Berikut ini adalah fatwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengenai najisnya anjing. Apakah seluruh tubuhnya najis atau cuma air
liurnya saja? Jjawabannya ada dalam fatwa beliau berikut ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Al Kubro 1/263 ditanyakan mengenai
pertanyaan di atas dan beliau berkata :
[Perselisihan tentang najisnya anjing]
Adapun mengenai najis pada anjing terdapat
tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya
najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan
salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci
termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu
najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain
dari Imam Ahmad.
[Apakah bulu hewan yang tumbuh pada hewan
yang najis termasuk najis?]
Sedangkan pendapat Imam Ahmad mengenai
najisnya bulu hewan (rambutnya) yang tumbuh pada hewan yang najis ada tiga
pendapat dari beliau:
Pertama, semua bulu hewan
tersebut suci termasuk bulu anjing dan babi. Ini adalah pendapat yang dipilih
oleh Abu Bakr Abdul ‘Aziz.
Kedua, semua bulu hewan
tersebut najis. Pendapat Imam Ahmad yang kedua ini sama dengan pendapat Imam
Syafi’i (yang menyatakan seluruh tubuh hewan yang najis, maka bulunya juga
najis).
Ketiga, apabila bulu
bangkai itu suci ketika dia hidup maka suci pula ketika dia menjadi bangkai
seperti kambing dan tikus. Adapun bulu hewan yang najis ketika hidup seperti
anjing dan babi, maka najis pula ketika jadi bangkai. Pendapat ketiga inilah
yang banyak dikuatkan oleh para pengikut Imam Ahmad.
Pendapat yang kuat (yang dipilih oleh
Syaikhul Islam, pen) bahwa seluruh bulu hewan itu suci
termasuk bulu anjing, babi dan lainnya, berbeda dengan air liur anjing.
[Jika Bulu Anjing yang Basah Mengenai
Pakaian]
Berdasarkan penjelasan di atas, apabila bulu
anjing yang basah dan mengenai pakaian seseorang, maka tidak ada kewajiban
baginya untuk bersuci sebagaimana hal ini adalah pendapat mayoritas pakar fiqih
yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.
Dinyatakan demikian karena hukum asal segala sesuatu
adalah suci. Tidak boleh seseorang menajiskan atau mengharamkan
sesuatu kecuali jika terdapat dalil yang mendukungnya karena Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al An’am [6] : 119)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ
مَا يَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak
akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka
sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.”
(QS. At Taubah [9] : 115)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda dalam hadits yang shohih,
إِنَّ
أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَىْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ ، فَحُرِّمَ
مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Seorang muslim yang paling
besar dosanya adalah orang yang ditanyakan tentang sesuatu yang tidak
diharamkan (oleh syari’at) lalu dia mengharamkannya karena sebab ditanya.”
(HR. Bukhari no. 6859)
Dalam sunan, dari Salman Al Farisy secara
marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) –ada pula yang
mengatakannya mauquf (sampai pada sahabat) -, beliau berkata,
الْحَلاَلُ
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِى كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِى
كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
“Halal adalah sesuatu yang Allah
halalkan dalam kitab-Nya dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam
kitab-Nya. Sedangkan sesuatu yang Allah diamkan adalah sesuatu yang dimaafkan.”
(HR. Ibnu Majah no. 3367 dan Tirmidzi no. 5506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan hadits
ini hasan)
[Bagian Anjing yang Najis adalah Ujung Lidahnya]
Jika memang demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ
إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana di antara kalian
yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali dan awalnya
dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)
Dalam hadits lain dikatakan,
إِذَا
وَلَغَ الْكَلْبُ
“Apabila anjing menjilat
(bejana).” (HR. Muslim no. 279)
Seluruh hadits yang menjelaskan hal ini,
semuanya menggunakan lafazh walagho (minum dengan ujung
lidah) dan tidak menyebutkan anggota tubuh yang lainnya. Kalau
bagian tubuh anjing lainnya mau dikatakan najis, maka ini hanya bisa dilakukan
melalui qiyas (analogi).
[Berikut beberapa qiyas yang bisa dilakukan, namun hal
ini disanggah oleh Syaikh]
[Jika ada yang mengatakan air kencing lebih
kotor dari air liur anjing]
Jika ada yang mengatakan bahwa air kencing
itu lebih kotor dari air liur, maka ini tergantung sudut pandang masing-masing
(mutawajjihan).
[Sanggahan untuk yang menyamakan bulu dan air
liur]
Adapun menyatakan sama najisnya antara bulu
dan air liur, maka itu suatu hal yang tidak mungkin karena air liur keluar dari
dalam tubuh. Hal ini berbeda dengan bulu yang tumbuh di kulit.
Semua pakar fiqih juga telah membedakan kedua
hal ini. Mayoritas ulama mengatakan bahwa bulu bangkai itu suci, berbeda dengan
air liurnya.
Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya
mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh di tanah yang najis tetap suci.
Oleh karena itu, sebagaimana tumbuhan yang
tumbuh di tanah yang najis tetap suci, begitu pula bulu anjing yang tumbuh di
kulit yang najis lebih tepat dikatakan suci. Berbeda dengan tanaman, dia bisa
mendapatkan pengaruh dari tanah yang najis, sedangkan bulu adalah sesuatu yang
padat (keras) sehingga tidak mungkin dipengaruhi layaknya tanah.
Para pengikut Imam Ahmad seperti Ibnu ‘Aqil
dan lainnya mengatakan bahwa tanaman (yang tumbuh di tanah yang najis) tetap
suci, lebih-lebih lagi bulu hewan. Barangsiapa menyatakan tanaman tersebut
najis maka ada perbedaan di antara keduanya sebagaimana yang telah disebutkan.
Jadi, setiap hewan yang dikatakan najis, maka
pembicaraan mengenai rambut dan bulunya sebagaimana pembicaraan pada bulu
anjing.
[Dari penjelasan beliau ini, berarti bulu babi juga suci
sebagaimana bulu anjing]
[Bagaimana dengan bulu hewan buas, najis
ataukah tidak?]
Apabila dikatakan bahwa hewan buas yang
bertaring dan burung yang bercakar kecuali kucing dan selainnya yang serupa
adalah najis -sebagaimana ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu para ulama
‘Iraq dan juga salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad-, maka pembicaraan
mengenai bulu dan rambutnya terdapat perselisihan, apakah najis atau tidak?
Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam
masalah ini :
Pendapat pertama Imam Ahmad, bulu hewan-hewan
tersebut suci. Inilah pendapat mayoritas ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam
Asy Syafi’i dan Imam Malik.
Pendapat kedua Imam Ahmad, bulu hewan-hewan
tersebut najis sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama-ulama belakangan
dari Hanabilah.
Pendapat yang benar adalah bahwa
bulu hewan-hewan tersebut suci sebagaimana penjelasan yang telah lewat.
[Keringanan pada air liur anjing pada hewan
buruan]
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan
pada hasil tangkapan anjing buruan, anjing yang menjaga hewan ternak, dan
anjing yang menjaga tanah garapan. Dan pasti bulu anjing seperti ini akan
ditemukan dalam keadaan basah sebagaimana hal ini terjadi pula pada bagal
(peranakan kuda dan keledai) dan keledai, dan hewan semacam itu.
Mengenai najisnya bulu anjing (yang terbasahi
seperti ini) dan keadaan tanah garapan yang najis, tidak ada dari umat ini yang
menganggap demikian. Begitu pula air liur anjing yang ditemukan pada
hewan hasil tangkapan buruan, tidak wajib untuk dicuci menurut pendapat yang
paling kuat. Inilah salah satu pendapat dari dua pendapat Imam Ahmad.
Alasan tidak wajibnya hal ini karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mencuci air liur anjing
semacam ini. Air liur anjing seperti ini dimaafkan ketika dalam kondisi
dibutuhkan (mendesak). Namun, tetap diperintahkan untuk dicuci jika tidak dalam
kondisi demikian. Hal ini menunjukkan bahwa syari’at Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan dan kebutuhan hamba-Nya.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar