Ada seorang wanita
berumah tangga sudah 30 tahun menceritakan kisahnya, dia dan suami sama-sama
bekerja, suami tidak pernah memberi uang, penghasilan suami ditabung untuk
jaga-jaga katanya. Wanita inilah yang menafkahi keluarga termasuk mencukupi
kebutuhan mertua, suami, dan anak-anak. Terkadang untuk mengatasi kekurangan, harus
pinjam sana-sini.
Diakhir ceritanya wanita
itu bertanya: “Dosakah suami yang tidak mau memberi nafkah? Apa yang harus saya
lakukan?”
Pertanyaan seperti ini
banyak dilontarkan, karena jauhnya kaum muslimin agamanya, khususnya para suami
yang tidak belajar syariat Islam seputar rumah tangganya. Padahal Syariat islam
telah menetapkan dasar yang kuat dalam membentuk keluarga yang penuh dengan cinta
dan kasih sayang serta kerjasama yang utuh antar pasangan suami istri dalam
merealisasikan hal itu. Di antaranya adalah nafkah istri.
Dalil yang Memerintahkan Suami untuk Memberi Nafkah
Allah Ta’ala berfirman :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Qs an-Nisaa`/4: 34)
Secara umum para ahli
fikih mewajibkan nafkah istri atas suami dan ini ada dasarnya dalam al-Qur`an,
Sunnah dan ijma’ serta dalil akal.
Dalil dari al-Qur`an,
firman Allah:
لِيُنفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ
ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. (QS.at-Thalaaq/65:7)
Menjelaskan ayat ini,
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata : “Ini sesuai
dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang
sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusahan,
sehingga dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.” [Tafsir Taisir Karimir Rahman,
surat ath Thalaq : 7).
Dalam ayat lain
disebutkan,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf”
(QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Suami punya kewajiban dengan
cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada istri, termasuk pula dalam hal
pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan
kebiasaan masyarakat. Nafkah tersebut tidak berlebih dan tidak pula kurang.
Hendaklah suami memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya,
serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
2: 375).
Sedangkan dalam
hadits-hadits nabi shalallallahu ‘alaihi wa di antaranya:
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا
تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ
عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah
kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya
telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika
mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al
Qusyairi radhiyallahu
‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri,
lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا
اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ
تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya
(dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dan hadits yang
disampaikan Abu Umamah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ
الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلَا تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai anak Adam!
Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu
daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu
tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah memberi
nafkah kepada orang yang menjadi tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih
baik, daripada tangan yang di bawah.”(HR. Muslim)
Al Hafizh Ibnul Hajar Al
Asqalani berkata, ”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib
atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan
bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak
akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan
diberikan bagi orang yang bersedekah.”
Oleh karena itu,
syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga
termasuk sedekah. Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain
keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga
mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka
keluarkan dari sedekah yang sunnat.” (Fathul Bari, 9/498)
Demikian juga dinukilkan
ijma’ para ulama tentang kewajiban suami menafkahi istrinya apabila sudah
baligh kecuali wanita itu berbuat durhaka (nuzyuz), tidak mau taat atau
memenjarakan suaminya dengan tuduhannya. (Lihat al-Isyraaf ‘Ala Madzahib Ahli
Ilmi 1/119), Bidayat al-Mujtahid 2/86 dan al-Mughni 8/156).
Adapun secara akal sudah
sepantasnya istri berhak mendapatkan nafkah dari harta suaminya dari dua sisi:
1. Suami
adalah pemimpin atas istrinya. Hak ini ada sebagai kompensasi nafkah,
sebagaimana ditetapkan Allah Ta’ala dalam firmanNya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisaa: 34).
Pemimpin atas selainnya
adalah yang bertanggung jawab dalam urusannya.
2. Istri tertahan
manfaat dan jasanya pada suami dan terhalangi dari beraktifitas untuk suami
dalam menikmatinya, sehingga wajib baginya mendapatkan pemeliharaan dan nafkah,
sebagaimana pemerintah harus memberikan nafkah kepada prajuritnya karena diri
mereka tertahan untuk berjihad tidak bisa beraktifitas lainnya.
Dengan demikian jelaslah
kewajiban suami memberi nafkah kepada istri secara baik. Syeikh Shalih bin
Ghanim as Sadlaan berkata: “Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban
nafkah untuk isteri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya
(isteri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum). Jika suami tidak
memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta
suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf.
Dan sepantasnya bagi isteri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan.
Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam
kesusahan dan kemiskinan”. [lihat Fiqhuz Zawaj, hlm. 130]
Besaran Nafkah Suami pada Istri
Apakah ada besaran
tertentu yang ditetapkan oleh Islam untuk nafkah suami pada istrinya? Jika ada,
berapa besaran tersebut?
Kebutuhan primer yang
mesti dipenuhi oleh suami pada istri adalah (1) tempat tinggal, (2) kebutuhan
makan dan minum, (3) pakaian. Di samping itu ada hajat lainnya yang tak bisa
diabaikan seperti nafkah pada istri agar ia bisa menuntut ilmu, nafkah untuk
berobat, membeli mebel dan perabot rumah tangga, juga nafkah untuk pembantu dan
pengasuh anak.
Nafkah di atas tersebut
kembali pada kebiasaan yang ada di tengah masyarakat. Kadang pembantu memang begitu mendesak di sebagian
masyarakat atau di suatu keluarga. Karenanya menghadirkan pembantu kala itu dan
mengeluarkan nafkah untuk itu wajib bagi seorang suami. Ada juga di masyarakat,
pembantu bukanlah suatu yang dianggap penting karena istri sudah bisa menangani
seluruh pekerjaan rumah. Jika demikian, berarti menyediakan pembantu tidaklah
perlu.
Lalu besaran nafkah
bagaimana? Yang tepat dikembalikan pada kebiasaan masyarakat setempat, bisa
jadi nafkah untuk keluarga di kota berbeda dengan di desa.
Abul ‘Abbas Ibnu
Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar
sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah
suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan
tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda
sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.”
(Majmu’
Al Fatawa, 34: 83)
Jika Suami Tak Memberi Nafkah
Dari Aisyah,
sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia
tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku
mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Hanya Allah yang memberi
taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar