Sering kali, kita jumpai tanah atau rumah yang dijual murah, di bawah
harga pasar, disebabkan pemilik sedang dalam kondisi kepepet; ada anaknya yang
opname di rumah sakit, atau untuk biaya anak yang sedang mendaftar di suatu
sekolah, misalnya.
Bolehkah kita membeli tanah atau rumah tersebut dalam kondisi sebagaimana
di atas? Apakah kita termasuk orang yang memanfaatkan penderitaan orang lain?
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini:
Pertama, para ulama Mazhab Hanbali, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat
makruhnya membeli barang dari orang yang kepepet karena menimbang beberapa
alasan.
Di antaranya, mereka menilai bahwa jual beli yang terjadi tidaklah atas
dasar saling rela. Pemilik barang, sebenarnya, merasa berat hati untuk melepas
harta miliknya.
عن
أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ».
Dari Abu Said al Khudri, Rasulullah bersabda, “Jual beli yang sah itu
hanyalah jika atas dasar saling rela.” (H.R. Ibnu Majah, no. 2185; dinilai
sahih oleh Al-Albani)
عن
أَبُي عَامِرٍ الْمُزَنِىُّ حَدَّثَنَا شَيْخٌ مِنْ بَنِى تَمِيمٍ قَالَ خَطَبَنَا
عَلِىٌّ أَوْ قَالَ قَالَ عَلِىٌّ يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوضٌ يَعَضُّ
الْمُوسِرُ عَلَى مَا فِى يَدَيْهِ – قَالَ وَلَمْ يُؤْمَرْ بِذَلِكَ قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَلاَ تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ) وَيَنْهَدُ
الأَشْرَارُ وَيُسْتَذَلُّ الأَخْيَارُ وَيُبَايِعُ الْمُضْطَرُّونَ – قَالَ-
وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّينَ
وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَعَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ أَنْ تُدْرِكَ.
Dari Abu ‘Amir Al-Muzani dari seorang Syekh dari Bani Tamim, beliau
bercerita bahwa Ali menyampaikan khotbah–atau Ali mengatakan–, “Akan datang
masa pelit. Itulah masa ketika orang yang kaya menggigit hartanya (baca: tidak
mau berinfak). Padahal, mereka tidaklah diperintahkan demikian. Allah berfirman
(yang artinya), ’Janganlah kalian melupakan kebaikan orang lain.’ (Q.S.
Al-Baqarah:237). Para penjahat dimuliakan, sedangkan orang-orang saleh dihinakan.
Transaksi jual beli diadakan dengan orang-orang yang sedang kepepet. Padahal,
Rasulullah melarang melakukan transaksi jual beli dengan orang yang kepepet.
Jual beli gharar dilakukan, dan hasil pertanian yang belum layak dikomsumsi
(baca: ijon) juga diperdagangkan.” (H.R. Ahmad, no. 937; sanadnya dinilai
lemah oleh Syekh Syuaib Al-Arnauth)
Hadis ini adalah riwayat tegas yang menunjukkan terlarangnya jual beli
dengan orang yang kepepet. Akan tetapi, karena sanadnya lemah maka riwayat ini
tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah ini.
Kedua, sedangkan ulama Mazhab Hanafiyyah dan Imam Ahmad (dalam salah satu
pendapatnya) menyatakan haram dan batalnya jual beli dengan orang yang kepepet.
Alasannya adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib di atas. Jika memang jual
beli dengan orang kepepet itu dilarang oleh Nabi maka larangan itu menghasilkan
hukum haram dan tidak sahnya transaksi yang dilakukan.
Namun, setelah kita mengetahui bahwa hadis di atas adalah hadis yang lemah
maka alasan ini merupakan alasan yang tidak bisa diterima.
Ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bolehnya transaksi
jual beli dengan orang kepepet. (Majmu’ Fatawa, 29:249)
Alasannya, transaksi dengan orang yang kepepet itu sah karena tidak ada
pemaksaan untuk melakukan transaksi; transaksi itu terjadi dengan kerelaan dan
keinginan penjual. Hanya saja, orang tersebut melakukan transaksi tersebut
karena terpaksa menjual barangnya untuk menghilangkan posisi sulit yang dia
alami. Sebenarnya, menjual barang bukanlah pilihan satu-satunya untuk dirinya.
Bisa saja, orang tersebut mencari pinjaman uang untuk menghilangkan posisi
sulitnya.
Alasan lain yang menunjukkan bolehnya transaksi dengan orang yang kepepet
adalah bahwa membeli barang orang yang dalam kondisi kepepet adalah bentuk
berbuat baik kepadanya dan menghilangkan kesusahannya.
Jadi, jual beli dalam keadaan kepepet itu ada dua macam:
1. Kepepet untuk mengadakan transaksi karena ada pihak yang memaksanya
untuk mengadakan transaksi. Inilah transaksi jual beli yang tidak sah.
2. Kepepet karena penjual terlilit banyak utang atau harus mengeluarkan
biaya yang sangat besar. Akhirnya, orang tersebut terpaksa menjual sebagian
barangnya dengan harga sangat murah, karena kondisi darurat. Idealnya, kita
tidak mengadakan transaksi jual beli dengan orang semacam ini, namun yang
hendaknya kita lakukan adalah memberinya pinjaman uang sampai dia mampu
melunasinya.
Demikianlah solusi yang ideal, namun jika pada realitanya kita sulit untuk
mewujudkan hal ideal tersebut maka menurut pendapat yang paling kuat adalah
boleh membeli barang milik orang yang kepepet, sebagaimana pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah.
Disarikan dari Ighatsah Al-Jumu’, hlm. 41–45, karya Muhammad bin Ba’sus
Al-’Umari, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, Ramadhan 1427 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar