih
untuk umat ini pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik maka Allah akan
memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula, (sabaliknya) kalau
mereka buruk maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang buruk
pula. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَكَذَلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi
pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Qs. al-An’aam: 129)
Maka orang yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat yang zhalim,
demikianlah keadaannya.
Kalau demikian, upayakanlah untuk menghilangkan kezhaliman dari umat ini,
dengan mendidik mereka mengamalkan ajaran Islam (yang benar), agar Allah
memberikan untuk kalian pemimpin yang kalian idam-idamkan, yaitu seorang
pemimpin yang shaleh. Karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Dalam ayat ini) Allah tidak mengatakan
“…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada pemimpin-pemimpin mereka”,
akan tetapi (yang Allah katakan): “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.”
Aku telah menulis sebuah kitab tentang masalah ini, yang sebenarnya kitab
ini khusus untuk para juru dakwah, yang mengajak (manusia) ke jalan Allah
Ta’ala, yang aku beri judul “Kamaa takuunuu yuwallaa ‘alaikum”
(sebagaimana keadaanmu maka begitupulalah keadaan orang yang menjadi
pemimpinmu). Aku jelaskan dalam kitab ini bahwa watak para penguasa selalu
berasal dari watak masyarakatnya, maka jika masyarakatnya (berwatak) baik
penguasanya pun akan (berwatak) baik, dan sebaliknya.
Maka orang-orang yang menyangka bahwa (yang terpenting dalam) masalah ini
adalah bersegera untuk merebut kekuasaan, sungguh mereka telah melakukan
kesalahan yang fatal dalam hal ini, dan mereka tidak mungkin mencapai hasil
apapun (dengan cara-cara seperti ini). Allah Ta’ala ketika melihat kerusakan
pada Bani Israil disebabkan (perbuatan) Fir’aun, maka Allah membinasakan
Fir’aun dan memberikan kepada Bani Israil apa yang mereka inginkan, dengan
Allah menjadikan Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pemimpin mereka. (Akan tetapi)
bersamaan dengan itu, kondisi (akhlak dan perbuatan) mereka tidak menjadi baik,
sebagaimana yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an. Mereka tidak menjadi baik
meskipun pemimpin mereka adalah kaliimullah (orang yang langsung berbicara
dengan Allah Ta’ala), yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang sudah
kita ketahui. Bahkan sewaktu Allah berfirman (menghukum) sebagian dari Bani
Israil:
كُونُوا
قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. al-Baqarah: 65)
Kejadian ini bukanlah di zaman kekuasaan Fir’aun. Akan tetapi hukuman
Allah ini (menimpa) sebagian mereka (karena mereka melanggar perintah Allah)
ketika mereka di bawah kepemimpinan Nabi Musa ‘alaihissalam dan para Nabi Bani
Israil ‘alaihimussalam sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Bani Israil selalu
dipimpin oleh para Nabi ‘alaihimussalam, setiap seorang Nabi wafat maka akan
digantikan oleh Nabi berikutnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dan hanya Allah-lah yang mampu memberikan taufik (kepada manusia).
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Madinah Nabawiyyah, 15 Rabi’ul awal 1430 H / 11 Maret 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar