Dari tradisi yang selama ini berjalan, panitia kurban yang statusnya
dianggap sebagai wakil shohibul kurban biasa mendapatkan jatah khusus dari
hasil kurban (kurban). Entah bentuknya adalah dengan dilebihkan jatah
dagingnya. Misal, warga lain mendapatkan 1 kg, maka panitia sengaja diberikan 2
kg. Ada juga yang bentuknya, panitia secara khusus dibuatkan makan siang, tidak
bersama warga lain.
Sebelumnya kita simak dahulu hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ
Siapa yang menjual kulit qurbannya maka tidak ada qurban baginya. (HR. al-Hakim 2/390, Baihaqi dalam
al-Kubro no. 19015 dan dihasankan al-Albani)
Orang yang berkurban tidak boleh menjual apapun dari hasil qurbannya.
Karena orang yang berqurban, dia telah menyerahkan semua hewannya dalam rangka
beribadah kepada Allah. Sehingga dia tidak boleh menggunakannya untuk
kepentingan komersial, yang keuntungannya kembali kepada dirinya.
Termasuk diantaranya adalah mengupah jagal dengan mengambil bagian hasil
qurban. Jika sohibul qurban mengupah jagal dengan sebagian hasil qurban,
berarti qurbannya tidak utuh. Karena ada sebagian yang diwujudkan dalam bentuk
bayar jasa.
Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengupah jagal
dari hasil qurban.
وَعَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم –
أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا
وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا
شَيْئاً – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan padaku untuk mengurus unta (unta
hadyu yang berjumlah 100 ekor, -pen) milik beliau, lalu beliau memerintahkan
untuk membagi semua daging kurban, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh di
punggung unta untuk melindungi diri dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan
aku tidak boleh memberikan bagian apa pun dari hasil kurban kepada tukang jagal
(sebagai upah).” (HR. Bukhari no. 1707 dan Muslim no. 1317).
Dalam riwayat lain ada tambahan:
قَالَ
: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi.
Dibolehkan Mewakilkan Kurban pada Suatu Kepanitiaan
Hal penting yang bisa disimpulkan dari hadits di atas, “Boleh mewakilkan
dalam pengurusan kurban, pembagian daging kurban, juga dalam menyedekahkan.”
(Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, 9: 299). Cara mewakilkan misalnya
diserahkan pengurusan kurban tersebut kepada suatu kepanitiaan di masjid
terdekat, bahkan tidak ada masalah jika mewakilkan ke daerah yang membutuhkan
yang berbeda kota dengan cukup mentransfer uang.
Upah untuk Jagal dari Hasil Kurban
Hadits ‘Ali di atas juga menunjukkan, “Bolehnya mengupah orang lain untuk
menyembelih kurban asalkan upahnya tidak diambil dari hasil sembelihan kurban.
Tidak boleh memberi tukang jagal sedikit pun dari daging kurban. Karena kalau
memberi dari hasil kurban pada tukang jagal, itu sama saja menjual bagian
kurban.” (Minhatul ‘Allam, 9: 299).
Dari hadits tersebut, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh
memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan kurban sebagai upah baginya.
Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An
Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 453)
Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 489) karya Abu Bakr bin Muhammad Al
Husayinniy Al Hushniy Asy Syafi’i disebutkan, “Yang namanya hasil kurban adalah
dimanfaatkan secara cuma-cuma, tidak boleh diperjualbelikan. Termasuk pula
tidak boleh menjual kulit hasil kurban. Begitu pula tidak boleh menjadikan
kulit kurban tersebut sebagai upah untuk jagal, walau kurbannya adalah kurban
yang hukumnya sunnah.” Hal yang serupa disebutkan pula dalam Al Iqna’ fii Halli
Alfazhi Abi Syuja’ karya Muhammad bin Muhammad Al Khotib (2: 452).
Kalau hasil kurban diserahkan kepada jagal karena alasan status sosialnya
yaitu dia miskin atau sebagai hadiah, maka tidaklah mengapa.
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah (5: 105) disebutkan, “Ulama
Syafi’iyah dan Hambali berpendapat: Haram memberikan tukang jagal upah dari
hasil kurban dengan alasan hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang telah
disebutkan. Namun kalau diserahkan kepada tukang jagal tersebut karena
statusnya miskin atau dalam rangka memberi hadiah, maka tidaklah mengapa.
Tukang jagal tersebut boleh saja memanfaatkan kulitnya. Namun tidak boleh kulit
dan bagian hasil kurban lainnya dijual.”
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan mengatakan, “Namun jika hasil kurban diberikan
kepada tukang jagal karena statusnya yang miskin, atau sebagai status hadiah
(jika dia orang kaya, pent), maka tidaklah mengapa. Ia berhak untuk mengambil
jatah tersebut karena posisinya sama dengan yang lain, bahkan ia lebih pantas
karena dia yang mengurus langsung proses penyembelihan dst sehingga hatinya
ingin ikut mendapatkannya. Akan tetapi lebih tepat, jika upah kerjanya sebagai
jagal dibayarkan utuh terlebih dahulu, baru diberi hasil kurban (dengan status
sedekah jika dia miskin atau hadiah jika dia kaya, pent). Upah jagal itu lebih
baik diberikan utuh terlebih sebelum diberi bagian dari hasil hewan kurban
dengan pertimbangan supaya upah sebagai jagal tidak dikurangi dengan alasan
sudah diberi jatah dari hewan kurban. Pertimbangan dan alasan semacam ini
menyebabkan status bagian dari hewan kurban yang diberikan kepada jagal
tersebut adalah upah kerjanya sebagai jagal (padahal menjadikan daging hewan
kurban untuk upah jagal adalah tindakan terlarang, pent)” (Minhatul ‘Allam, 9: 299)
Hukum Panitia Mengambil Lebih
Banyak Daging Qurban
Pendapat pertama, yang tidak membolehkan.
Melihat posisi panitia dalam kegiatan qurban,
Pertama, panitia adalah pihak yang diamanahi sohibul qurban untuk
menangani hewan qurbannya, dari penyembelihan sampai distribusi hasil qurban.
Ada juga yang diamanahi dari sejak pengadaan hewan.
Kedua, berdasarkan pengertian di atas, posisi panitia adalah wakil bagi
sohibul qurban.
Ketiga, panitia bukan amil. Tidak ada istilah amil dalam pelaksanaan
qurban. Amil hanya dalam syariat zakat. Karena itu, adalah kesalahan ketika
panitia menerima hasil qurban dengan jatah khusus, dengan alasan sebagai amil.
Keempat, panitia berhak mendapatkan upah dari sohibul qurban, atas jasanya
menangani hewan qurbannya. Statusnya transaksinya al-wakalah bil ujrah
(mengambil upah karena telah mewakili)
Kelima, mengingat panitia berhak dapat upah, maka panitia tidak boleh
mengambil upah dari hasil qurban. Baik bentuknya panitia mendapat jatah khusus
atau panitia mendapat jatah makan dari hasil hewan qurban, sebagai ucapan
terima kasih atas jasanya menangani hewan qurban.
Upah untuk panitia, diambil dari biaya operasional yang dibebankan kepada
sohibul qurban, sebagaimana keterangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
“Saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali
menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 &
Muslim 1317).
(Ini pendapat yang dipilih oleh Ustadz
Ammi Nur Baits)
Pendapat kedua, yang membolehkan.
Sebagaimana kata Ibnu Mulaqqin Asy Syafi’i dalam Al I’lam bi Fawaid Umdah
Al Ahkam (6: 286), “Yang dimaksud jagal itu sudah diketahui bersama yaitu orang
yang menangani pengulitan dan memotong daging hewan yang disembelih.”
Maka menyamakan antara panitia kurban dengan
jagal tidaklah tepat. Alasannya:
1- Panitia lebih tepat dianggap sebagai wakil dari shohibul kurban. Kalau
panitia kurban itu sebagai wakil, maka sah-sah saja jika wakil memakan dari
hasil kurban sebagaimana shohibul kurban boleh demikian.
2- Jagal sebagaimana dijelaskan di atas bertugas untuk memotong dan menguliti
hewan kurban. Sedangkan panitia kurban saat ini bukan terbatas pada itu saja.
Panitia kurban bertugas lebih kompleks, mereka mencari siapa yang akan berkurban, mengurus penyembelihan
bahkan sampai pada pendistribusian daging kurban kepada yang berhak atau
sebagai hadiah.
Sehingga sah-sah saja atau boleh panitia kurban
mendapatkan jatah khusus dari hasil kurban, itu tidaklah masalah. Alasannya,
karena hasil kurban boleh pula dinikmati oleh shohibul kurban dan sisanya ia
bagikan untuk fakir miskin atau sebagai hadiah bagi yang mampu. Jika boleh
demikian, maka demikian pula berlaku pada wakil shohibul kurban. Begitu juga
tidak mengapa panitia mendapat jatah khusus berupa makan-makan bersama dengan
alasan akadnya adalah kerja sosial.
(Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ustadz Dr. Arifin Baderi dan Ustadz
Kholid Syamhudi, Lc dan Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal,Msc)
Setelah melihat alasan masing-masing
pendapat, maka saya cenderung untuk mengambil pendapat pertama – yang tidak
membolehkan, karena saya anggap itu adalah pendapat yang lebih selamat.
Boleh Menerima Sebagai Hadiah atau Sedekah
Panitia boleh menerima hasil qurban, sebagai hadiah atau sedekah dari
sohibul qurban. Artinya itu di luar upah.
Syaikh Abdullah al-Bassam menuliskan,
“Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah
atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang
diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk
orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..”
(Taudhihul Ahkaam, 4/464).
Beda Hadiah/sedekah dengan Upah
Kita bisa membedakan hadiah dengan upah,
1. Hadiah sifatnya suka rela, upah
statusnya kewajiban dan tanggung jawab orang yang mendapatkan jasa
2. Hadiah tidak bisa dituntut. Orang yang
tidak menerima, tidak bisa memaksa orang lai untuk memberikannya. Upah bisa
dituntut. Jika tidak diberikan, dia bisa meminta secara paksa.
3. Hadiah tidak ada ukurannya. Boleh
diberikan senilai berapapun. Sementara upah ada ukurannya, yaitu sesuai
kesepakatan.
4. Upah sebagai ganti dari kerja yang
dilakukan. Sehingga jika tidak diberikan dia merasa dirugikan. Hadiah, tidak
ada hubungannya dengan pekerjaan. Sehingga jika tidak mendapatkan, tidak ada
istilah dirugikan.
Ketika jatah khusus yang diberikan
panitia sifatnya bisa dituntut, dalam arti, jika ada panitia yang tidak
menerima jatah khusus, dia merasa dirugikan, sehingga berhak untuk meminta,
maka jatah khusus ini upah, bukan hadiah.
Dan jika jatah khusus ini sifatnya suka
rela, panitia yang tidak menerima, tidak merasa
dirugikan, sehingga dia tidak meminta, maka ini hadiah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar