Larangan Berpuasa di Hari Raya
Dari Abu Sa’id al-Khudzri radliallahu ‘anhu,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَن صيَام يَومَينِ يَومِ الفِطرِ و
يَومِ النَّحرِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul
Fitri dan Idul Adha. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi mengatakan: “Para ulama telah sepakat tentang haramnya
puasa di dua hari raya sama sekali. Baik puasanya itu puasa nadzar, puasa
sunah, puasa kaffarah, atau puasa yang lainnya. (Syarah Shahih Muslim karya
an-Nawawi, 8/15)
Hukum Shalat Id
Shalat Id hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ini adalah pendapat Imam Abu
Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh
Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim. Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakannya. Karena sejak shalat Id ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah,
beliau senantiasa melaksanakannya sampai beliau meninggal
2. Kebiasaan para khulafa ar-Rosyidin setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalat Id merupakan ibadah yang sangat
disyariatkan dalam Islam.
3. Hadis Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan: Kami
diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis
pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul
Adha….(HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya perintah menunjukkan bahwa itu wajib, karena hukum asal perintah
adalah wajib
4. Shalat Id merupakan salah satu syiar Islam yang paling besar.
Adab Shalat Hari Raya
1. Mandi pada Hari Id
Dari Nafi’, beliau mengatakan
أن
عبد الله بن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى
bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum
berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i dan sanadnya shahih)
Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin al-Musayyib mengatakan:
سنة
الفطر ثلاث : الـمَشْي إِلى الـمُصَلى ، و الأَكل قَبل الخُروج، والإِغتِسال
“Sunah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum
keluar (menuju lapangan), dan mandi. (Ahkamul Idain karya al-faryabi dan
sanadnya dishahihkan al-Albani)
Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah
subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i dan pendapat yang
dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.
2. Berhias dan Memakai Wewangian
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
هَذَا يَومُ عِيدٍ جَعَلهُ الله لِلمُسلِمِينَ فمَن جاءَ إلى الـجُمعةِ
فَليَغتَسِل وَإِن كانَ عِندَه طِيبٌ فَليَمسَّ مِنهُ وَعَلَيكُم بِالسِّواكِ
“Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum
muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya
wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan al-Albani)
3. Memakai Pakaian yang Paling Bagus
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan:
كانت
للنبي -صلى الله عليه وسلم- جُبّة يَلبسُها فِي العِيدَين ، وَ يَوم الـجُمعَة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan
ketika hari raya dan hari Jumat.” (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab shahihnya)
Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan: Umar bin Khathab pernah mengambil
jubah dari sutra yang dibeli di pasar. Kemudian dia datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah, saya membeli ini, sehingga engkau
bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu. Namun Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra.
(HR. Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i)
Imam as-Sindi mengatakan: “…dari hadis disimpulkan bahwa berhias ketika
hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku…
(Hasyiah as-Sindy ‘ala an-Nasa’i, 3:181)
4. Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha dengan Daging Kurban
Dari Buraidah, beliau berkata:
لاَ
يَـخرجُ يَومَ الفِطرِ حَتَّى يَطعَمَ ولاَ يَطعَمُ يَومَ الأَضْحَى حَتَّى
يُصلِّىَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul
Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau tidak
makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan al-Albani)
5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan
Dari sa’d radliallahu ‘anhu,
أنَّ
النَّبـىَّ -صلى الله عليه وسلم- كانَ يَـخْرج إلَى العِيد مَاشِيًا وَيَرجِعُ
مَاشِيًا
Bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan
berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah dan dishahihkan
al-Albani)
Waktu Shalat Id
Dari Yazid bin Khumair, beliau mengatakan: suatu ketika Abdullah bin Busr,
salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama
masyarakat menuju lapangan shalat Id. Kemudian beliau mengingkari keterlambatan
imam. Beliau mengatakan:
إِنّا
كُنّا قَد فَرَغنَا سَاعَتَنَا هَذه و ذلكَ حِينَ التَّسبِيح
“Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat Id) pada waktu dimana
shalat sunah sudah dibolehkan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad
shahih)
Keterangan: maksud: “waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan”:
setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit.
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerahkan shalat Idul Adha. Sementara
Ibnu Umar -orang yang sangat antusias mengikuti sunah- tidak keluar menuju
lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah
sampai tiba di lapangan. (Zadul Ma’ad, 1:425)
Syaikh Abu Bakr al-Jazairi mengatakan: Waktu mulainya shalat Id adalah
sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincir. Namun yang lebih utama
adalah shalat Idul Adha dilaksanakan di awal waktu, sehingga memungkinkan bagi
masyarakat menyelesaikan sembelihannya dan mengakhirkan pelaksanaan sahalat
Idul Fitri, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk membagikan zakat
fitrinya. (Minhajul Muslim, hal. 278)
Tempat Pelaksanaan Shalat Id
1. Ketika di Mekah
Tempat pelaksanaan shalat Id di Mekah yang paling afdhal adalah di
Masjidil Haram. Karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat Id di
masjidil haram ketika di makah.
Imam an-Nawawi mengatakan: …ketika di Mekah, maka masjidil haram paling
afdhal (untuk tempat shalat Id) tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.
(al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, 5:524)
2. Di Luar Mekah
Tempat shalat Id yang sesuai sunah adalah lapangan. Kecuali jika ada
halangan seperti hujan atau halangan lainnya.
Dari Abu Sa’id al-Khudri,
كَانَ
رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- يَـخْرجُ يَومَ الفِطرِ و الأَضحَى إلَى
الـمُصلَّى، فَأَوَّلُ شَىْءٍ يَبْدَأ بِهِ الصَّلاةُ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika
Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat Id. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Haj al-Makki mengatakan: …sunah yang berlaku sejak dulu terkait
shalat Id adalah dilaksanakan di lapangan. Karena nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Shalat di masjidku (masjid nabawi) lebih utama dari pada
seribu kali shalat di selain masjidku, kecuali masjidil haram.” meskipun
memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjid. (al-Madkhal, 2:438)
Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar menjadi imam shalat
Id di masjid bagi orang yang lemah -tidak mampu keluar menuju lapangan-,
sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang diriwayatkan
Ibnu Abi Syaibah
Adab Ketika Menuju Lapangan
1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda
Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma,
إِذا
كانَ يَومُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّريقَ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan
yang berbeda (ketika berangkat dan pulang). (HR. Bukhari)
2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih awal. Adapun
imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai. Karena
imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat
3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan
Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat
suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak
didengar laki-laki. Dalil lainnya:
a. Riwayat yang shahih
dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri
dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR.
ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan dishahihkan al-Albani)
b. Riwayat dari
Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah radliallahu ‘anhu berangkat shalat
Id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. al-Faryabi dalam
Ahkamul Idain)
4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa
Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan: Kami bersama Ibnu Umar,
tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya. Maka aku pun
turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya:
Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar menunjuk orang itu: Kamu
yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari yang tidak boleh membawa
senjata… (HR. Bukhari)
Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka dilarang untuk membawa senjata di
hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh. (HR. Bukhari secara mu’allaq)
Wanita Haid Tetap Berangkat ke Lapangan
Disyariatkan bagi wanita untuk berangkat menuju lapangan ketika hari raya
dengan memperhatikan adab-adab berikut:
·
Memakai jilbab sempurna (hijab)
Dari Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan:
أمرنا
رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرجهن في الفطر والأضحى: العواتق، والحيض،
وذوات الخدور، فأما الحيض فيعتزلن الصلاة، ويشهدن الخير ودعوة المسلمين
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak
keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk
menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha…. Saya bertanya: Ya Rasulullah, ada
yang tidak memiliki jilbab? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
·
Syarat Wanita Berangkat ke Lapangan
Pertama, Tidak memakai minyak wangi dan pakaian yang mengundang perhatian
Dari zaid bin Kholid Al Juhani radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لاَ
تـمنَــعوا إماءَ الله الـمسَاجدَ، و ليَخرُجنَ تَفلاَتٍ
“Janganlah kalian melarang para wanita untuk ke masjid. Dan hendaknya
mereka keluar dalam keadaan tafilaat.” (HR. Ahmad, Abu daud dan dishahihkan
al-Albani)
Keterangan: Makna “tafilaat” : tidak memakai winyak wangi dan tidak
menampakkan aurat
Kedua, Tidak boleh bercampur dengan laki-laki
Ummu Athiyah mengatakan:
فليكن
خلف الناس يكبرنّ مع الناس
Hendaknya mereka berjalan di belakang laki-laki dan bertakbir bersama
mereka. (HR. Muslim)
Sunah-sunah Ketika di Lapangan
1. Mengeraskan bacaan takbir sampai imam datang (mulai shalat)
Dari Nafi’,
كان
ابنُ عُمر يـخرج يوم العيد إلى المصلى فيكبر ويرفع صوته حتى يَأتِي الإمام
Bahwa Ibnu Umar beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan
Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan
dishahihkan al-Albani)
Dari al-Walid, bahwa beliau bertanya kepada al-Auza’i dan Imam Malik
tentang mengeraskan takbir ketika hari raya. Keduanya menjawab: Ya, boleh.
Abdullah bin Umar mengeraskan takbir ketika Idul Fitri sampai imam keluar. (HR.
al-Faryabi)
2. Tidak ada adzan dan qamat ketika hendak shalat
Dari Jabir bin samurah radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
صليت
مع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Saya shalat hari raya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa
kali, tidak ada adzan dan qamat. (HR. Muslim)
Ibnu Abbas dan jabir bin Abdillah mengatakan: Tidak ada adzan ketika
Idul Fitri dan tidak juga Idul Adha. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Tidak ada shalat sunah qabliyah dan ba’diyah di lapangan
Dari Ibn abbas,
أَنَّ
النَّبِىّ -صلى الله عليه وسلم- خَرجَ يَومَ الفِطرِ، فَصلَّى رَكعَتَينِ لَـم
يُصَلّ قَبلَهَا و لا بَعدَهَا و مَعَهُ بِلاَلٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan ketika Idul Fitri,
kemudian shalat dua rakaat. Tidak shalat sunah sebelum maupun sesudahnya. Dan
beliau bersama Bilal. (HR. Bukhari dan al-baihaqi)
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun
para sahabat, tidaklah melakukan shalat apapun setelah mereka sampai di
lapangan. Baik sebelum shalat Id maupun sesudahnya. (Zadul Ma’ad, 1/425)
Catatan:
a. Dibolehkan untuk melaksanakan shalat sunah setelah tiba
di rumah
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melaksanakan shalat sunah apapun sebelum shalat Id. Setelah pulang ke rumah,
beliau shalat dua rakaat. (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Al Albnai)
b. Orang yang shalat Id di masjid, tetap disyariatkan untuk
melaksanakan shalat tahiyatul masjid, mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
إذا
دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين
“Apabila kalian masuk masjid maka jangan
duduk sampai shalat dua rakaat.” demikian penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Shalatul
idain karya Sa’id al-Qohthoani)
Tata Cara Shalat Id
Pertama, sutrah (pembatas shalat) bagi imam
Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika menuju lapangan pada hari raya, beliau perintahkan untuk
menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke benda
tersebut. (HR. Bukhari)
Kedua, Shalat id dua rakaat
Umar bin Khotob mengatakan:
صلاة
الجمعة ركعتان، وصلاة الفطر ركعتان،وصلاة الأضحى ركعتان
“Shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha
dua rakaat…” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan dishahihkan al-Albani)
Ketiga, Shalat dilaksanakan sebelum khutbah
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Saya mengikuti
shalat Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu bakar, Umar,
dan Utsman radliallahu ‘anhum, mereka semua melaksanakan shalat sebelum
khhutbah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, takbir ketika shalat Id
takbiratul ihram di rakaat pertama, lalu membaca do’a iftitah, kemudian
bertakbir tujuh kali. Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal berdiri dari
sujud, kemudian bertakbir 5 kali
Dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertakbir ketika Idul Fitri dan Idul Adha, di rakaat pertama: 7 kali takbir dan
lima kalli takbir di rakaat kedua, selain takbir rukuk di masing-masing rakaat. (HR. Abu daud dan Ibn Majah dan
dishahihkan al-Albani)
Al-Baghawi mengatakan: Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan
shabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika shalat Id: di
rakaat pertama tujuh kali selain takbiratul ihram dan di rakaat kedua lima kali
selain takbir bangkit dari sujud. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu bakar,
Umar, Ali… radliallahu ‘anhum … (Syarhus Sunah, 4:309. dinukil dari Ahkamul
Idain karya Syaikh Ali Al-halabi)
Kelima, Mengangkat tangan ketika takbir tambahan
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi mengatakan: Tidak terdapat riwayat yang
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua
tangan setiap takbir-takbir shalat Id. (Ahkamul Idain, hal. 20)
Namun terdapat riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengangkat kedua
tangan setiap takbir tambahan shalat Id. (Zadul Maad, 1/425)
Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari al-Walid bin Muslim, bahwa beliau
bertanya kepada Imam malik tentang mengangkat tangan ketika takbir-takbir
tambahan. Imam malik menjawab: ya, angkatlah kedua tanganmu setiap takbir
tambahan…(Riwayat al-Faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani) Maksud takbir
tambahan: takbir 7 kali rakaat pertama dan 5 kali rakaat kedua.
Keenam, dzikir di sela-sela takbir tambahan
Syaikh Ali bin Hasan Al halabi mengatakan: Tidak terdapat riwayat yang
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dzikir tertentu di
sela-sela takbir tambahan. (Ahkamul Idain, hal. 21)
Namun terdapat riwayat yang shahih dari ibn mas’ud radliallahu ‘anhu,
beliau menjelaskan tentang shalat Id:
بين
كل تكبيرتين حمد لله و ثناء على الله
Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca tahmid dan pujian
kepada Allah. (HR. al-Baihaqi dan dishahihkan al-Albani)
Ibnul Qoyim mengatakan: Disebutkan dari Ibn Mas’ud bahwa beliau
menajelaskan: (di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah, memuji
Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Zadul Maad,
1/425)
Ketujuh, bacaan ketika shalat
Setelah selesai takbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca al fatihah,
kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:
·
surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al
Qomar di rakaat kedua
·
surat Al A’la di rakaat pertama dan
surat Al Ghosyiah di rakaat kedua
semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An nasai dan At
Turmudzi
Kedelapan, tata cara selanjutnya
Tata cara shalat Id selanjutnya sama dengan shalat lainnya, dan tidak ada
perbedaan sedikit pun (Ahkamul Idain, hal. 22)
Orang yang Ketinggalan Shalat Id
Orang yang ketinggalan shalat Id berjamaah maka dalam hal ini Jumhur ulama
berpendapat disyari’atkan untuk melaksanakan shalat dua rakaat di rumah.
Sementara madzhab Hanafi mengatakan: hal itu tidak disyariatkan.
Imam Bukhari mengatakan: Bab, apabila orang ketinggalan shalat Id maka dia
shalat dua rakaat. (shahih Bukhari)
Atha’ bin Abi Rabah mengatakan:
إذا
فاته العيد صلى ركعتين
Apabila ketinggalan shalat Id maka shalat dua rakaat. (HR. Bukhari)
Dari Ubaidillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik, pembantu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bercerita : “Jika Anas tertinggal
mengerjakan shalat ‘Ied bersama imam, maka dia akan mengumpulkan keluarganya
dan shalat bersama mereka seperti shalatnya imam pada shalat ‘Ied”. [HR
Al-Baihaqi, Hasan lighairihi]
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dia bercerita : “Dia mengerjakan dua rakaat
dan bertakbir”. [HR Ibnu Abi Syaibah II/183, Shahih kalau bukan karena tadlis
Ibnu Juraij]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Barangsiapa yang tertinggal mengerjakan shalat
“ied, maka dia mengerjakan dua rakaat seperti shalat imam” [Al-Iqnaa’ I/110]
Imam al Muzani menukil pendapat Imam Syafi’i –rahimahullah- dalam
Mukhtashar al Um, 8/125: “Dan yang melaksanakan shalat idul fitri dan idul adha
di rumahnya adalah yang sendirian, musafir, hamba sahaya, dan wanita”.
Al Khursyi (Maliki) berkata: “Disunnahkan bagi yang terlambat shalat id
bersama imam, hendaknya shalat, apakah berjama’ah atau sendiri-sendiri?, ada
dua pendapat”. (Ringkasan dari Syarh al Khursyi 2/104)
Al Mawardi (Hambali) dalam “al Inshaf” berkata: “Apabila seseorang
ketinggalan shalat id, disunnahkan baginya untuk mengqadha’nya sesuai dengan
sifatnya sebagaimana yang lakukan oleh imam”.
Ibnu Qudamah (Hambali) dalam “al Mughni” berkata: “Yang datang terlambat
boleh memilih, jika dia mau maka silahkan shalat sendirian atau berjama’ah”.
Dalam “ad Durr Mukhtar ma’a Hasyiyat Ibni ‘Abidin 2/175 (Hanafi): “Tidak
boleh shalat id sendirian ketika ketinggalan shalat bersama imam”.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah memilih pendapat Hanafiyah, dan dikuatkan oleh
Syeikh Ibni Utsaimin –rahimahullah-, sebagaimana dalam “as Syarh Mum’ti’
5/165”.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’, 8/306: “Shalat Idul fitri dan idul
adha adalah fardhu kifayah, apabila sudah ada yang melaksanaknnya dan sudah
lebih dari cukup, maka yang lain tidak berdosa”.
Barang siapa yang ketinggalan jama’ah shalat id, dan ingin mengqadha’nya,
maka hendaklah ia shalat sebagaimana shalatnya imam, namun tanpa diikuti khutbah
setelahnya”. Demikianlah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, an
Nakho’I dan para ulama yang lain. Yang menjadi dasar mereka adalah sabda
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
إذا
أتيتم الصلاة فامشوا وعليكم السكينة والوقار فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فاقضوا
“Apabila kalian mendatangi shalat berjama’ah, maka berjalanlah dengan
santai dan tenang, jika kalian mendapati jama’ah maka shalatlah, dan jika
terlambat maka qadha’lah (gantilah)”.
Diriwayatkan dari Anas –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya jika ia terlambat
shalat id bersama imam, maka dia mengumpulkan anggota keluarganya dan
pembantunya, kemudian pembantunya Abdullah bin Abi ‘Utbah menjadi imam shalat
dua raka’at dengan takbir pada keduanya.
Dan bagi yang datang terlambat sedang imam sedang berkhutbah, maka
hendaknya mendengarkan khutbah terlebih dahulu, setelah itu baru mengqadha’nya,
dengan demikian ia menggabungkan dua kemaslahatan.
Dari Allah-lah setiap petunjuk, semoga shalawat dan salam tercurahkan
kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, keluarga dan para
sahabatnya.
(Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’ - Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz, Syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghadyan)
Adapun orang yang meninggalkan shalat Id dengan sengaja, maka pendapat
yang nampak dari Syaikhul Islam Ibn taimiyah; dia tidak disyariatkan untuk
mengqadla’nya. (Majmu’ Al fatawa, 24/186)
Khotbah Id
Pertama, dilaksanakan setelah shalat
Dari Ibnu Umar, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, abu bakar dan
umar radliallahu ‘anhuma, mereka semua melaksanakan shalat sebelum khutbah.
(HR. Bukhari dan muslim)
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan:
شهدت
العيد مع رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأبي بكر، وعمر، وعثمان رضى الله عنهم،
فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة
Saya mengikuti shalat Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu bakar, Umar, dan Utsman radliallahu ‘anhum, mereka semua melaksanakan
shalat sebelum khhutbah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, khotib berdiri menghadap jamaah
dari Abu sa’id al-Khudri radliallahu ‘anhu, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menuju lapangan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang
beliau lakukan adalah shalat, kemudian beliau berbalik, berdiri menghadap
jama’ah. Sementara para jamaah tetap duduk di barisan-barisan mereka. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, imam berkhutbah di tempat yang tinggi tanpa mimbar
dalam hadis jabir disebutkan:
قام
النبي -صلى الله عليه وسلم- يوم الفطر، فصلى، فبدأ بالصلاة، ثم خطب، فلما فرغ نزل
فأتى النساء فذكرهن
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ketika Idul Fitri, beliau mulai
dengan shalat kemudian berkhutbah. Setelah selesai beliau turun kemudian
mendatangi jamaah wanita… (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhari mengatakan: bab, datang di lapangan (hari raya) tanpa membawa
mimbar. (shahih Al bukhari)
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Tidak diragukan, bahwa mimbar tidak dibawa
dari masjid (ke lapangan). Orang yang pertama kali mengeluarkan mimbar ke
masjid adalah Marwan bin Hakam, dan perbuatan beliau diingkari… (Zadul Maad,
1:425)
Keempat, termasuk sunah: khotib berceramah dengan memegang tongkat atau
semacamnya
Dari Barra bin Azib radliallahu ‘anhu,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نُــووِل يَـــــــوم العيد قَــوساً
فَــخَـــطَــب عليه
bahwa kami memberikan busur panah kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada hari raya dan beliau berkhutbah dengan memegangnya. (HR. Abu Dayd dan dishahihkan
al-Albani)
Kelima, khutbah dimulai dengan membaca tahmid
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai
semua khutbahnya dengan membaca tahmid. Dan tidak diriwayatkan dalam satu
hadis-pun bahwa beliau memulai khutbahnya pada dua hari raya dengan melantunkan
takbir… (Zadul Maad, 1:425)
Syaikhul Islam mengatakan: Tidak diriwayatkan dari nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau memulai khutbahnya dengan selain tahmid, baik
khutbah id, khutbah istisqa’, maupun khutbah lainnya…(Majmu’ al-fatawa, 22/393)
Keenam, isi khotbah disesuaikan dengan situasi terkini
jika khutbahnya ketika Idul Adha maka sang khatib mengingatkan tentang
Idul Adha dan rincian hukumnya, mengingatkan keutamaan 10 hari pertama di bulan
Dzulhijjah, memerintahkan untuk bertakwa dan menjaga ketaatan lainnya. Tidak
selayaknya, kesempatan khutbah ini digunakan untuk mencela pemerintah atau
ulama, menuduh mereka kafir atau fasiq, atau tema-tema khutbah lainnya yang
dapat membangkitkan emosi masyarakat dan memicu kerusuhan.
Keringanan Untuk Tidak Mengikuti Khotbah
Dari Abdullah bin saib radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Saya
mengikuti shalat Id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah selesai,
dalam khutbah beliau bersabda:
إِنَّا
نَـخطُب فَمَن أحَبَّ أَن يَـجلسَ للخُطْبةِ
فليَجلِسْ و مَن أَحَبّ أَن يَذهَب فليَذْهَب
“Saya akan menyampaikan khutbah. Siapa yang ingin duduk mendengarkan
khutbah, silahkan dia duduk, dan Siapa yang ingin pulang sialahkan pulang.” (HR. Abu daud, an Nasa’i dan
dishahihkan al-Albani)
Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
keringanan bagi orang yang mengikuti hari raya untuk duduk mendengarkan khutbah
atau pulang…. (Zadul Maad, 1/425)
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar