Salah satu jawabannya adalah karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang
paling berat ujiannya dan yang paling sabar.
عَنْ مُصْعَبِ
بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ
أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: «الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ،
فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا
اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ
دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى
الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Dari Mus’ab dari Sa’ad dari bapaknya berkata,
aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat
ujiannya?” Kata beliau: “Para Nabi, kemudian yang semisal mereka dan yang
semisal mereka. Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien (keimanannya).
Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang dirasakannya; kalau diennya
lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya. Dan seseorang akan senantiasa
ditimpa ujian demi ujian hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam
keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. At-Tirmidzi no.2398, dishahihkan
oleh syaikh Al-Albani)
Mari kita tinjau ujian dan kesabaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin kita tidak
membandingkannya dulu dengan manusia biasa seperti ulama dan orang
sholih atau para sahabat radhiallahu ‘anhum tetapi kita bandingkan
dengan sesama para nabi ‘alaihimussalam . Sehingga beliau mendapatkan
kedudukan lebih diatas para nabi yang lain.
Pertama:
Ketika Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berdoa dan memohon meminta diberi kerajaan:
رَبِّ اغْفِرْ
لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ
الْوَهَّابُ
“Ya
Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki
oleh seorang juapun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi.”
(QS. Shad: 38)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memilih hidup sederhana sebagai hamba ketika ditawarkan kerajaan,
hal ini agar menjadi contoh bagi semesta alam bahwa beliau tidak punya urusan
yang banyak di dunia.
كَانَ ابْنُ
عَبَّاسٍ يُحَدِّثُ، أَنَّ اللهَ أَرْسَلَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَلَكًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ مَعَ الْمَلَكِ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ
السَّلَامُ، فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ عَزَّ جَلَّ
يُخَيِّرُكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ نَبِيًّا عَبْدًا، أَوْ نَبِيًّا مَلِكًا، فَالْتَفَتَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَالْمُسْتَشِيرِ،
فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَنْ تَوَاضَعْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «بَلْ نَبِيًّا عَبْدًا»
“Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menceritakan
bahwa Allah pernah mengutus salah satu malaikat bersama malaikat
Jibril ‘alaihissalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
kemudian malaikat tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla
memberikan pilihan bagimu (Muhammad), apakah engkau mau menjadi sebagai seorang
hamba dan Nabi, ataukah engkau mau menjadi sebagai seorang nabi dan raja?”. Lantas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada Jibril
seolah-olah meminta pendapat beliau, maka Jibril memberi isyarat kepada Nabi
agar beliau tawadhu. Kemudian rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Aku ingin menjadi sebagai seorang nabi dan hamba”. (Mu’jam
Kabir litthabrani no.10686, tahqiq Hamdi bin Abdul majid As-Salafi, Mu’jam
Al-Aushoth no. 6937 dan Az-Zuhdi Al-Kabir lilbaihaqi no. 447)
Kedua: Ketika Nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah
kepada kaumnya dan tidak ada yang mau beriman kecuali sedikit sekali, maka nabi
Nuh‘alaihissalam berdoa agar semua orang kafir tersebut dimusnahkan
seluruhnya dari muka bumi dengan banjir besar:
وَقَالَ نُوحٌ
رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّاراًْ وَقَالَ نُوحٌ
رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّاراً
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau
biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.
Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat ma’siat lagi sangat kafir.’ (QS.
Nuh: 26-27)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdakwah ke Thoif sekaligus meminta perlindungan. Kemudian
mereka menolak bahkan mengejek dan mencaci maki Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, mengusir melempar dengan batu sampai tubuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai
berdarah-darah. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
malahan mendoakan mereka,
أَرْجُو أَنْ
يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ
يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan
dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak
disekutukanNya dengan apa pun” (HR. Bukhari no. 3231)
Begitu juga ketika Nabi Yunus ‘alaihis
salam berdakwah kepada kaumnya dan kemudian menolaknya, maka beliau
terlalu cepat meninggalkan kaumnya dan akhirnya beliau masuk ke perut ikan.
فَاصْبِرْ
لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُن كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌْ
لَوْلَا أَن تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّن رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاء وَهُوَ
مَذْمُومٌْ فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad)
terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam
(perut) ikan ketika ia berdo’a sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).
Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia
dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya dan
menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh”. (QS.
Al Qolam: 48-50)
Ketiga:
Ketika nabi Ayyub alaihissalam menghadapi nusyuz [ketidakpatuhan]
istrinya, maka beliau bersumpah akan memukulnya 100 kali, kemudian Allah Ta’ala dalam
Al-Quran memberikan jalan keluar agar beliau tidak membatalkan sumpah dan tidak
juga menyakiti istrinya.
وَخُذْ بِيَدِكَ
ضِغْثاً فَاضْرِب بِّهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ
الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat
(rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhan-nya) .” (QS.
Shaad: 44)
Ketika semua istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam nusyuz [tidak patuh], maka beliau tidak langsung
marah, langsung main pukul ataupun langsung mengancam cerai. Tetapi beliau
menjauhi semua istrinya selama sebulan. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengalah dengan tinggal dikandang unta atau di
riwayat lain di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah tidak
dengan mengusir mereka dari rumah beliau.
اِعْتَزَلَ
نِسَاءَهُ شَهْرًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjauhi istri-istrinya selama sebulan.” (HR.
Muslim II/763 no 1084 dari Jabir bin Abdillah)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi
sebulan agar para istri tersebut bisa berpikir jernih tentang apa akibat yang
mereka perbuat. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan
ayat,
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاًْ
وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ
اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْراً عَظِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya,
maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu
secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya
serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi
hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab:
28)
Keempat:
Ketika nabi Musa ‘alaihis salam pulang dari bukit Thursina dan mendapati
kaumnya membuat sesembahan sapi betina. Sedangkan saat itu Nabi Harun ‘alaihissalam yang
merupakan teman seperjuangan nabi Musa bersama mereka. Maka Nabi
Musa langsung marah (karena Allah) kepada Nabi Harun ‘alaihissalam, kemudian
melempar kitab suci Taurat dan menarik Nabi Harun ‘alaihissalam, baru
kemudian nabi Harun ‘alaihissalam menyampaikan udzur/alasan,
Al-Quran menceritakan,
قَالَ يَا
هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا * أَلا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ
أَمْرِي * قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي
خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ
قَوْلِي
“Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang
menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak
mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”. Harun
menjawab: “Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula)
kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu
telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku” (QS.
Thaha : 92-94).
Dan di surat yang lain,
وَلَمَّا رَجَعَ
مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفاً قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِن
بَعْدِيَ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الألْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ
أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي
وَكَادُواْ يَقْتُلُونَنِي فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ الأعْدَاء وَلاَ تَجْعَلْنِي مَعَ
الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada
kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya
perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului
janji Tuhanmu ? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang
(rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata:
“Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan
hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan
musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam
golongan orang-orang yang zalim”. (QS. Al A’raf:
150)
Maka ketika salah seorang teman seperjuangan
beliau (sahabat) melakukan pembocoran rahasia penyerangan ke Mekkah kepada
orang kafir di Mekkah. Ini adalah pengkhianatan besar, akan tetapi Beliau
memaafkannya karena sahabat tersebut punya ‘uzdur/alasan. Sahabat
tersebut adalah Hatib bin Balta’ah radhiallahu ‘anhu.
Ketika Umar bin Al Khattab radhiallahu
‘anhu menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal
lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap
munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar…
(Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena
kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil
mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Kisah adalah Hatib bin Balta’ah radhiallahu
‘anhu diabadikan dalam Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ
إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ
يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (QS.
Al Mumtahanah: 1]
Demikianlah perbandingan Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam dengan para Nabi yang lain. Perlu diingat, ini bukan
berarti nabi yang lain tidak sabar dan tidak berat ujiannya. Lihatlah bagaimana
kisah cobaan berat nabi Ayyu ‘alaihissalam, kisah perjuangan berat
dan panjang nabi Musa ‘alaihis salam melawan Fir’aun dan kerasnya hati
bani Israil, kisah kesabaran nabi Sulaiman yang tidak menggunakan kerajaannya
untuk berlaku zhalim dan foya-foya.
Setelah mengetahui perbandingan ini
perlukah kita membandingkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan
sahabat, para ulama dan orang-orang shalih? Atau membandingkan dengan ujian dan
cobaan serta kesabaran kita yang sedikit saja terkena ujian langsung berkeluh
kesah?
Kemudian bentuk ujian dan cobaan lebih berat
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang lain:
Pertama, Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam jika demam, maka jika sakit, beratnya dua
kali lipat:
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku pernah menjenguk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sakit, sepertinya beliau sedang merasakan rasa sakit yang parah. Maka aku berkata:
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku pernah menjenguk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sakit, sepertinya beliau sedang merasakan rasa sakit yang parah. Maka aku berkata:
يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ قَالَ: «أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ
كَمَا يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ» قُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ قَالَ:
«أَجَلْ، ذَلِكَ كَذَلِك
“Sepertinya anda sedang merasakan rasa sakit
yang amat berat”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “iya
benar, aku sakit sebagimana rasa sakit dua orang kalian [dua kali lipat]”, aku
berkata, “oleh karena itukah anda mendapatkan pahala dua kali lipat.” Beliau
menjawab, “Benar, karena hal itu”. (HR. Al-Bukhari
no. 5648 dan Muslim no. 2571)
Kedua, Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam harus menanggung sembilan istri. Lho bukannya enak
istri banyak? Silahkan tanya kepada meraka yang mempunyai hanya dua istri,
bagaimana repot dan susahnya mengurus mereka dengan penuh keadilan dan tanggung
jawab. Bagaimana membagi waktu, membagi perasaan. Terkadang bagi yang punya
satu istri saja terkadang kelabakan mengurus dan mendidik satu istri terutama
ketika “bengkoknya” datang atau sedang sensitif karena haidh.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
ikhlas menjalankan takdirnya, menikah pertama kali dengan janda sebagai suami
ketiga, dan beberapa istrinya telah bersuami dua kali sebelumnya. Mampukah kita
demikian?,melawan rasa cemburu dengan suami-suami sebelumnya? Dan sebagian
istri beliau ketika menikah berumur di atas 40 tahun. Mampukah kita demikian,
maukah kita menikah dengan wanita berumur (atau sekarang disebut –maaf-
“tante-tante”).
Dan para istri Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam semuanya ridha dengan beliau. Malahan yang ada adalah banyak cerita bahwa
istri-istri beliau yang menyusahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam .
dan belau paling baik terhadap istri-istri beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam
bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi dan beliau
mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban
dan Al Albani menilai hadits tersebut shahih).
Dan komentar salah satu istri beliau, A’isyah radhiallahu
‘anha berkata,
كَانَ خُلُقُهُ
الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Quran” [HR.
Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54]
Jika demikian, bolehkah
kita meminta ujian, agar derajat kita naik?
Jawabannya, tidak boleh, karena ketika kita
tertimpa ujian, belum tentu kita mampu menghadapinya. Karena iman kita lemah.
Sebagaimana kita dilarang berharap-harap bertemu musuh, yang bertemu musuh
berupakan ujian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لا تَتَمَنَّوْا
لِقَاءَ الْعَدُوِّ، واسألوا الله الْعَافِيَةَ
“Jangan berharap bertemu musuh, dan
memintalah afiah (kesehatan dan keselamatan) kepada Allah”. (HR.Bukhari
no. 7237)
Setelah mengetahui semua ini, janganlah kita
langsung berkeluh kesah ketika mendapatkan ujian yang kecil, langsung putus asa
dan berprasangka negatif kepada Allah. Mari kita membaca buku-buku dan artikel
tentang ujian dan kesabaran. Jangan harap kita masuk surga tanpa ada ujian.
Allah Ta’ala berfirman,
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَْ وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji
lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” [Al-Ankabut:
2-3]
Kemudian sebagai penutup, inilah gambaran
cobaan para nabi dan orang shalih sebelum kita, bantuan baru datang ketika
dada-dada mereka hampir sesak dan sangat lama menanti.
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ
أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن
قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ
الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ
اللّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya: “kapankah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS.
Al-Baqarah: 214)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar