Di masyarakat kita, kitab ini cukup populer, menjadi pegangan dalam
pengutipan hadits dalam ceramah-ceramah. Lengkapnya, berjudul Durratun Nashihin
Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir
al-Khubari seorang Ulama yang hidup di abad ke sembilan hijriyah.
Kitab Durratun Nashihin juga populer di India, dan Turki.
Namun, menurut hasil penelitian Dr. Lutfi Fathullah, 30% dari 839 hadis di
dalamnya ternyata berkategori palsu.
Kita ambil contoh. Misalnya bagi Anda yang merasa punya dosa, sebesar dan
seberat apa pun dosa itu, jangan takut. Cobalah baca salawat kepada Nabi
Muhammad saw. Sebanyak seratus kali setiap hari Jumat. Maka dengan salawat itu
dosa-dosa Anda praktis akan diampuni Tuhan. Ini sesuai dengan sebuah hadis yang
dikutip Utsman ibn Hasan Al-Khubawi (w. 1824) dalam kitabnya Durratun Nashihin
(DN).
Hadis itu persisnya berbunyi, “Man shalla `alayya mi’atan fi kulli yaumi
jumu`atin ghafarallahu lahu walau kanat dzunubuhu mitsla zabadil-bahri” (Barangsiapa
membaca salawat seratus kali untukku setiap hari Jumat, maka Allah akan
mengampuni dosanya, sekalipun dosanya itu seperti buih laut).
Benarkah demikian? Tunggu dulu. Hadis itu, menurut Dr. Lutfi Fathullah,
ternyata palsu dilihat dari segi kekuatan hukumnya. Merujuk pada ahli hadis
Asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Qaulul-Badi`, dosen ilmu hadis di IAIN Jakarta
itu berpendapat bahwa hadis tersebut tak dikenal perawinya. Asy-Syakhawi tidak
menemukan asal atau sumber hadis itu yang valid sebagai sabda Nabi Muhammad.
“Karena itu,” kata Lutfi, “Asy-Syakhawi memasukkan hadis tersebut sebagai hadis
yang tidak sahih alias palsu.” Dan, itu berarti pula, belum tentu benar bahwa
hanya dengan membaca salawat seratus kali di hari Jumat segala dosa diampuni
Tuhan.
Lutfi menyatakan pendapatnya itu dalam disertasinya
berjudul “Kajian Hadis Kitab Durratun Nashihin” yang ditulisnya guna meraih
gelar doktor falsafah dalam bidang ilmu hadis pada Fakulti Pengajian Islam
Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia. Disertasi setebal 787
halaman di bawah bimbingan Prof. Dr. Jawiah Dakir itu telah dipresentasikannya
di depan sidang promosi doktor di UKM, 27 Oktober 1999 lalu, dengan penguji
Prof. Dr.Muhammad Radhi, Prof. Dr. Abdul Samad Hadi, Prof. Dr. M. Zein, dan Prof.
Dr.Muddasir Rosdir. Dan hasilnya, Lutfi meraih gelar doktor dengan yudisium
memuaskan.
Rujukan Pesantren
Anak Betawi asli yang lahir pada 25 Maret 1964 itu memang sudah lama peduli hadis. Selain berhasil mengantongi gelar master dalam ilmu-ilmu hadis (‘ulumul hadits) dari Fakultas Syariah Universitas Yordania (1994), Lutfi juga selama empat tahun pernah secara intens bergelut dengan kitab-kitab tafsir-hadis karya ulama-ulama ternama, seperti Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, komunikasi-intelektualnya sangat dekat dengan Prof. Dr. Nuruddin `Itr, salah seorang pakar ilmu hadis yang sangat dikenal di dunia Arab.
Dengan dasar-dasar itu, Lutfi merasa jengah melihat cara
masyarakat Islam, khususnya kalangan ulamanya, dalam menggunakan hadis. Menurut
dia, dalam mengutip sebuah hadis, banyak kiai dan ulama hanya mengandalkan
ucapan “Qaala Rasulullah…”, tanpa menyebut siapa perawi dan apa sanadnya. Ini
berbahaya, baik bagi pengucapnya atau pendengarnya.
Dalam ilmu hadis, lanjut alumnus Gontor itu, kalau sebuah hadis tak jelas
perawinya, mungkin itu hadis palsu. “Menggunakannya sebagai dalil, dosanya
sangat besar,” ujar Lutfi seraya mengutip hadis dari kitab Sahih Bukhari, “Man
kadzaba `alayya muta`ammidan fal-yatabawwa’ maq`adahu minan-nar” (Barangsiapa
berbohong kepadaku secara sengaja maka tempatnya di api neraka), sebagai
landasan teologis penelitiannya.
Nah, dari situlah Lutfi merasa terpanggil untuk memilih
DN sebagai objek kajiannya. Menurut dia, DN merupakan salah satu kitab populer
di Indonesia. Menurut penelitian Martin van Bruinessen dan penelitian Masdar F.
Mas`udi dkk., DN kerap dijadikan rujukan di masjid-masjid, musala, sekolah, dan
terutama pesantren-pesantren di Sumatera, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Madura. DN pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Bahkan menurut Lutfi, sudah ada tujuh versi terjemahan DN berbahasa
Indonesia, dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda-beda–pertama kali
diterjemahkan H. Salim Bahreisy, diterbitkan Balai Buku, Surabaya (1978).
DN ternyata juga cukup populer di Malaysia, Turki dan
India. Di Malaysia, menurut Lutfi, hadis-hadis dalam DN sering dikutip di TV1,
TV2, TV3, Berita Harian, dan lain-lain. Sementara di Turki bahkan sudah lebih
lama lagi dikenal: sudah diterbitkan sejak 1262 H dan mengalami beberapa kali
cetak ulang. Begitu pula di Mesir (terbit pada 1264 H), Libanon (dicetak ulang
pada 1993 M) dan India (dicetak pada 1281 H). “Pokoknya,” kata Lutfi, “di mana
pun tradisi tasawuf cukup kuat, di situlah DN mendapat tempat. Sebab,
hadis-hadis di dalamnya memang cenderung lebih dekat ke tasawuf.” Yang agak
mencengangkan adalah hasil temuan Lutfi sendiri. Hadis yang dikutip di atas
bukanlah satu-satunya hadis palsu dalam DN dilihat dari kekuatan hukumnya.
Menurut dia, setelah merujuk pada kitab-kitab ahli hadis
yang diakui mu`tabarah, secara keseluruhan Lutfi menemukan sebanyak 251 hadis
palsu (30%). Sementara yang lemah (dha`if) 180 hadis (21,5%), amat lemah 48
hadis (5,7%), dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 hadis (6,7%). “Yang
terakhir ini dikategorikan demikian karena hadis-hadis tersebut tak dikenal
perawinya. Atau bila dikenal, sanadnya tak diketahui,” jelasnya.
Jangan Asal Sebut
Adapun hadis yang shahih sebanyak 204 hadis (24,3%), shahih lighairihi 12 hadis (1,4%), isnadnya shahih 2 hadis (0,2%), hasan 67 hadis (8%), dan hasan lighairihi 19 hadis (2,2%) (Lihat tabel 1). Dari sejumlah itu, Lutfi juga mengklasifikasikan boleh-tidaknya hadis-hadis tersebut untuk digunakan sebagai dalil dalam berbagai keutamaan amal (fadha’ilul a`mal). Dari 839 hadis itu masing-masing boleh digunakan sebanyak 484 hadis (57,7%), tidak boleh digunakan sebanyak 336 hadis (40,2%), dan tak dapat dipastikan sebanyak 18 hadis (2,1%) (Lihat tabel 2).
Secara sederhana, Lutfi berkesimpulan seperti itu karena
dua alasan.
Pertama : Dari segi kredibilitas penulisnya, keahlian Al-Khubawi dalam ilmu-ilmu
keislaman, khususnya tafsir-hadis, masih diperdebatkan. Ismail Basya, misalnya,
penulis biografi Al-Khubawi, tak pernah memujinya dengan sebutan Al-`Allamah,
Asy-Syaikh, atau Al-Imam. Sementara Umar Ridha Kahhalah memuji Al-Khubawi
dengan gelar wa`izh (pemberi nasihat), mufassir (ahli tafsir), dan muhaddits
(ahli hadis). Lutfi menolak julukan itu, karena Al-Khubawi bukan mufasir dan
muhaddits. “Saya setuju julukan wa`izh, pemberi nasihat. Memang itulah isi DN
sebenarnya,” tuturnya seraya menjelaskan bahwa DN merupakan satu-satunya karya
Al-Khubawi.
Kedua : Karena Al-Khubawi bukan muhaddits, wajar jika kandungan DN lemah secara
metodologi ilmu hadis. Misalnya, seperti ditemukan Lutfi, Al-Khubawi menukil
hadis dari kitab-kitab tak dikenal pengarangnya; tidak menyebut sanad, baik
dari dia sendiri atau dari perawi yang dinukilnya; tidak lazim menyebut perawi
hadis setingkat sahabat; menyebut hadis dengan lafaz-lafaz kitab yang dinukil,
bukan kitab asal yang meriwayatkan hadis dengan sanadnya; tidak menjelaskan
hadis-hadis yang dinukilnya dapat dijadikan dalil atau tidak; tidak menilai
hadis (hasan, dha`if, dan seterusnya) atau mengeritiknya; dan tidak menggunakan
lafaz penyampaian (qaala, ruwiya, rawaa) sebagai syarat kekuatan hadis yang
disebutkan.
Berdasarkan studinya itu, Lutfi menyarankan agar umat
Islam–khususnya kiai dan ulama–lebih hati-hati dalam menggunakan hadis dan
tidak asal sebut. DN juga perlu direvisi dengan penjelasan-penjelasan
seperlunya. Misalnya ada keterangan hadis ini shahih, hadis itu palsu, dha`if,
dan sebagainya. Bisa juga dibuat edisi mukhtasharnya dengan membuang semua
hadis palsu atau yang tak jelas sumbernya. Ini mendesak dilakukan, mengingat
sudah begitu terkenalnya kitab DN di masyarakat, sementara kritisisme
masyarakat sendiri sangat minim terhadap hadis. “Kalau ini kita biarkan,
berarti kita melestarikan kepalsuan-kepalsuan. Dan itu sangat berdosa,” tegas
Lutfi. Dengan begitu, Lutfi sebetulnya sedang berbicara pada dirinya sendiri,
atau dengan sesama ahli hadis lain–yang di Indonesia sangat minim, atau boleh
dibilang langka. Akan lebih baik lagi jika hal serupa dilakukan juga terhadap
kitab-kitab lain. Jadi, kita tunggu saja hasilnya. Dan Lutfi sudah memulainya.
[Nasrullah Ali-Fauzi]
Kekuatan Hukum Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin
Hukum Hadis, (Jumlah
%)
Shahih, = (204)
(24,3%)
ShahihLighairihi, = (12) (1,4%)
Isnaduhu Shahih, = (2) (0,2%)
Hasan, = (67)
(8%)
Hasan Lighairihi, = (19) (2,2%)
Dha’if, = (180)
(21,5%)
Amat Dha’if, = (48) (5,7%)
Palsu, = (251)
(30%)
Belum Dapat Dipastikan, = (56) (6,7%)
Jumlah, = (839)
(100%)
Kegunaan Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin Sebagai
Dalil
Kegunaan, (Jumlah
%)
Boleh Digunakan, = (484)
(57,7%)
Tidak Boleh Digunakan, = (336)
(40,2%)
Tidak Dapat Dipastikan, = (18)
(2,1%)
Jumlah, = (839)
(100%)
Tentang kitab ini, Syaikh bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘ala
ad-Darb (1/80-81), mengatakan sebagai berikut:
“Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi
hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran,
sehingga tidak sepatutunya buku ini dijadikan sandaran dan kitab-kitab serupa
lainnya yang berisi hadits palsu dan lemah. Hal ini karena hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian penuh dari
para imam-imam (ahli) Sunnah. Mereka telah menjelaskan dan memilah
hadits-hadits shahih dan yang tidak shahih. Maka, sudah seharusnya seorang
mukmin memiliki kitab-kitab yang baik dan bermanfaat (saja), seperti Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Arba’ah, Mumtaqa al-Akhbar karya Majdudin
Ibnu Taimiyah rahimahullah dan kitab Riyadhus Shalihin karya Iman an Nawawi
rahimahullah, Bulughul Marom, dan ‘Umdatul Hadits. Kitab-kitab (hadits) ini
bermanfaat bagi seorang Mukmin. Kitab-kitab ini jauh dari hadits-hadits palsu
dan dusta. Tentang hadits-hadits lemah yang ada di kitab Sunan, Riyadhus
Shalihin atau Bulughul Marom, para penulisnya telah menjelaskan dan
menyampaikan hukumnya. Hadits-hadits yang lemah yang belum dijelaskan penulis
kitab-kitab tersebut, telah dipaparkan dan ditunjukkan oleh para ulama lainnya
dalam kitab-kitab syarag yang menjelaskan kitab-kitab tersebut. Demikian juga
dijelaskan oleh para ulama dalam karya mereka (secara khusus) tentang hadits-hadits
palsu dan lemah.”
Sebagian ulama telah membukukan hadits-hadits palsu dan lemah dalam
kitab-kitab tersendiri. Misal, al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi, al-Fawaid
al-Majmu’ah karya Imam Syaukani, Silsilah al-aHadits adh-Dhai’ifa wal Maudhu’ah
karya Syaikh al Albani dan lain-lain. Buku-buku ini ditulis dalam rangka
memperingatkan umat dari hadits-hadits palsu dan lemah agar tidak diamalkan.
Peringatan Tentang Bahayanya
Menyebarkan Hadits Palsu
Menyebarkan hadits palsu, berarti berdusta bahwa Nabi
memerintahkan ini dan itu, padahal Nabi tidak melakukannya. Berdusta atas nama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa
kafir.
Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai
dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari
Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas
nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang
dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”
Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi
adalah sebagai berikut.
Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا
عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku
tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas
namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku,
maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)
Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku
sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di
neraka.”
Dalam hadits lainnya disebutkan pula,
يُطْبَعُ
الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ
“Seorang mukmin memiliki tabiat yang
baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits
ini dhoif)
Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى
حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku
suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang
dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab
“Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan
oleh Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz
Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan
hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.”
(Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi, terbitan Maktabah
Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H, hal. 28-29).
Pembahasan ini bermaksud menunjukkan bahayanya
menyampaikan hadits-hadits palsu yang tidak ada asal usulnya sama sekali dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar