Ada sebuah kasus, dimana seseorang akan berqurban, tapi orang tua nya
mengatakan bahwasanya dia belum diAqiqahi oleh orang tua nya. Hal ini
menimbulkan pertanyaan Aqiqah dan Qurban, mana yang lebih didahulukan?
Bagaimana pandangan syariat mengenai hal ini?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Aqiqah maupun qurban hukumnya sunah
muakkad (yang sangat ditekankan). Disebutkan dalam riwayat Muslim dari sahabat
Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا
رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian hendak berqurban
maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”
Kalimat: ‘hendak berqurban’ menunjukkan bahwa qurban hukumnya sunah
dan tidak wajib.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah (fatwa no. 44768) dikatakan bahwa
berdasarkan hal ini, yang terbaik adalah seseorang melaksanakan kedua sunah
tersebut bersamaan. Karena keduanya dianjurkan untuk dilaksanakan. Jika tidak
mampu melakukan keduanya dan waktu Aqiqah berbeda di selain hari Qurban, maka
hendaknya mendahulukan yang lebih awal waktu pelaksanaannya. Akan tetapi jika
Aqiqahnya bertepatan dengan hari raya Qurban, dan tidak mampu untuk menyembelih
dua ekor kambing untuk Aqiqah dan satunya untuk Qurban, pendapat yang lebih kuat,
sebaiknya mengambil pendapat ulama yang membolehkan menggabungkan Aqiqah dan
Qurban.
Bolehkah Satu Sembelihan untuk Qurban dan Aqiqah?
Mengenai permasalahan menggabungkan niat qurban dan aqiqah, para ulama
memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama: Qurban tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah
pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab
dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah
dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan
qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).
[Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits]
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya
seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya
sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban
dan ‘aqiqah itu berbeda.” [Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al
Islam]
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan,
“Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak
boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan
dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan
lainnya, pen). Begitu pula keduanya
memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan
untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap
dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk
mendoakannya.” [Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini,
boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah
salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al
Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan
qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu
Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”
[Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116]
Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan
penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari
ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh
melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus
dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at,
kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau
sebaliknya.” [Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu
sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban
itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa
aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan
bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban,
maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.” [Fatawa wa Rasa-il
Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah] Intinya, Syaikh Muhammad bin
Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Point Penting dalam Penggabungan Niat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat diperbolehkan jika memang memenuhi dua
syarat:
1. Kesamaan jenis.
2. Ibadah tersebut
bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis
lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid
dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama
shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إذَا
دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk
sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul
masjid).” [HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 714, dari Abu Qotadah]
Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at
ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan
shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya.
Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah
tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam
hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib
dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis
yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri
sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri
sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan
Ibnu Hajar Al Makki di atas.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum
menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan
dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul
Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan
udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban
sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk
masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia
melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut
adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu
ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan
rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia
berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika
anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”
[Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288]
Kesimpulan
1. Dari dua pendapat
di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa
penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun
ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga
tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih
hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
2. Jika memang aqiqah
bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah
dan qurban.
3. Jika mampu ketika
itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing
atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi
anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
4. Jika tidak mampu
melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah
ibadah qurban karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup
sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar