Jual beli lelang sudah dikenal sejak zaman sahabat. Jual beli ini sering
diistilahkan dengan jual beli muzayadah [arab: المزايدة], artinya saling menambah.
Karena umumnya penjual ketika membuka harga barang yang dilelang, dia
mengatakan, man yazid [arab: مَن يزيد], siapa yang mau menambah
harga?
Berikut diantara dalil yang menunjukkan bahwa jual beli lelang telah
dikenal di masa sahabat,
Pertama, hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
Suatu ketika ada seorang Anshar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengeluhkan keadaannya karena tidak punya uang.
”Kamu tidak punya barang apapun?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Orang inipun mengambil sedel pelana dan gelas.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para sahabat,
مَنْ
يَشْتَرِي هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: مَنْ
يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ؟
”Siapa yang mau membeli ini?”
”Saya berani beli 1 dirham.” Tawar salah satu sahabat.
“Siapa yang berani lebih dari 1 dirham?”
Semua sahabat terdiam. Hingga beliau mengulangi lagi tawarannya,
مَنْ
يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ؟
“Siapa yang mau menambah lebih dari 1 dirham?”
Hingga akhirnya ada satu orang yang angkat tangan, “Saya berani
membelinya 2 dirham.”
“Silahkan ambil barang ini.” ucap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya no. 12134, Abu Daud
dalam sunannya no. 1641, Turmudzi dalam Jami’-nya no. 1218, namun status hadis
ini dhaif, sebagaimana keterangan al-Albani dan Syuaib al-Arnauth. Karena dalam
sanadnya terdapat perawi bernama Abu Bakr al-hanafi dan dia Majhul.
Kemudian, Turmudzi menjelaskan bahwa para ulama mengamalkan kandungan
hukum dalam hadis ini. Karena jual beli Muzayadah(lelang) termasuk jual beli
yang sudah dikenal para sahabat dan tabiin. Turmudzi mengatakan,
وَالعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ: لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِبَيْعِ مَنْ
يَزِيدُ فِي الغَنَائِمِ وَالمَوَارِيثِ
Praktek terhadap kandungan menurut sebagian ulama, bahwa dibolehkan jual
beli muzayadah untuk harta rampasan perang (ghanimah) dan warisan. (Jami’
Turmudzi, 3/514).
Kedua, keterangan dari ulama Tabiin,
Imam At-Thahawi membawakan keterangan dari ulama tabiin, Atha bin Abi
Rabah (w. 114 H), beliau mengatakan,
أَدْرَكْت
النَّاسَ يَبِيعُونَ الْغَنَائِمَ ، فِيمَنْ يَزِيدُ
Saya menjumpai para manusia (sahabat) yang mereka melakukan jual beli
ghanimah kepada ’man yazid’ orang yang nambah harga. (HR. Bukhari secara
Muallaq 3/69, dan disebutkan dalam Syarh Ma’ani al-Atsar, no. 3935).
At-Thahawi juga menyebutkan riwayat dari Mujahid (ulama tabiin, muridnya
Ibnu Abbas, w. 104 H), Mujahid mengatakan,
لا
بَأْسَ أَنْ يَسُومَ عَلَى سَوْمِ الرَّجُلِ إذَا كَانَ فِي صَحْنِ السُّوقِ ،
يَسُومُ هَذَا وَهَذَا ، فَأَمَّا إذَا خَلا بِهِ رَجُلٌ ، فَلَا يَسُومُ عَلَيْهِ
Tidak masalah seseorang menawar barang yang sudah ditawar orang lain jika
pasar masih terbuka (lelang belum ditutup). Dan jika barang sudah dibawa
pemenang lelang, tidak boleh ditawar lagi. (Syarh Ma’ani al-Atsar, no. 3936).
Jika Lelang Sudah Ditutup, Tidak Boleh Ada yang Menawar
Dalam islam, kita dilarang menawar barang yang sudah ditawar orang lain.
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan,
لَا
يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
“Seorang lelaki tidak boleh melamar wanita yang sedang dilamar lelaki
lain, dan seseorang tidak boleh menawar barang yang sudah ditawar orang lain.” (HR. Muslim 1408 dan yang lainnya)
Lalu, bagaimana dengan jual beli lelang? Bukankah mereka saling menawar
barang dengan harga yang lebih tinggi?
Dari keterangan Mujahid di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa larangan
’menawar barang yang sedang ditawar orang lain’ ini berlaku jika lelang sudah
ditutup.
Namun jika lelang belum ditutup, bukan termasuk dalam larangan menawar
barang yang sedang ditawar orang lain. Karena satu sama lain saling memahami,
bahwa penawaran masih terbuka.
Penjelasan seperti ini yang disampaikan an-Nawawi dalam Raudhatut
Thalibin,
فأمّا
ما يُطاف به فيمن يزيد وطلبه طالب فلغيره الدخول عليه والزيادة فيه . وإنما يحرم
إذا حصل التراضي صريحا
Barang yang masih ditawarkan untuk pembeli yang berani memberi harga
lebih, yang lain boleh ikut bergabung dan memberikan tambahan harga, meskipun
sudah ada yang menawar. Yang dilarang adalah ketika sudah terjadi ketegasan
saling ridha – antara penjual dan pembeli –. (Raudhatut Thalibin, 3/415).
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar