Sebagai seorang anak yang ingin berbakti
kepada orangtua-nya yang sudah berjasa mengasuh dan mendidiknya sehingga
menjadi seorang yang berhasil, kita akan mencoba berbagai amalan yang berguna
untuk meningkatkan derajat orangtua kita. Salah satunya, ketika mereka sudah
meninggal dan kebetulan kita mempunyai sedikit kelebihan harta, kita berqurban
atas nama orangtua kita yang sudah meninggal. Bagaimanakah hukum perbuatan ini
menurut syar'a?
Terkait kurban atas nama orang yang
sudah meninggal, dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, orang yang meninggal bukan sebagai
sasaran kurban utama, namun statusnya mengikuti kurban keluarganya yang masih
hidup.
Misalnya, seseorang berkurban untuk
dirinya dan keluarganya, sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal.
Berkurban jenis ini dibolehkan dan pahala kurbannya meliputi dirinya dan
keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Adapun
mayit termasuk salah satu yang mendapat pahala dari kurban seseorang, ini
berdasarkan hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban
untuk dirinya dan keluarganya. Sementara keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencakup istrinya yang telah meninggal dan yang masih hidup. Demikian
pula ketika Nabi berkurban untuk umatnya. Di antara mereka ada yang sudah
meninggal dan ada yang belum dilahirkan. Akan tetapi, berkurban secara khusus
atas nama orang yang telah meninggal, saya tidak mengetahui adanya dalil dalam
masalah ini.” (Syarhul Mumthi’, 7:287).
Kedua, Berkurban khusus untuk orang yang
meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berkurban untuk
dirinya setelah dia meninggal.
Berkurban untuk mayit untuk kasus ini
diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit, dan nilai biaya
untuk kurban, kurang dari sepertiga total harta mayit.
Terdapat hadits dalam masalah ini, dari
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi pernah berkurban dengan dua
ekor kambing. Ketika ditanya, Nabi menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah berwasiat kepadaku agar aku berkurban untuknya. Sekarang saya
berkurban atas namanya.” Hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmudzi,
namun status hadits ini dhaif, sebagaimana keterangan Syekh Al-Albani dalam
Dhaif Sunan Abi Daud, no. 596.
Ibn Utsaimin mengatakan, “Berkurban atas
nama mayit, jika dia pernah berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga
hartanya, atau dia mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah
Fiqhiyah Ibn Utsaimin, Ahkam Udhiyah)
Syekh juga mengatakan, Karena Allah
melarang untuk mengubah wasiat, kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang
tidak benar atau wasiat yang mengandung dosa, seperti wasiat yang melebihi 1/3
harta atau diberikan kepada orang yang kaya. Allah berfirman:
فَمَنْ
خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir
terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa,
lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).
Wasiat untuk berkurban tidak termasuk
penyimpangan maupun dosa, bahkan termasuk wasiat ibadah harta yang sangat
utama.”(Risalah Dafnul Mayit, Ibn Utsaimin, Hal. 75)
Ketiga, berkurban khusus untuk orang yang telah
meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah
ini. Sebagian ulama madzhab hanbali menganggap ini sebagai satu hal yang baik
dan pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mereka mengkiyaskan (menyamakan) dengan
sedekah atas nama mayit. Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah ketika ditanya
tentang hukum berkurban atas nama mayit, sementara dia tidak pernah berwasiat.
Mereka menjawab, “Berkurban atas nama mayit disyariatkan. Baik karena wasiat
sebelumnya atau tidak ada wasiat sebelumnya. Karena ini masuk dalam lingkup masalah
sedekah (atas nama mayit).” (Fatwa Lajnah, 21367).
Akan tetapi menyamakan ibadah kurban
dengan sedekah adalah analogi yang kurang tepat. Karena tujuan utama berkurban
bukan semata untuk sedekah dengan dagingnya, tapi lebih pada bentuk mendekatkan
diri kepada Allah dengan menyembelih.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pada
kenyataannya, ibadah kurban tidak dimaksudkan semata untuk sedekah dengan
dagingnya atau memanfaatkan dagingnya. Berdasarkan firman Allah
لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ
“Dagingnya maupun darahnya tidak akan
sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)
Namun yang terpenting dari ibadah kurban
adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.” (Syarhul Mumthi’,
7:287). Sementara itu, sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini
sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak diketahui adanya tuntunan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat bahwa mereka berkurban secara
khusus atas nama orang yang telah meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa anak
laki-laki dan perempuan, para istri, dan kerabat dekat yang ia cintai, yang
meninggal dunia mendahuluinya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah berkurban secara khusus atas nama salah satu diantara mereka. Nabi tidak
pernah berkurban atas nama pamannya Hamzah, istrinya Khadijah juga Zainab binti
Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radliallahu
‘anhum. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan
tetapi, seseorang hendaknya berkurban atas nama dirinya dan keluarganya.
(Syarhul Mumthi’, 7:287).
Meskipun demikian, Syekh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah tidaklah menganggap bentuk berkurban secara
khusus atas nama mayit sebagai perbuatan bid’ah. Syekh mengatakan, “Sebagian
ulama mengatakan, berkurban secara khusus atas nama mayit adalah bid’ah yang
terlarang. Namun vonis bid’ah di sini terlalu berat. Karena keadaan minimal
yang bisa kami katakan bahwa kurban atas nama orang yang sudah meninggal
termasuk sedekah. Dan terdapat dalil yang shahih tentang bolehnya bersedekah
atas nama mayit” (Syarhul Mumthi’, 7:287).
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar