Pertama: Menjama’ Shalat Ketika Hujan Lebat.
Bolehnya menjamak ketika turun hujan didasari beberapa
riwayat yang bersumber dari Sahabat maupun tabi’in (murid sahabat) serta
tabi’ut tabi’in (murid tabi’in) berikut ini:
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
جَمَعَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah
menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena
keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku
bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti
itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata
pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan
melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin
tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jamak shalat
yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bukan karena sebab ini dan sebab itu. Oleh
karenanya Imam Ahmad berdalil bolehnya menjamak shalat karena beberapa sebab
tersebut karena jika dalam keadaan genting atau hujan atau safar saja
dibolehkan jamak, maka lebih-lebih lagi ada sebab itu. Jadi, jamak karena
sebab-sebab tadi lebih pantas ada karena sebab lainnya. Walaupun dalam hadits
Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan jamak karena hujan, namun jika dipahami jamak
karena hujan lebih-lebih dibolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa,
24: 76.
Dari Nafi’ (seorang tabi’in) dia menceritakan
bahwasanya Abdulloh ibnu Umar dahulu apabila para pemimpin pemerintahan (umara’)
menjamak antara sholat Maghrib dengan ‘isyak pada saat hujan turun maka
beliaupun turut menjamak bersama mereka.
Dari Musa bin ‘Uqbah, dia menceritakan
bahwasanya dahulu Umar bin Abdul ‘Aziz pernah menjamak antara sholat Maghrib
dengan sholat ‘Isyak apabila turun hujan, dan sesungguhnya Sa’id ibnul Musayyib
(tabi’in), Urwah bin Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrohman serta para pemuka (ahli
ilmu) pada zaman itu senantiasa sholat bersama mereka dan tidak mengingkari
perbuatan tersebut.
Hisam bin Urwah mengatakan,
أَنَّ أَبَاهُ
عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا
يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا
جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya ayahnya (Urwah),
Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam
bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam
yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.”
(HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3:
169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Atsar semisal ini menunjukkan bahwa jamak ketika turun hujan adalah telah
diamalkan sejak dulu di Madinah pada masa sahabat dan tabi’in. Dan tidak
dinukil bahwa seorang sahabat dan tabi’in mengingkarinya. Dan bisa dipahami
bahwa sebenarnya hal itu sudah mutawatir (dinukil
dengan riwayat yang banyak).” (Lihat Majmu’ Al Fatawa,
24: 83).
Patokan Bolehnya Menjamak Shalat Ketika Hujan
Dalam Al Mughni disebutkan,
”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa
membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam
kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu
deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.” Lihat Al Mughni, 2: 117.
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan
bahwa orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada
waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan
hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa
menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena
kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika
shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana
akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya
menurut Ar Rafi’i dan Imam Nawawi.
Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat
tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli
juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah. Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 206-207.
Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah
Ta’khir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin
mengatakan: “Yang lebih utama adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu
sholat yang pertama/maghrib -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan
sikap lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa
orang-orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan
cara jamak taqdim.” (Syarhul Mumti’ halaman 563).
Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah
Sholat ‘Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat
‘Isyak yang dijamak disyaratkan keadaan masih hujan, adapun apabila sholat
‘Isyak sudah dilakukan kemudian di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka
tidaklah disyaratkan hal itu terus menerus ada sampai selesainya sholat yang
kedua (‘Isyak). Demikian pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya
apabila ada seseorang yang karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat
kemudian tiba-tiba di tengah sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang
maka jamak yang dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur
secara terus menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan
(Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574).
Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak
?
Apabila hujan turun maka seorang muslim yang
wajib menunaikan sholat jama’ah (baca: kaum lelaki) dibolehkan menjamak sholat
(apabila dia bersama imam di masjid -pent) atau sholat di rumahnya (karena
hujan termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri sholat
jama’ah di masjid -pent).
Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid)
walaupun jalan yang dilaluinya untuk mencapai masjid sudah terlindungi dengan
atap (sehingga tidak sulit baginya menghadiri jama’ah sholat ‘Isyak nantinya
ketika hujan belum reda -pent) hal ini supaya dia tidak kehilangan (pahala)
sholat berjama’ah.
Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena
sakit (atau karena udzur lain -pent) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka
dia tidak boleh menjamak; karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan
jamak tersebut (karena kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya
tersebut-pent). Adapun kaum wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh
menjamak sholat karena hujan sebab tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya
dengan menjamak itu, dan karena mereka bukan termasuk orang yang diwajibkan
menghadiri sholat berjama’ah. (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 560).
Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini
adalah tidak boleh ada jeda waktu panjang yang memisahkan antara keduanya,
sehingga harus dikerjakan secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan
pendapat beliau cukup kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak
apabila tidak bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan
(menurut yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah
dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat ‘Isyak -pent) atau
seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau
seandainya ada orang yang sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat
sunnah rowatib (ba’diyah maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa
dilakukannya karena ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya
tadi (sunnah rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan
‘Isyak) (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569).
Kedua: Menjama’ Shalat Ketika Penuh
Lumpur yang Merintangi Jalan
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada
mu’adzin pada saat hujan,”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’,
maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’.
Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah
di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan,”Seakan-akan manusia mengingkari
perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan,”Apakah kalian
merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah
melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus
berjalan di tanah yang penuh lumpur.” [HR. Muslim no. 699]
Hadits ini menunujukkan bahwa hujan dan tanah
yang berlumpur (karena sebelumnya hujan, pen) merupakan udzur (alasan) untuk
tidak melakukan shalat jum’at. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Abbas
di atas ”Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)” yang merupakan illah (sebab) untuk meninggalkan shalat jum’at
ketika hujan dan ketika tanah berlumpur (becek). Dan kedua hal ini termasuk
kesulitan. (Lihat Al Jami’ Li Ahkamish Sholah, 2/434)
Oleh karena dalam shalat jum’at dibolehkan
untuk ditinggalkan ketika jalan becek, maka begitu pula untuk shalat jama’ah
lainnya. Maka becek (tanah berlumpur setelah turun hujan) merupakan alasan
untuk menjama’ shalat atau meninggalkan shalat jama’ah.
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya pernah
mengatakan ketika menjawab sebuah pertanyaan, ”Yang terpenting adalah apabila
di sana terdapat sesuatu yang menyulitkan untuk ke masjid baik hujan deras
maupun jalan yang sulit dilewati karena adanya lumpur dan air (setelah turun
hujan), maka boleh untuk menjama’ shalat dan ini tidaklah mengapa. Namun jika
tidak dijama’, maka bagi mereka terdapat udzur untuk shalat di rumah-rumah
mereka karena hujan dan adanya lumpur ketika berjalan. (Lihat Majmu’ Fatawa
Ibnu Baz, 12/293)
Ketiga: Menjamak Shalat Ketika Angin
Kencang Disertai Hawa Dingin
Di antara udzur (alasan)
boleh menjama’ shalat dan tidak melakukan shalat jama’ah adalah adanya angin
kencang disertai hawa dingin.
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,”
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُنَادِي مُنَادِيْهِ فِي
اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ أَوْ اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ذَاتَ الرِّيْحِ صَلُّوْا
فِي رِحَالِكُمْ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan dan malam yang
dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah
kalian”.” [HR. Ibnu Majah no. 937]
Lalu apa batasan angin yang kencang disertai
hawa dingin?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
mengatakan, ”Yang dimaksudkan dengan angin kencang adalah angin yang di luar
kebiasaan. Kalau angin cuma biasa-biasa saja (angin sepoi-sepoi, pen) maka
tidak diperbolehkan untuk jama’. Dan yang dimaksudkan dengan angin yang membawa
hawa dingin adalah angin yang menyulitkan manusia.” (Syarhul Mumthi’, 2/284)
Menjama’ pada kondisi ini dibolehkan apabila
terpenuhi dua syarat yaitu:
[1] angin kencang,
[2] hawa dingin.
Ketika angin kencang, namun tidak disertai
hawa dingin, maka tidak perlu ada menjama’ shalat. Juga ketika cuaca begitu
dingin, namun tidak disertai angin kencang, tidak boleh pula menjama’ shalat
karena kondisi sangat dingin bisa saja memakai pakaian tebal atau pakaian yang
berlapis-lapis. Akan tetapi, jika ada angin kencang sehingga menerbangkan debu
ke mana-mana, maka di sini barulah ada kesulitan dan diperbolehkan menjama’
shalat dalam kondisi semacam ini.
Keempat: Menjamak Shalat Karena Kesulitan
Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah
menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena
keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku
bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti
itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata
pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan
dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau
ingin tidak memberatkan umatnya.” [HR. Muslim no. 705]
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni –Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah- menjelaskan, “Para pekerja atau petani jika di suatu waktu
mereka mengalami kesulitan, misalnya sulit mendapatkan air dan hanya diperoleh
jauh sekali dari tempat shalat. Jika mereka menuju ke tempat tersebut untuk
bersuci, maka nanti akan hilanglah berbagai aktivitas yang seharusnya
mereka jalanin. Dalam kondisi semacam ini, mereka boleh menjama’ shalat. Lebih
baik mereka mengerjakan shalat Zhuhur di akhir waktu yaitu mendekati waktu ‘Ashar.
Nantinya mereka menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar (yaitu jama’ suri), shalat
Zhuhur dijama’ suri dengan dikerjakan di akhir waktu, sedangkan shalat
‘Asharnya tetap dikerjakan di awal waktu. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup
dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka
nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang
lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan
air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.” (Majmu’
Al Fatawa, 21/458)
Kelima : Menjamak Shalat Ketika Sakit
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits
seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak
shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu,
dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka
seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang
telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak
karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada
waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi.” (Majmu’ Al
Fatawa, 24/84)
Dalam kesempatan yang lain Syaikhul Islam
menjelaskan,
”Orang yang menjamak shalat karena safar
apakah dia diperbolehkan menjamak secara mutlak ataukah jamak itu hanya khusus
bagi musafir. Imam Ahmad dalam masalah ini memiliki dua pendapat, baik ketika
bepergian ataupun tidak bepergian. Oleh karena itu, Imam Ahmad menegaskan
bolehnya jamak karena adanya kesibukkan (yang merepotkan untuk shalat pada
waktunya masing-masing).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan
yang menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah
alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak
shalat karena hujan, lumpur yang menghadang di jalan, anging yang kencing
membawa hawa dingin menurut pendapat yang nampak pada Imam Ahmad. Demikian pula
dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yang mengalami istihadhah
dan wanita yang menyusui (yang harus sering berganti pakaian karena dikencingi
oleh anaknya)”. (Majmu’ Al Fatawa, 24/14)
:: Yang Mesti Diperhatikan Ketika Menjama’ Shalat ::
Jama’ shalat berarti menggabungkan dua shalat
yaitu shalat Zhuhur dan ’Ashar atau Maghrib dan ’Isya di salah satu waktunya.
Jika digabungkan di waktu awal (waktu Zhuhur dan Maghrib), maka disebut jama’
taqdim. Sedangkan apabila digabungkan di waktu akhir (waktu ’Ashar dan ’Isya’),
maka disebut jama’ takhir. Dalam melaksanakan shalat jama’, ada beberapa point
yang mesti diperhatikan sebagai berikut.
Pertama: Niat
ketika jama’ apakah harus di awal?
Kedua: Bolehkah
berselang di antara dua shalat jama’?
Tidak perlu adanya niat di awal ketika hendak
mengerjakan shalat yang pertama. Maksudnya, boleh bagi yang ingin menjamak
mengerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu tanpa mesti ia berniat ingin menjama’
dengan shalat Ashar.
Boleh pula dalam menjama dua shalat, kedua
shalat tersebut dilakukan tanpa ada selang waktu, artinya setelah menunaikan
shalat zhuhur langsung dilanjutkan dengan shalat ’Ashar. Atau boleh juga
menjama’ shalat Zhuhur dan ’Ashar dengan ada selang waktu. Kedua cara ini
dibolehkan.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu, beliau berkata bahwa tatkala
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertolak
dari ’Arofah. … Tatkala sampai di Muzdalifah, beliau berwudhu dan
menyempurnakannya. Kemudian diserukan iqomah, lalu beliau shalat Maghrib.
Setelah shalat Maghrib, para sahabat menderumkan unta mereka di tempat
persinggahan. Lalu iqomah dikumandangkan kembali, kemudian shalat Isya. Dan
tidak ada shalat di antara keduanya.” [HR. Bukhari no. 1672]
Hadits di atas menunjukkan bahwa sebelumnya
para sahabat radhiyallahu ’anhum ajma’in tidak
berniat untuk menjama’ shalat pada awal waktu. Sehingga ini menunjukkan
benarnya penjelasan kami yang pertama di atas.
Hadits tersebut menunjukkan pula bolehnya
menjama’ dua shalat dengan dengan ada selang waktu. Ketika selang waktu
tersebut boleh diisi dengan aktifitas lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
”Yang benar, tidak perlu dipersyaratkan tidak ada selang waktu antara dua
shalat yang hendak dijamak, baik pada jamak takdim atau pun jamak takhir.
Karena syari’at sendiri tidak membatasi hal ini. ” (Majmu’ Al Fatawa, 24/54)
Ketiga: Adzan
cukup sekali, iqomah untuk masing-masing shalat
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,
إِنَّ
الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَرْبَعِ
صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ
فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى
الْعِشَاءَ
”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah
menyibukkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sehingga
tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khondaq hingga malam hari
telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah
dan beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan
shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan
kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.” [HR. An Nasa’i no. 662]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
حَتَّى
أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ
وَإِقَامَتَيْنِ
”Ketika beliau sampai ke
Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan
dua kali iqomah.” [HR. Muslim no. 1218]
Keempat:
Mengerjakan shalat secara berurutan
Ketika ingin menjama’ dua shalat, maka
disyaratkan dua shalat tersebut dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan
shalat lima waktu yang ada. Karena urutan tersebut telah ditetapkan oleh
syari’at. Misalnya menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar, maka shalat yang
dilakukan lebih dulu adalah shalat Zhuhur 4 raka’at, setelah itu shalat ‘Ashar
4 raka’at.
Akan tetapi, jika seseorang lupa atau tidak
tahu, ia ingin melakukan jama’ takhir. Ketika ada yang mengerjakan shalat
‘Isya’, ia pun berniat shalat ‘Isya’ di belakang imam tersebut. Baru setelah
menunaikan shalat ‘Isya, ia menunaikan shalat maghrib yang belum ia tunaikan.
Apakah shalat seperti ini sah karena tidak berurutan?
Para pakar fiqih mengatakan, “Shalatnya tidak
sah. Shalat ‘Isya yang ia lakukan tidak sah. Dia harus tetap melakukan shalat
‘Isya lagi setelah melakukan shalat maghrib.” (Penjelasan Syaikh Abu Malik
dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/496)
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar