Allah penguasa alam raya. Dengan kuasa-Nya, Allah dapat berbuat apa saja
tanpa ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Kita dan semua yang kita
saksikan dalam kehidupan ini pun milik-Nya. Dengan hikmah-Nya yang maha tinggi,
Allah berkenan memberi apa saja kepada kita, Allah pun mampu mengambilnya dari
kita. Allah berkehendak mengaruniakan kebaikan yang kita inginkan, Allah pun
berhak menurunkan musibah yang tidak kita harapkan.
Musibah, bencana dan malapetaka ada dalam kuasa-Nya pula. Kehidupan
manusia di dunia ini hampir tak pernah sepi dari musibah yang datang silih
berganti. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang ringan sampai yang
berat. Dari yang sedikit hingga yang banyak. Ada musibah yang bersifat umum dan
ada yang bersifat individu. Ada musibah yang tidak melibatkan manusia dan ada
yang musibah yang melibatkan manusia zalim.
Allah Mahabijaksana. Musibah adalah sunnah-Nya. Segala yang diperbuat-Nya
selalu mengandung hikmah yang agung. Lalu, untuk tujuan apakah Dia mendatangkan
musibah kepada manusia?
Pertama: Sebagai hukuman bagi orang-orang yang mansekutukan-Nya dan kufur
kepada-Nya.
Allah akan menurunkan musibah kepada orang-orang yang ingkar, kufur dan
menyekutukan-Nya, sebagai hukuman dan azab atas perbuatan mereka yang sangat
buruk. Kekufuran dan syirik adalah dosa yang paling besar. Orang-orang yang
memperbuatnya memang pantas mendapat hukuman dari Allah, apabila mereka telah
mendapatkan peringatan dari para utusan-Nya.
Dalam sejarah manusia, musibah dan azab pernah turun kepada kaum-kaum
terdahulu. Kaum Nabi Nuh Allah tenggelamkan dalam musibah banjir bandang. Kaum
Nabi Hud, Shaleh dan Syu’ab Allah tiupkan angin yang membinasakan kepada
mereka. Fir’aun dan bala tentaranya juga Allah tenggelamkan ke dalam samudera.
Kaum Nabi Luth Allah balikkan tanah mereka lalu Allah hujani mereka dengan
baru-baru kerikil yang panas. Kisah-kisah mereka Allah ceritakan dalam Al
Qur`an agar menjadi pelajaran bagi manusia yang datang setelah mereka.
Allah berfirman,
وَمَا
هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
“dan siksaan itu Tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Huud: 83)
Kedua: Sebagai hukuman atas dosa-dosa dibawah syirik dan kekufuran, untuk
mensucikan hamba-hamba-Nya.
Diantara sebab datangnya musibah yang menimpa manusia di dunia baik pada
diri, keluarga atau harta mereka adalah karena perbuatan dosa dan maksiat yang
mereka kerjakan, juga sebagai hukuman dari Allah atas mereka. Allah berfirman,
وَمَا
أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuuraa: 30)
مَا
أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana
yang menimpamu, Maka dari dirimu sendiri.” (QS. An Nisaa`: 79) Ibnu Katsir berkata,
“Maksud ‘dari dirimu’ adalah dengan sebab dosamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah, sungguh
Allah akan menghalangi rizki seorang hamba disebabkan dosa yang dikerjakannya.”
(HR Ibnu Majah, Ahmad, Hakim: Shahih Isnad)
Jika Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, Allah akan menyegerakan
akibat dari kesalahan yang diperbuatnya di dunia dan tidak menangguhkannya di
akhirat. Hingga ia bertemu dengan Allah di akhirat nanti dalam keadaan bersih
dari kesalahan.
Dengan demikian, jika musibah datang menyapa kita, segeralah melakukan evaluasi
diri dan bertobat kepada-Nya.
Ketiga: Untuk meninggikan derajat hamba-hamba-Nya
Allah menguji manusia dengan musibah dan nikmat, agar menjadi jelas
kesyukuran orang yang beriman dan kesabarannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak Allah
menetapkan suatu ketetapan bagi seorang mukmin melainkan menjadi kebaikan
baginya. Hal itu tidak dimiliki kecuali oleh orang yang beriman. Jika ia
mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur dan itu menjadi kebaikan baginya.
Begitu pun jika ia ditimpa dengan musibah, maka ia bersabar dan itu pun menjadi
kebaikan baginya.” (HR Muslim)
Dari sisi ini musibah menjadi cara Allah untuk meninggikan derajat seorang
hamba, meluhurkan keutamaannya dan menambah pahalanya.
Keempat: Untuk membedakan orang yang jujur dan orang yang dusta dalam
pengakuan imannya
Dunia adalah tempat ujian. Ujian datang diantaranya dalam bentuk musibah
yang tidak diinginkan kehadirannya. Orang-orang yang mengaku beriman akan Allah
uji, sejauh mana kebenaran dan kejujuran pengakuannya sebagai orang yang
beriman. Allah berfiman,
الم
(1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا
يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ
اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan
Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka
Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 1- 3)
Setiap orang yang mengatakan, “Aku beriman” akan diuji oleh Allah. Jika ia
bersabar dan teguh, maka ia berarti jujur dalam imannya. Namun jika ia
menyimpang dan berpaling dari agamanya tatkala mendapat ujian, maka ia berarti
dusta dalam pengakuannya.
Kelima: Untuk membuat hamba-hamba-Nya berserah diri, mengadu dan berdoa
kepada-Nya
Seorang mukmin, jika ia mendapat musibah, ia akan segera mengadu, tunduk,
berserah diri dan berdoa kepada Allah. Ia juga akan memperbanyak ibadah,
bersedekah dan shalat karena ia menyadari bahwa Allah-lah satu-satunya yang
berkuasa mengangkat musibah itu dan menolong orang-orang yang kesusahan jika
mereka memohon kepadanya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Diantara hikmah ujian (yang Allah
timpakan kepada orang beriman) adalah membuat mereka kian tunduk dan
merendahkan diri kepada Allah, merasa butuh dan memohon pertolongan
kepada-Nya.”
Dengan demikian, musibah bagi orang yang beriman juga bertujuan menjaga
keimanan mereka dan kelurusan jalan hidup yang ditempuhnya. Andai mereka
terus-menerus diberikan kesenangan, kemenangan dan kemudahan hidup, bisa jadi
mereka menjadi lalai dan lupa kepada Allah dan agamanya.
Keenam: Mengingatkan hamba-Nya kepada akhirat
Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, musibah adalah sunnatullah di
dunia ini. Dunia bukan tempat kenikmatan. Mencari kesenangan dan kenikmatan
selama-lamanya dan terus-menerus tidak mungkin akan didapatkan di dunia ini. Di
dunia ini bercampur antara nikmat dan bencana, antara kemudahan dan kesusahan,
antara kesenangan dan kesedihan. Jika begitu hakikat dari kehidupan dunia, maka
musibah yang datang kepada seorang hamba sejatinya dapat mengingatkannya ke
negeri akhirat, tempat cita-cita untuk meraih segala kenikmatan dapat
ditambatkan.
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al Balad: 4)
Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, susah payah dalam menghadapi
musibah-musibah di dunia, dan kesulitan-kesulitan di akhirat.”
Wallahu a’lam, wa shallallahu wa sallam ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar