Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah diskusi, salah seorang bertanya
tentang apa yang dia dengar yaitu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memiliki bayangan, hal ini karena jasad beliau adalah cahaya. Benarkah
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki bayangan?
Keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki
bayangan, disampaikan oleh Muhammad as-Sholihi (w. 942 H) dalam kitabnya Subul
al-Huda wa ar-Rasyad. Beliau menukil beberapa riwayat dari ulama,
diantaranya Ibnu Sab’ dalam Khasais Nabi dan ad-Dzakwan.
Ibnu Sab’ mengatakan,
إن
ظله صلى الله عليه وسلم كان لا يقع على الأرض وأنه كان نوراً، وكان إذا مشى في
الشمس أو القمر لا يظهر له ظل
“Bayangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menempel di tanah.
Karena beliau adalah cahaya. Apabila beliau berjalan di bawah terik atau di
malam purnama, tidak nampak bayangannya.”
Kemudian keterangan lain dari seorang tabiin bernama ad-Dzakwan, beliau
mengatakan,
لم
ير لرسول الله صلى الله عليه وسلم ظل في شمس ولا قمر.
Tidak terlihat bayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah
matahari maupun purnama.
Ada sebagian yang memberi alasan, agar bayangan beliau tidak
diinjak oleh orang kafir, sehingga mereka bisa merendahkan beliau. (Subul
al-Huda wa ar-Rasyad, 2/90)
Hanya saja keterangan ini dinilai lemah oleh para ulama karena beberapa
alasan berikut,
Pertama, Allah menegaskan dalam banyak ayat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam secara fisik adalah manusia biasa seperti umumnya manusia. Hanya saja
beliau diberi wahyu dan mendapat penjagaan dari Allah.
Allah berfirman,
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.”
(QS. al-Kahfi: 110)
Allah juga berfirman menjelaskan semua karakter nabi,
وَمَا
جَعَلْنَاهُمْ جَسَداً لا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ
“Tidaklah Kami jadikan untuk mereka (para nabi) tubuh-tubuh yang tidak
makan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” (QS. al-Anbiya: 8).
Allah juga mengingkari keheranan orang kafir terhadap status nabi sebagai
manunsia biasa,
وَقَالُوا
مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الأَسْوَاقِ
Mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar?” (QS. al-Furqan: 8)
Semua ayat di atas menunjukkan bahwa karakter fisik para nabi, tidak
berbeda dengan umatnya. Artinya, mereka sama-sama manusia.
Kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bani Adam yang diciptakan
dari tanah. Sementara yang diciptaan dari cahaya hanyalah malaikat. Dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan golongan Malaikat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُلِقَت
المَلائِكَةُ مِن نُورٍ ، وَخُلِقَ إِبلِيسُ مِن نَارِ السَّمومِ ، وَخُلِقَ آدَمُ
عَلَيهِ السَّلامُ مِمَّا وُصِفَ لَكُم
“Malaikat diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari nyala api. Adam
diciptakan dari apa yang telah ada pada kalian.” (HR. Muslim 2996).
Andai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu cahaya, tentu beliau akan
dikelompokkan dalam kategori malaikat dan dikecualikan dari hadis ini.
Ketika menjelaskan hadis ini, penulis as-Silsilah as-Shahihah mengatakan,
وفيه
إشارة إلى بطلان الحديث المشهور على ألسنة الناس : ( أول ما خلق الله نور نبيك يا
جابر ) ! ونحوه من الأحاديث التي تقول بأنه صلى الله عليه وسلم خلق من نور ، فإن
هذا الحديث دليل واضح على أن الملائكة فقط هم الذين خلقوا من نور ، دون آدم وبنيه
، فتـنبّه ولا تكن من الغافلين
Hadis ini mengisyaratkan kesalahan ungkapan yang masyhur di masyarakat,
bahwa yang pertama kali diciptakan adalah cahaya nabimu. Atau hadis-hadis yang
semisalnya, yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan
dari cahaya. Karena hadis ini merupakan dalil tegas bahwa hanya malaikat yang
diciptakan dari cahaya, bukann Adam dan keturunannya. Perhatikan ini, dan
jangan ikutan menjadi orang lalai. (as-Silsilah as-Shahihah, keterangan no.
458).
Ketiga, kehadiran beliau merupakan cahaya bagi umat. Karena beliau menjadi sumber
yang menyampaikan petunjuk dari Allah. Konsekuensi hal ini, fisik beliau harus
bisa dilihat dengan sempurna, sehingga para sahabat bisa meniru perbuatan
beliau.
Untuk itu, jika fisik beliau berupa cahaya, justru ini menghalangi
kesempurnaan beliau untuk menjadi pelita bagi umat. Karena masyarakat akan
kesulitan untuk untuk menyaksikan aktivitas beliau, melihat gerakan beliau
ketika ibadah, dst.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas mimbar, dan
beliau turun untuk sujud di tanah. Alasannya, agar para sahabat bisa melihat
bagaimana cara shalat beliau.
Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
وَلَقَدْ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ
وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ
الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ، ثُمَّ عَادَ، حَتَّى فَرَغَ
مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي»
Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami di
atas mimbar. Beliau takbiratul ihram dan jamaahpun ikut takbir di belakang
beliau, sementara beliau di atas mimbar. Kemudian, ketika beliau i’tidal,
beliau mundur ke belakang untuk turun, sehingga beliau sujud di tanah. Lalu
beliau kembali lagi ke atas mimbar, hingga beliau menyelesaikan shalatnya.
Kemudian beliau menghadap kepada para sahabat, dan bersabda, ”Wahai para sahabat, aku lakukan ini agar kalian bisa mengikutiku dan
mempelajari shalatku.” (HR. Bukhari 377, Muslim 544, Nasai 739, dan yang lainnya).
Keempat, orang kafir kehilangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika perang.
Orang kafir sangat antusias untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Terutama ketika perang berkecamuk. Meskipun demikian, ada beberapa
pasukan kafir yang kesulitan mengenali beliau di tengah hiruk pikuk perang. Andai tubuh beliau berupa
cahaya, mereka akan dengan lebih mudah menjadikan beliau sebagai sasaran utama.
Ketika perang Uhud, Kesedihan menyelimuti kaum muslimin atas musibah ini.
Allah menguji mereka dengan wafatnya puluhan saudara mereka. Namun ada musibah
yang lebih besar dari itu semua. Di tengah mereka kerepotan menghadapi musuh
dari depan dan belakang, tiba-tiba Ibnu Qamiah, salah satu pasukan musyrik
berteriak, “Aku telah membunuh Muhammad…” “Aku telah membunuh Muhammad…”.
Seketika hiruk pikuk perang yang sedang berkecamuk langsung berhenti.
Kesedihan makin mendalam dialami para sahabat. Membuat mereka lupa akan
kesedihan yang pertama. Sementara orang musyrik begitu bangga karena sasaran
utama mereka telah terbunuh.
Abu Sufyan yang kala itu memimpin pasukan musyrikin Quraisy, naik ke atas
bukit dan meneriakkan,
“Apakah Muhammad masih hidup?”
“Apakah Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakr) masih hidup?”
“Apakah Umar bin Khatab masih hidup?”
Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para sahabat untuk diam.
Akan tetapi, Umar tidak bisa menahan emosinya dan meneriakkan,
يا
عدو الله، إن الذين ذكرتهم أحياء، وقد أبقي الله ما يسوءك
“Wahai musuh Allah, orang-orang yang kau sebutkan semua masih hidup. Allah
akan tetap membuatmu sedih.”
Kemudian Abu Sufyan memanggil Umar untuk menemuinya, Nabi-pun menyuruhnya
untuk menghadap.
“Jawab dengan jujur wahai Umar, apakah kami telah berhasil membunuh
Muhammad?” tanya Abu Sufyan.
“Demi Allah, tidak. Beliau juga mendengarkan ucapanmu saat ini.”
Komentar Abu Sufyan,
أنت
أصدق عندي من ابن قَمِئَة
“Bagiku Kamu lebih jujur dari pada Ibnu Qamiah.”
Seketika, wajah kegembiraan menghiasi para sahabat. Melupakan semua
musibah yang mereka alami dengan ‘kekalahan’ mereka di perang Uhud. (ar-Rahiq
al-Makhtum, hlm. 250).
Andai tubuh beliau berupa cahaya, tentu Abu Sufyan tidak akan
bertanya-tanya hal itu, karena beliau badannya berbeda dengan manusia umumnya.
Namun kenyataanya, mereka tidak bisa mengenali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di tengah hiruk pikuk peperangan.
Untuk itu, tidak benar jika dinyatakan bahwa jasad Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah cahaya, sehingga beliau tidak memiliki bayangan.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar