Masalah ini adalah masalah yang dihadapi saat-saat ini
dan masuk dalam bahasan fikih kontemporer. Di sebagian kota seperti di Jakarta, setelah jam kerja fenomena macet ini
begitu terlihat. Sehingga bisa saja para pekerja yang pulang kantor saat itu
luput dari waktu shalat karena macet di bis atau kendaraan pribadi mereka.
Bagaimanakah solusi ketika itu? Apakah boleh menjamak shalat (artinya:
shalatnya ditunda ke waktu berikutnya) karena macet? Atau kita melakukan shalat
di kendaran, mobil atau bis?
Perlu diketahui bahwa shalat sudah
ditetapkan waktunya sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An Nisa’:
103).
Dan waktu-waktu shalat sudah diterangkan di antaranya
dalam ayat,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى
غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (QS. Al Isra’: 78).
Sedangkan meninggalkan shalat amat
berbahaya bagi keimanan seseorang. Dalam ayat lainnya disebutkan,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا
الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59).
Ada peringatan tersendiri bagi yang meninggalkan shalat
‘Ashar sebagaimana disebutkan dalam hadits,
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ
عَمَلُهُ
“Barangsiapa meninggalkan shalat ‘Ashar,
hapuslah amalannya” (HR. Bukhari no. 553, dari Buraidah). Sehingga
setelah kita menyimak penyampaian ayat dan hadits, maka sangat penting sekali
menjaga shalat kita, jangan sampai luput satu shalat pun dalam hidup kita.
Untuk menjawab dan memberikan solusi untuk masalah macet
ini, maka kami dapat membagi ada dua keadaan ketika macet:
(1) Jika mampu shalat sebelum naik kendaraan dan sudah masuk
waktu shalat
Jika seseorang memprediksi bahwa ia bisa luput dari
shalat ‘Ashar atau shalat lainnya karena jalanan yang macet, maka ia bersegera
mengerjakan shalat tersebut sebelum ia menaiki kendaraan jika sudah masuk waktu
shalat. Dengan melakukan seperti ini, maka niscaya ia tidak akan luput dari
shalat ketika macet. Namun demikianlah, banyak yang tidak perhatian dengan
shalat. Ketika sudah dikumandangkan adzan, malah ia memilih untuk menaiki
kendaraannya dan meninggalkan tempat kerja. Alhasil, ia pun terkena macet di jalanan
dan baru shalat setelah sampai di rumah saat sudah keluar waktunya. Ini namanya
kesengajaan dan menyia-nyiakan waktu shalat.
(2) Naik kendaraan sebelum masuk waktu shalat, lalu
terkena macet di jalanan dan tidak bisa turun dari kendaraan, juga khawatir
luput dari waktu shalat
Jika keadaan seperti ini dan khawatir luput dari waktu
shalat, maka pillihan pertama adalah menjamak shalat.
Ini berlaku jika shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat lainnya seperti
Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan Isya. Jika shalatnya bisa dijamak, maka boleh
memilih menjamak di waktu kedua meskipun saat itu ia bukan
musafir. Karena jamak dibolehkan ketika hajat (dibutuhkan) meskipun
tidak bepergian. Contoh dari hal ini adalah ketika terkena macet saat waktu
Maghrib dan waktu tersebut sangat mepet. Maka boleh shalat Maghrib tersebut
dijamak dengan shalat Isya’. Artinya, shalat Maghrib diakhirkan ke waktu kedua,
yaitu saat waktu ‘Isya.
Jika shalatnya tidak bisa dijamak, misalnya kena macet
ketika waktu ‘Ashar, dan ‘Ashar tidak mungkin dijamak dengan shalat Maghrib,
maka saat itu yang dilakukan adalah pilihan kedua yaitu dengan shalat di atas kendaraan.
Jika mampu berdiri, maka dikerjakan dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka
dengan duduk lalu ia shalat dengan beri isyarat untuk ruku’ dan sujudnya. Jika
ia tidak punya wudhu, maka diganti dengan tayammum. Ketika itu tidak boleh shalat ‘Ashar tersebut diakhirkan ke
waktu Maghrib karena kedua shalat tersebut tidak bisa dijamak. Alangkah baiknya
jika seorang muslim bisa menjaga wudhunya setiap saat sehingga di kendaraan ia
tidak bingung lagi untuk bersuci. Namun jika wudhunya batal dan tidak ada air,
maka tayammum sebagai pilihan pengganti.
Dalil yang menyatakan bolehnya jamak ketika mukim atau
tidak bepergian adalah hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ،
بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : مَا
أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, juga Maghrib dan ‘Isya di Madinah,
bukan karena rasa takut dan bukan pula karena hujan.” Ada yang
bertanya pada Ibnu ‘Abbas, “Apa yang diinginkan beliau melakukan seperti itu?”
Jawab Ibnu ‘Abbas, “Beliau tidak ingin umatnya itu mendapat
kesulitan.” (HR. Muslim no. 705).
Terdapat penjelasan berharga pula dari kitab Kifayatul
Akhyar, kitab fikih Syafi’i sebagai berikut,
قال النووي: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار، فقد ثبت
في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم {جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر} قال
الاسنائي: وما اختاره النووي نص الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضاً فإن
المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في
الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه
الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من
أصحاب مالك، وهو قول ابن سيرين، ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا
يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم {جمع با لمدينة بين الظهر
والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر} فقال سعيد بن جبير: لم يفعل ذلك؟
فقال:لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره
“Menurut Imam Nawawi, pendapat yang membolehkan jamak
shalat bagi orang sakit, sudah jelas jadi pilihan yang tepat. Dalam shahih
Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak
shalat di Madinah bukan karena kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan
bukan pula karena sakit. Menurut Imam Asna’i, pilihan Imam Nawawi didasarkan
pada pendapat Imam Syafi‘i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam Muzanni.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan di mana alasan sakit layaknya
perjalanan jauh menjadi alasan sah untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja
boleh dibatalkan, maka menjamak shalat tentu dibolehkan. Bahkan sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin (orang
mukim, yang tidak bersafar) untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak menjadi sebuah kebiasaan. Abu
Ishak Al Maruzi memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari Qaffal yang
diceritakan oleh Al Khatthabi dari para ulama hadits. Ibnul Munzir Syafi‘i dan
para pengikut Imam Malik menganut pendapat tersebut. Pendapat tersebut juga
menjadi pendapat Ibnu Sirin. Hal ini dikuatkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas
(sebagaimana dikemukakakan di atas, -pen).”
Intinya, dibolehkan menjamak shalat ketika macet jika kedua
shalat yang ada boleh dijamak. Jika tidak bisa, boleh mengerjakan shalat di
atas kendaraan jika memang tidak memungkinkan turun dari kendaraan dan shalat
tersebut tidak bisa dijamak dengan waktu shalat berikutnya. Namun sekali lagi
ini dilakukan selama tidak jadi kebiasaan. Sebisa mungkin seorang muslim
mengerjakan shalat ketika sudah masuk waktunya sebelum ia naik kendaraan jika
yakin di tengah perjalanan akan mendapati macet dan bisa luput dari waktu shalat.
Demikian pembahasan ini, moga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar