Nabi
Ayyub berasal dari Rum (Romawi), beliau adalah Ayyub bin Mush bin Razah bin
Al-‘Ish bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq
dalam kitab Tarik Ath-Thabari. Ada juga ulama
yang menyebutkan bahwa nama beliau adalah Ayyub bin Mush bin Raghwil bin
Al-‘Ish bin Ishaq bin Ya’qub. Ibnu ‘Asakir menyebutkan bahwa ibu dari Nabi
Ayyub adalah puteri Nabi Luth ‘alaihis salam.
Istri beliau sendiri adalah Layaa binti Ya’qub. Sedangkan yang paling masyhur,
nama istri beliau adalah Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin Ya’qub. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 506)
Nabi
Ayyub ‘alaihis salam disebutkan bersama nabi lainnya
pada ayat,
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا
أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ
وَآَتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami
telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami
telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak
cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan
Zabur kepada Daud.” (QS. An-Nisaa’: 163)
Dulunya
Nabi Ayyub terkenal sangat kaya dengan harta yang berlimpah ruah, contohnya
saja sapi, unta, kambing, kuda dan keledai dalam hal jumlah tak ada yang bisa
menyainginya. Beliau juga memiliki tanah yang luas di negeri Batsniyyah yang
termasuk daerah Huran. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah,
1: 507 dan Tafsir Al-Baghawi, 17: 176)
Allah
juga memberikan kepada beliau karunia berupa keluarga dan anak laki-laki dan
perempuan. Ayyub sangat terkenal sebagai orang yang baik, bertakwa, dan
menyayangi orang miskin. Beliau juga biasa memberi makan orang miskin,
menyantuni janda, anak yatim, kaum dhuafa dan ibnu sabil (orang yang terputus
perjalanan). Beliau adalah orang yang rajin bersyukur atas nikmat Allah dengan
menunaikan hak Allah. (Lihat Tafsir Al-Baghawi,
17: 176)
Setelah
itu Nabi Ayyub diuji penyakit yang menimpa badannya, juga mengalami musibah
yang menimpa harta dan anaknya, semua pada sirna. Ia pun terkena penyakit
kulit, yaitu judzam (kusta atau lepra).
Yang selamat pada dirinya hanyalah hati dan lisan yang beliau gunakan untuk
banyak berdzikir pada Allah sehingga dirinya terus terjaga. Semua orang ketika
itu menjauh dari Nabi Ayyub hingga ia mengasingkan diri di suatu tempat. Hanya istrinya
sajalah yang mau menemani Ayyub atas perintahnya. Sampai istrinya pun merasa
lelah hingga mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349)
As-Sudi
menceritakan pula bahwa Nabi Ayyub menderita sakit hingga terlihat
sangat-sangat kurus tanpa daging, hingga urat syaraf dan tulangnya terlihat.
(Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349)
Ketika
setan menggodanya saat beliau tertimpa musibah, Nabi Ayyub ‘alaihis salam menyatakan,
الحَمْدُ للهِ الذِّي هُوَ أَعْطَاهَا
وَهُوَ أَخَذَهَا
“Segala puji bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang
berhak mengambil.” Lalu Nabi Ayyub juga menyebutkan bahwa dia
tidak memiliki harta dan jiwa sama sekali. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 177)
Berapa lama Nabi Ayyub menjalani musibah?
Ibnu
Syihab mengatakan bahwa Anas menyebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapat musibah
selama 18 tahun. Wahb mengatakan selama pas hitungan tiga tahun. Ka’ab
mengatakan bahwa Ayyub mengalami musibah selama 7 tahun, 7 bulan, 7 hari.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan pula selama 7 tahun dan beberapa bulan. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 181, juga lihat riwayat-riwayat
dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 351).
Namun
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan bahwa penyebutan
jenis penyakitnya secara spesifik dan lamanya beliau menderita sakit sebenarnya
berasal dari berita israiliyyat. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, 4: 852)
Saat
mengurus dan membawa bekal pada beliau, istrinya sampai pernah bertanya kepada
Nabi Ayyub yang sudah menderita sakit sangat lama, “Wahai Ayyub andai engkau
mau berdoa pada Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub
menjawab, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita
yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa
sehatku yaitu 70 tahun.” Istrinya pun semakin cemas. Akhirnya karena tak
sanggup lagi, istrinya mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya sampai
memberi makan padanya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
5: 349-350)
Tentang
kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam disebutkan dalam
ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ
فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآَتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ (84)
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya
Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang
Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Maka Kamipun memperkenankan
seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 83-84)
Setelah
Nabi Ayyub ‘alaihis salam sabar menghadapi cobaan dan doa
beliau terkabul, akhirnya beliau diberi kembali istri dan anak seperti yang
dulu ada.
Disebutkan
bahwa Nabi Ayyub mendapatkan ganti istri yang lebih muda dan memiliki 26 anak
laki-laki. Wahb mengatakan bahwa beliau memiliki sembilan puteri dan tiga
putera. Ibnu Yasar menyatakan bahwa anak beliau adalah tujuh putera dan tujuh
puteri. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 185)
Syaikh
As-Sa’di rahimahullah mengungkapkan bahwa keluarga dan
hartanya kemudian kembali. Allah karuniakan lagi pada Nabi Ayyub keluarga dan
harta yang banyak. Itu semua disebabkan kesabaran dan keridhaan beliau ketika
menghadapi musibah. Inilah balasan yang disegerakan di dunia sebelum balasan di
akhirat kelak. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 556)
Al-Hasan
Al-Bashri dan Qatadah mengatakan, “Allah Ta’ala menghidupkan
mereka kembali untuknya dan menambahkan orang-orang yang semisal mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 430. Riwayatnya
dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabari dengan sanad yang shahih)
Kesembuhan
Nabi Ayyub sendiri disebutkan dalam ayat berikut,
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ
نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ (41) ارْكُضْ
بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ (42) وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ
وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ (43)
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا
نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (44)
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya:
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah
berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.”
Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami
tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. Dan ambillah dengan tanganmu
seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad:
41-44)
Allah
begitu penyayang, memerintah Ayyub untuk beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba air
memancar serta memerintahkannya untuk mandi, hingga hilanglah seluruh penyakit
yang diderita tubuhnya. Kemudian Allah memerintahkannya lagi untuk
menghentakkan tanah yang lain dengan kakinya, maka muncul pula mata air lain,
lalu Allah memerintahkannya untuk minum air tersebut hingga seluruh penyakit
dalam batinnya, sehingga sempurnalah kesehatan lahir dan batinnya.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ
عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ ، فَجَعَلَ أَيُّوبُ يَحْتَثِى
فِى ثَوْبِهِ ، فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ ، أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ
عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى وَعِزَّتِكَ وَلَكِنْ لاَ غِنَى بِى عَنْ بَرَكَتِكَ
“Di
saat Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah seekor belalang
dari emas. Lalu Ayyub ‘alaihis salam mengantonginya di bajunya, maka Allah
berfirman, “Bukankah aku telah mencukupimu dari apa yang engkau lihat?” Ayyub ‘alaihis salam menjawab, “Betul, wahai Rabbku. Akan
tetapi aku tidak akan merasa cukup dari berkah-Mu.” (HR. Bukhari, no. 279)
Adapun
ayat,
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ
بِهِ وَلَا تَحْنَثْ
“Dan
ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan
janganlah kamu melanggar sumpah.” Dahulu Nabi Ayyub ‘alaihis salam pernah marah kepada
istrinya atas satu perkara yang dilakukan sang istri.
Satu
pendapat mengatakan bahwa istrinya telah menjual tali pengekangnya dengan
sepotong roti untuk memberikan makan kepadanya, lalu dia mencela istrinya dan
bersumpah bahwa jika Allah Ta’ala menyembuhkan
dirinya, niscaya dia akan memukul istrinya sebanyak seratus kali.
Pendapat
lain menyatakan bahwa ketika Allah menyembuhkan Nabi Ayyub ‘alaihis salam, beliau tidak melakukan sumpahnya karena
bakti dan kasih sayang istrinya yang begitu tinggi pada Nabi Ayyub. Kemudian
Allah Ta’ala memerintahkan kepada Ayyub untuk mengambil
seikat rumput yang berjumlah seratus helai, lalu dipukulkan kepada istrinya
satu kali, sehingga selesailah ia dalam menunaikan nazarnya. Ketika itu
penunaian nazar diberikan keringanan karena kafarah (tebusan) nazar di syariat
Nabi Ayyub belum ada. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
6: 430-431)
Beberapa pelajaran dari kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam:
Pelajaran #01
Jadi
kaya yang bersyukur dan rajin berderma, jadi miskin yang bersabar.
Dari
Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ
صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya
itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan
kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan,
maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Pelajaran #02
Lihatlah
Nabi Ayyub ‘alaihis salam tidak jadi sombong dengan kekayaan
yang ia miliki. Karena kekayaan itu sebenarnya ujian.
Dari
Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata, “Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menuliskan surat kepada
Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya:
“Merasa
cukuplah (qana’ah-lah) dengan rezeki dunia yang telah Allah berikan padamu.
Karena Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) mengaruniakan lebih sebagian hamba
dari lainnya dalam hal rezeki. Bahkan yang dilapangkan rezeki
sebenarnya sedang diuji pula sebagaimana yang kurang dalam hal rezeki.
Yang diberi kelapangan rezeki diuji bagaimanakah ia bisa bersyukur dan
bagaimanakah ia bisa menunaikan kewajiban dari rezeki yang telah diberikan
padanya.” (HR. Ibnu Abi Hatim. Dinukil dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:
696)
Pelajaran #03
Ingatlah
kekayaan itu titipan ilahi. Kalau dipahami demikian, maka sewaktu-waktu ketika
kenikmatan dunia tersebut diambil, tentu kita tidak akan terlalu sedih.
Kita
bisa mengambil pelajaran dari kisah Ummu Sulaim (ibu dari Anas bin Malik, yang
bernama asli Rumaysho atau Rumaisa) ketika berkata pada suaminya, Abu Thalhah.
Saat itu puteranya meninggal dunia, Rumaysho malah menghibur suaminya di malam
hari dengan memberi makan malam dan berhubungan intim. Setelah suaminya
benar-benar puas, ia mengatakan,
يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ
أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ
أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ
“Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu
kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah
tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak (artinya: boleh
saja ia ambil, -pen).” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala
karena kematian puteramu.” (HR. Muslim, no. 2144)
Pelajaran #04
Sakit
dan ujian akan menghapus dosa. Sehingga kita butuh menahan diri untuk sabar
karena mengetahui keutamaan ini.
Dari
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ
مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ
الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
“Setiap
muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan
kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR.
Bukhari, no. 5660 dan Muslim, no. 2571)
Dari
Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ
؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى –
حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit (yang terus menerus),
rasa capek, kekhawatiran (pada masa depan), sedih (akan masa lalu), kesusahan
hati (berduka cita) atau sesuatu yang menyakiti sampai pada duri yang
menusuknya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari,
no. 5641 dan Muslim, no. 2573. Lihat Syarh Shahih Muslim,
16: 118 dan Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 1: 491)
Sabar
bagaimana yang dilakukan?
Kata
Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani hafizahullah, sabar
yang berpahala dilakukan dengan (1) ikhlas karena Allah, (2) mengadu pada
Allah, bukan mengadu pada manusia, (3) sabar di awal musibah. (Muqowwimaat Ad-Daa’iyah An-Naajih, hlm. 201)
Pelajaran #05
Penyakit
tak menghalangi dari dzikir dan menjaga hati. Lihatlah Nabi Ayyub terus
menggunakan lisannya untuk berdzikir walau sedang dalam keadaan sakit.
Dari
‘Abdullah bin Busr, ia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ
النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ
الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ
فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً
مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »
“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,”
jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa
kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada
Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Pelajaran #06
Setiap
orang diuji sesuai tingkatan iman. Lihat hadits berikut yang disebutkan dalam
Musnad Imam Ahmad,
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ «
الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ
يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صَلاَبَةٌ
زِيدَ فِى بَلاَئِهِ وَإِنَ كَانَ فِى دِينِه رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ وَمَا
يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِىَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ لَيْسَ
عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
Dari
Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya, ia pernah berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Manusia manakah yang
paling berat cobaannya?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Para Nabi lalu orang shalih dan orang yang semisal itu dan semisal
itu berikutnya. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Jika
imannya semakin kuat, maka cobaannya akan semakin bertambah. Jika imannya
lemah, maka cobaannya tidaklah berat. Kalau seorang hamba terus mendapatkan
musibah, nantinya ia akan berjalan di muka bumi dalam keadaan tanpa dosa.”
(HR. Ahmad, 1: 172. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan)
Pelajaran #07
Kalau
ingin kuatkan sabar, ingatlah cobaan yang lebih berat yang menimpa para Nabi.
Dari
‘Abdurrahman bin Saabith Al-Qurosyi, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أُصِيبَ أَحَدُكُمْ
بِمُصِيبَةٍ، فَلْيَذْكُرْ مُصِيبَتَهُ بِي، فَإِنَّهَا أَعْظَمُ الْمَصَائِبِ
عِنْدَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian tertimpa musibah, maka
ingatlah musibah yang menimpa diriku. Musibah padaku tetap lebih berat dari
musibah yang menimpa dirinya.” (HR. ‘Abdurrozaq dalam mushannafnya,
3: 564; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir,
7: 167. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1106. Syaikh Al-Albani menyatakan
bahwa hadits ini shahih karena berbagai syawahid atau penguat)
Pelajaran #08
Musibah
yang menimpa kita masih sangat sedikit dari nikmat yang telah Allah beri.
Coba
ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam pada istrinya, “Aku telah diberi
kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah
timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.”
Pelajaran #09
Setan
bisa saja mencelakai badan, harta dan keluarga seperti yang disebutkan dalam
kisah Nabi Ayyub dalam surat Shad,
وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ
نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya:
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS.
Shaad: 41) (Lihat pembahasan Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwa’ Al-Bayan, 4: 851)
Pelajaran #10
Lepasnya
musibah dengan doa. Itulah yang terjadi pada Nabi Ayyub, ia memohon pada Allah
untuk diangkat musibah yang menimpa dirinya,
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ
أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS.
Al-Anbiya’: 83)
Dalam
surat Shaad disebutkan,
أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ
بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ
“Sesungguhnya
aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41)
Pelajaran #11
Kalau
ingin mengadukan hajat dan kesusahan, adukanlah pada Allah, bukan mengadu pada
makhluk. Itulah yang dimaksud dengan ayat,
فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلًا
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS.
Al-Ma’arij: 5). Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa sabar yang baik (indah) di
sini yang dimaksud adalah sabar tanpa merasa putus harapan dan tanpa
mengeluhkan pada selain Allah. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an,
9: 180)
Pelajaran #12
Menyanjung
Allah dalam doa dan bertawassul dengan asmaul husna. Lihatlah yang disebutkan
dalam isi doanya, menunjukkan bahwa ia meminta pada Allah karena sangat-sangat
butuh.
Juga
dalam doanya diajarkan untuk berdoa dengan asmaul husna sebagaimana yang
diajarkan pula dalam ayat,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
Al-A’raf: 180)
Syaikh
As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya (hlm. 319), doa yang dimaksud mencakup doa
ibadah dan doa mas’alah. Hendaklah ketika berdoa bisa menyesuaikan asmaul husna
dengan isi permintaan. Mislanya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku dan rahmatilah
aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Ya Allah yang
Maha Menerima Taubat, terimalah taubatku”, dan semisal itu.
Pelajaran #13
Meskipun
Nabi Ayyub terus sakit, istri Nabi Ayyub tetap mengabdi pada suaminya.
Maka sampai ada nazar yang mesti ditunaikan pada istrinya dengan 100 kali
pukulan, Nabi Ayyub tidak tega melakukannya karena saking sayang pada istrinya
yang benar-benar telah berbakti pada suami.
Sebagian
istri kadang tidak tahan dalam hal ini, bahkan sifatnya pembangkang ketika
suaminya sehat ataukah sakit padahal taat dan mengabdi pada suami adalah jalan
menuju surga.
Lihatlah
hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا
وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا
ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga
berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya
(dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada
wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana
saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1: 191 dan Ibnu Hibban, 9: 471.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lihat
juga hadits dari Al-Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ
عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ
وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya
kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan
suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad, 4:
341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 1933)
Pelajaran #14
Boleh
mandi telanjang. Hadits Nabi Ayyub yang mandi telanjang telah dibawakan oleh
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya dengan membawakan judul bab,
مَنِ اغْتَسَلَ عُرْيَانًا وَحْدَهُ
فِى الْخَلْوَةِ ، وَمَنْ تَسَتَّرَ فَالتَّسَتُّرُ أَفْضَلُ
“Siapa
yang mandi dalam keadaan telanjang seorang diri di kesepian, namun siapa yang
menutupi diri ketika itu, maka lebih afdhal.”
Pelajaran #15
Nazar
itu wajib dipenuhi sebagaimana sumpah. Allah Ta’ala memuji
orang-orang yang menunaikan nazarnya,
إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ
كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ
يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ
شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas
(berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam
surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat
mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan
suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ
فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah
nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka
janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Pelajaran #16
Selalu
ada jalan keluar bagi orang yang bertakwa. Kala Nabi Ayyub berat menjalankan
nazar, Allah Ta’ala memberikan jalan keluar
dengan diberikan keringanan karena saat itu belum ada syariat penunaian kafarah
(tebusan untuk nazar). Dalam ayat disebutkan,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Pelajaran #17
Siapa
yang tidak kuat menjalani hukuman hadd karena dalam keadaan lemah, maka hukuman
tersebut tetap ditunaikan. Karena tujuannya agar pelanggaran tersebut tidak
dilakukan lagi. Hukuman tersebut tujuannya bukan untuk menghancurkan atau
membinasakan. (Lihat Qishash Al-Anbiya’ karya
Syaikh As-Sa’di, hlm. 229)
Pelajaran #18
Ingatlah
dengan kesabaran ketika kehilangan harta, keluarga dan anak, akan mendapatkan
ganti yang lebih baik. Yang diucapkan ketika mendapatkan musibah adalah: INNA
LILLAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UN. ALLAHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII
KHOIRON MINHAA [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya
Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti
dengan yang lebih baik].
Ummu
Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam–
berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ
فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى
مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى
مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو
سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ
اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Siapa
saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “INNA LILLAHI
WA INNA ILAIHI ROOJI’UN. ALLAHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII KHOIRON
MINHAA [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah,
berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih
baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya
dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut
do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku
suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 918)
Pelajaran #19
Bukti
sabar, masih mengucapkan alhamdulillah ketika mendapat musibah. Yang
dicontohkan oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam ketika
mendapatkan musibah, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah. Dialah
yang memberi, Dialah pula yang berhak mengambil.”
Tingkatan
orang menghadapi musibah ada empat yaitu: (1) lemah, yaitu banyak mengeluh pada
makhluk, (2) sabar, hukumnya wajib, (3) ridha, tingkatannya lebih daripada
sabar, 4) bersyukur, ketika menganggap musibah itu suatu nikmat. (‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 81)
Pelajaran #20
Kisah
Nabi Ayyub ‘alaihis salam adalah sebagai pelajaran dan beliau
bisa dijadikan teladan. Allah memberikan kita ujian dan musibah, bukan berarti
Allah ingin menghinakan kita. Nabi Ayyub bisa dicontoh dalam hal sabar
menghadapi takdir Allah yang menyakitkan. Allah menguji siapa saja yang Allah
kehendaki dan semua itu ada hikmah-Nya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
5: 352)
Pelajaran #21
Nabi
Ayyub adalah orang penyabar, ia bersabar ikhlas karena Allah. Beliau juga
adalah hamba yang baik dalam hal ‘ubudiyah (peribadahan). Ini terlihat dari keadaan
beliau ketika lapang dan ketika berada dalam keadaan susah. Beliau juga adalah
orang yang benar-benar kembali pada Allah, beliau pasrahkan urusan dunia dan
akhiratnya, beliau juga adalah orang yang rajin berdzikir dan berdoa, serta
punya rasa cinta yang besar pada Allah. (Tafsir As-Sa’di,
hlm. 757)
Karenanya
Allah memuji Nabi Ayyub ‘alaihis salam,
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ
الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).”
(QS. Shaad: 44)
Semoga
jadi pelajaran berharga bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar