Ular termasuk binatang yang berbahaya, bahkan mematikan.
Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk
membunuhnya ketika kita ketemu ular dan memungkinkan untuk dibunuh.
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ
فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ : الْحَيَّةُ ، وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ ،
وَالْفَأْرَةُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ ، وَالْحُدَيَّا
”Lima binatang pengganggu yang boleh
dibunuh di tanah halal maupun tanah haram: Ular, gagak abqa’, tikus, anjing
galak, dan elang. (HR. Muslim 1198).
Makna Hadis:
Tanah halal: daerah di luar wilayah tanah haram
Tanah haram: daerah di Mekah atau Madinah yang memiliki
hukum khusus, diantaranya tidak boleh memburu binatang liar di sana.
Gagak Abqa’: Sejenis burung gagak yang bulu punggung dan
perutnya berwarna putih.
Kemudian dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa
beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas
mimbar,
اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ
”Bunuhlah ular-ular.”
Komentar Ibnu Umar,
فَلَبِثْتُ لَا أَتْرُكُ
حَيَّةً أَرَاهَا إِلَّا قَتَلْتُهَا
“Setiap kali saya ketemu ular, tidak
saya biarkan dan saya bunuh.” (HR. Bukhari 3299 dan Muslim 3233).
Kemudian, dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, beliau mengatakan,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ :
الْحَيَّةُ ، وَالْعَقْرَبُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam ketika shalat:
ular dan kala. (HR. Turmudzi 390 dengan derajat shahih).
Kita simak semua hadis di atas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh ular. Dan tentu saja,
perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perintah Allah. Karena
itu, mentaati beliau, sejatinya adalah mentaati Allah,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
”Siapa yang mentaati Rasul, berarti
dia mentaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80).
Jika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk membunuh
ular, bagaimana mungkin seorang muslim justru malah merawatnya. Karena itulah,
memahami hadis di atas, para ulama menegaskan haramnya memelihara binatang yang
disyariatkan untuk dibunuh.
Az-Zamakhsari – ulama Syafiiyah – (w. 794) mengatakan,
يَحْرُمُ عَلَى الْمُكَلَّفِ
اقْتِنَاءُ أُمُورٍ: مِنْهَا: الْكَلْبُ لِمَنْ لَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، وَكَذَلِكَ
” بَقِيَّةُ ” الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ، الْحَدَأَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ
وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْحَيَّةُ
Haram bagi mukallaf (orang yang mendapat beban syariat)
untuk memelihara beberapa binatang, diantaranya: anjing bagi yang tidak
membutuhkannya, demikian pula lima binatang pengganggu lainnya, seperti elang,
kala, tikus, gagak abqa’, dan ular. (al-Mantsur fi al-Qawaid, 3/80).
Demikian pula dinukil oleh Ibnu Hajar al-Haitami – ulama
syafiiyah – (w. 974 H.) dalam Tuhfah al-Muhtaj,
وَيَحْرُمُ حَبْسُ شَيْءٍ
مِنْ الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ عَلَى وَجْهِ الِاقْتِنَاءِ
“Diharamkan mengurung lima binatang pengganggu untuk
dirawat.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Minhaj, 9/377)
Dalam Hasyiyah al-Qalyubi dan Umairah – ulama madzhab
Syafii – dinyatakan,
ويحرم ما ندب قتله لأن الأمر
بقتله أسقط احترامه، ومنع اقتناءه..
“Binatang yang dianjurkan dibunuh, haram untuk
dipelihara. Karena adanya perintah untuk membunuhnya, menggugurkan
kemuliaannya, dan dilarang memeliharanya…” (Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah,
16/157).
Kemudian, Ibnu Qudamah – ulama hambali – (w. 620 H.)
menetapkan sebuah kaidah,
وما وجب قتله حرم اقتناؤه
”Binatang yang wajib dibunuh, haram untuk dipelihara.”
(al-Mughni, 9/373)
Hukum Memakan Dan Jual Beli Ular
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
bahwa ular adalah salah satu binatang yang disebut dengan binatang fasiq:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ
فِى الْحِلِّ وَالْحَرَمِ الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأَبْقَعُ وَالْفَارَةُ
وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا
“Lima binatang fasiq yang boleh
dibunuh baik sedang berada di tanah halal atau tanah haram, yaitu: ular, burung
gagak berwarna belang, anjing gila dan elang.” (Riwayat Muslim)
Para ulama’ diantaranya ialah imam An Nawawi telah
menjelaskan bahwa hikmah dijulukinya sebagian binatang fasiq adalah dikarenakan
binatang-binatang tersebut menyelisihi keumumam binatang melata lainnya, dalam
hal kehalalan atau larangan membunuhnya, atau kebiasannya yang mengganggu
manusia.
Al Iraqi dalam kitabnya Tharhut Tatsrib menyatakan:
“Setiap binatang yang diperintahkan agar dibunuh adalah haram hukumnya. Yang
demikian itu karena perintah membunuhnya berarti penegasan bahwa binatang itu
tidak dihargai dan sekaligus sebagai larangan untuk memeliharanya. Andai
binatang itu halal dimakan, niscaya boleh untuk dipiara dan dibudidayakan dan
selanjutnya dimakan.”
Kesimpulan Al Iraqi ini selaras dengan firman Allah
Ta’ala berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن
تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (Qs. Al Maidah: 3)
Dan juga firman Allah Ta’ala berikut:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا
لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu mamakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Qs. Al An’am: 121)
Dan juga firman Allah Ta’ala berikut:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا
أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –
karena sesungguhnya semua itu kotor – atau kefasikan (binatang) disembelih atas
nama selain Allah.” (Qs. Al An’am: 145)
Pada ketiga ayat di atas, Allah menamakan barang atau
perbuatan haram dengan sebutan fasiq. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
sebutan fasiq identik dengan keharaman.
Bila penjelasan ini telah dapat diterima, maka dapat
disimpulkan bahwa memperjual-belikan ular, memakannya, dan yang serupa tidak
dibenarkan alias haram. Yang demikian itu dikarenakan setiap yang haram
diperjual-belikan, pasti haram untuk dimakan dan demikian juga sebaliknya.
إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ
عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ. رواه أحمد وأبو داود وابن
حبان وصححه ابن حبان
“Sesungguhnya bila Allah telah
mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula
atas mereka hasil penjualannya.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai
hadits shohih oleh Ibnu Hibban)
Bahkan Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Para ulama’ umat Islam
telah menyepakati bahwa barang-barang yang menjijikkan, ular dan kalajengking
adalah haram untuk dimakan. Dengan demikian barang siapa yang terlanjur
memakannya dengan anggapan bahwa itu adalah halal, maka wajib dimintai agar
bertobat. Bila ia bertobat maka itulah harapannya, dan bila ia tidak bertobat
maka harus dihukum mati. Sedangkan bila ia tetap meyakini keharamannya, maka ia
adalah orang fasik yang telah berbuat kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’
Fatawa Ibnu taimiyyah 11/609-610)
Pertanyaan 1: Kalau dibikin obat gimana?
Sebelum saya menjawab hukum menggunakan ular sebagai
bahan pengobatan, maka ada hal lain yang sepantasnya anda camkan baik-baik.
Dengan memahami permasalahan ini, saya harapkan anda dapat memahami hikmah berbagai
syari’at Islam, agama yang anda cintai ini.
Saudaraku, dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, anda
dituntut untuk dapat selalu mengklasifikasi berbagai urusan anda berdasarkan
kemanfaatannya. Dan kemudian berdasarkan klasifikasi tersebut, anda bersikap.
Bila hal ini gagal anda lakukan dengan baik, nisaya anda akan terjerumus dalam
perbuatan sia-sia atau bahkan kebinasaan.
Bila anda memikirkan dengan jernih segala urusan anda,
maka secara teori anda dapat mengklasifikasikannya ke dalam enam kelompok
besar.
Pertama: Suatu hal yang baik seratus persen dan padanya tidak ada
keburukan sedikitpun dari segala sisi pandang dan pertimbangan. Bila anda
mencari contoh nyata dari bagian pertama ini, niscaya anda hanya menemukan satu
contoh nyata, yaitu Allah Ta’ala. Hanya Allah-lah yang bersifat baik dari
segala pertimbangan dan sisi pandang. Tiada kejelekan sedikitpun pada diri
Allah, sifat dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyatakan dalam salah satu doa iftitahnya:
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ في
يَدَيْكَ وَالشَّرُّ ليس إِلَيْكَ. رواه مسلم
“Dan seluruh kebaikan berada di
Kedua Tangan-Mu, sedangkan tiada kejelakan sedikitpun pada-Mu.” (Riwayat Muslim)
Segala kebaikan yang ada, baik di dunia dan akhirat
adalah cerminan dari kebaikan Allah Ta’ala. Kepadanya seluruh makhluk memohon
kebaikan dan kerahmatan. Darinyalah seluruh kabiakan berasal dan hanya
kepada-Nyalah seluruh kebaikan akan kembali.
Kedua: Suatu hal yang buruk seratus persen, tanpa terdapat
kebaikan sedikitpun padanya, dari segala pertimbangan dan sisi pandang. Bila
anda berusaha mencari contoh nyata dari bagian kedua ini, niscaya tidak akan
pernah berhasil. Mungkin ada yang berkata: bukankah Iblis adalah sumber dan
penggagas segala kejelekan? Maka anda perlu ingat bahwa keberadaan iblis di
dunia ini mendatangkan berbagai hikmah dan manfaat yang sangat besar.
Diantaranya adalah adanya jihad, terbuktinya kebenaran dari kebatilan, dan
terbuktinya berbagai sifat Allah Ta’ala, misalnya sifat Pengampun, Maha pedih
siksa-Nya dan masih banyak hikmah di balik penciptaan Iblis.
Mungkin juga anda akan berkata: neraka adalah contohnya.
Akan tetapi bila kembali merenungkannya dengan seksama, niscaya anda akan
mengetahui bahwa pada neraka terdapat banyak kebaikan, misalnya: neraka sebagai
pembalasan atas orang-orang yang berbuat jahat, menjadi motivator orang-orang
mukmin untuk beramal kebajikan, dan juga sebagai bagian dari perwujud nyata
sifat Allah Yang Maha pedih siksa-Nya.
Kehidupan dunia dan juga akhirat adalah ciptaan Allah
Ta’ala, dan urusan yang buruk tanpa ada kebaikannya sama sekali dari segala
sisi pandang merupakan hal yang sia-sia. Dengan demikian, tidak mungkin hal itu
terwujud di dunia ini, terlebih-lebih di akhirat. Yang demikian itu karena
Allah Ta’ala menciptakan dunia beserta isinya, sarat dengan hikmah:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ بِالْحَقِّ
“Dan Dia-lah Yang menciptakan langit
dan bumi dengan benar.” (Qs. Al An’aam: 73)
Ketiga: Suatu hal yang padanya tidak ada kebaikan dan juga tidak
ada kejelekan sedikitpun. Bila anda berusaha mencari contoh konkrit dari bagian
ini, niscaya anda tidak akan pernah mendapatkannya. Karena sesuatu yang tidak
mengandung kebaikan dan juga tidak mengandung kejelekan adalah sia-sia.
Sedangkan Allah Ta’ala tidaklah menciptakan sesuatu dengan sia-sia.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاء
وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لاعِبِينَ
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit
dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Qs. Al Anbiya’: 16)
Keempat: Suatu hal yang padanya tercampur kebaikan dan kejelekan,
akan tetapi kebaikannya lebih banyak dibanding kejelekannya.
Contoh konkrit dari bagian ini sangatlah banyak dan mudah bagi anda untuk menemukannya. Misalnya perniagaan yang anda geluti, padanya terdapat keuntungan dan kerugian, lelah, dan pengorbanan.
Kelima: Suatu hal yang padanya tercampur kebaikan dan kejelekan,
akan tetapi kejelekannya lebih banyak dibanding kebaikannya. Bagian ini dapat
dicontohkan dengan minuman khamer, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan pada ayat
berikut:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamer dan perjudian. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, sedangkan dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.” (Qs. Al
Baqarah: 219)
Dan berbagai kemaksiatan di dunia ini adalah contoh nyata
darinya. Betapa tidak, kemaksiatan yang ada biasanya selaras dengan hawa nafsu
dan kepuasan jiwa manusia, akan tetapi di balik kepuasan dan kenikmatan
tersebut terdapat kesengsaraan dan penderitaan yang lebih besar. Dimulai dari
kesengsaraan dunia hingga akhirat.
Keenam: Suatu hal yang padanya tercampur kebaikan dengan
kejelekan, sedangkan kadar kebaikannya seimbang dengan kejelekannya. Bila anda
berusaha mencari contoh konkrit dari bagian ini, niscaya anda tidak akan pernah
menemukannya, bagian ini hanya ada pada persepsi manusia semata. Keterbatasan
ilmu kitalah, yang menjadikan kita tidak mampu memilah antara kebaikan dan
kejelekan suatu urusan, sehingga sekilas terkesan sama. Padahal bila dipikirkan
dan diteliti lebih lanjut, niscaya akan terbukti manakah yang lebih dominan dari
keduanya. (Baca Syifaa’ul ‘Alil karya Ibnul Qayyim 183 dst.)
Bila kita telah mengklasifikasi setiap urusan kita
demikian ini halnya, niscaya kita tidak mudah terkecoh dengan kemanfaatan suatu
barang tanpa membandingkannya dengan kemadharatan yang ada padanya. Dengan
klasifikasi demikian ini, kita dapat menentukan sikap yang benar dalam segala
urusan kita. Sebagaimana dengan klasifikasi ini, kita tidak akan terkejut lalu
salah tingkah bila di kemudian hari menemukan secuil kebaikan pada hal-hal yang
diharamkan Allah Ta’ala.
Saudaraku! Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala menurunkan
Syari’at Islam ini sepenuhnya demi kemasalahatan anda. Tidak ada sedikitpun
dari Syari’at Islam yang mengakibatkan kesengsaraan bagi anda. Karenanya
tidaklah ada kebutuhan atau kepentingan yang anda butuhkan, melainkan pada
hal-hal yang dihalalkan dan disyari’atkan Allah telah terdapat jawaban yang
memuaskan anda. Hanya saja yang menjadi kendala ialah: sejauh manakah
penguasaan anda terhadap syari’at agama anda? Jangan-jangan anda bersikap salah
akibat dari: tak kenal maka tak sayang.
Pemaparan singkat ini menjadi dasar bagi saya untuk
menjawab pertanyaan pertama anda ini.
Ketahuilah bahwa setiap penyakit yang ada di dunia dan
menimpa manusia, Allah menurunkan penawarnya, hanya kebodohan kitalah yang
menjadi penyebab belum ditemukannya penawar tersebut.
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ
فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya, dan
bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh
dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR Muslim )
Pada hadits lain riwayat Ibnu Mas’ud radhiallallahu
‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما أَنْزَلَ الله دَاءً إلا
قد أَنْزَلَ له شِفَاءً عَلِمَهُ من عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ من جَهِلَهُ. رواه أحمد
والطبراني وصححه الحاكم
“Tidaklah Allah menurunkan suatu
penyakit, melainkan telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh
orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak
mengetahuinya.” (Riwayat Ahmad, At Thobrany dan dishohihkan oleh Al Hakim)
Berdasarkan dalil-dalil di atas, dan juga lainnya,
sahabat Abdullah bin Mas’ud merangkumkan hukum Islam tentang pengobatan dengan
berkata:
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ
شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak pernah meletakkan
kesembuhan/pengobatan kalian pada hal-hal yang telah Ia haramkan.” (HR
Bukhari)
Bila demikian adanya, maka tidak dibenarkan bagi anda
untuk berobat dengan hal-hal yang diharamkan termasuk ular. Karena sebagai
seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir, anda pasti beriman
bahwa segala penyakit dan kesembuhan hanyalah Allah Yang menakdirkannya:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ
يَشْفِينِ
“Dan bila aku sakit, maka hanya
Dia-lah yang menyembuhkanku.” (Qs. As Syu’ara’: 80)
Disamping itu, ketahuilah saudaraku, bahwa sebenarnya
berbagai penyakit yang menimpa kita adalah akibat langsung dari ulah kita
sendiri.
Qotadah berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa tidaklah
ada seseorang yang tergores oleh ranting, atau tergelincir kakinya atau
terpelintir uratnya, melainkan akibat dari dosa yang ia perbuat. (Tafsir Ibnu
Jarir27/234, dan Tafsir Ibnu katsir 4/314.)
Kerenanya tidak pantas bila kita berusaha menyingkirkan
akibat dari dosa kita dengan dosa lainnya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa
Abul Bilaad merasa keheranan tatkala membaca firman Allah Ta’ala:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن
مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan musibah apapun yang menimpamu,
maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (Qs. As Syura: 30). Ia bertanya-tanya, bagaimana
penerapan ayat ini pada dirinya, yang telah menderita buta mata sejak ia dilahirkan.
Karena rasa herannya inilah ia bertanya kepada Al ‘Ala’ bin Bader: “Bagaimana
penafsiran firman Allah Ta’ala: “Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu
adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri,” padahal aku ditimpa
kebutaan sejak aku masih bayi? Maka Al ‘Ala’ menjawab: “Itu adalah akibat
dari dosa kedua orang tuamu.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim 10/3279 & Tafsir
Al Baghowi 7/355.)
Jelaslah bahwa ular atau lainnya tidak sepatutnya menjadi
alternatif dalam pengobatan anda.
Saudaraku! ilmu kedokteran yang ada di masyarakat kita
ini kebanyakannya datang dari orang-orang yang tidak memperdulikan hal dan
haram, maka tidak heran bila produk pengobatannyapun tidak mengindahkan
halal-haram. Oleh karena itu tidak sepantasnya anda yang beriman kepda Allah
dan hari akhir, untuk mudah terperdaya dengan propaganda mereka bahwa pada ular
terdapat khasiat demikian dan demikian.
Sudah saatnya keimanan anda berkobar untuk mengatakan
bahwa kesembuhan hanyalah milik Allah, maka saya tidak akan menggapai
kesembuhan Allah dengan melanggar kemurkaannya.
Bila anda janganlah anda tergiur dengan propaganda
sebagian orang yang berkata: telah terbukti banyak pasien yang menggunakan
pengobatan sari ular atau yang serupa, dan ternyata sembuh. Ada satu pengobatan
yang saya yakin belum sepenuhnya anda gunakan. Apakah itu? Pengobatan itulah
adalah doa di kegelapan sepertiga akhir malam. Angkatlah kedua tanganmu ke
langit, mohonlah kesembuhan dari Allah, dan temukan jawabannya.
Pertanyaan 2: Bila kita dalam posisi
dalam tidak menguntungkan dan hanya ada ular yang bisa kita makan bagaimana itu
hukumnya, apabila kita dalam keadaan yang serba susah, semisal perut lapar dan
tersesat di hutan?
Bila yang dimaksud dengan kesusahan adalah benar-benar
tidak ada makanan lain yang dapat dimakan, selain ular, dan bila tidak makan
maka akan celaka alias binasa, maka pada keadaan semacam ini dibolehkan memakan
barang haram, babi, bangkai, dan yang serupa.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Al Baqarah: 173)
Akan tetapi bila yang dimaksud adalah susah mencari
makanan yang lebih enak, maka tidak halal memakan barang haram, termasuk ular.
Bila anda di hutan belantara, maka anda dapat memakan buah-buahan yang anda
temui di sana, umbi-umbian atau dedaunan yang ada. Selama masih ada barang
halal yang dapat anda gunakan untuk mempertahankan hidup, maka anda tidak
dibenarkan untuk memakan barang haram.
Dan perlu diketahui bahwa dalam pengobatan penyakit,
tidak ada yang disebut dengan keadaan darurat, sebab terlalu banyak obat
alternatif yang halal. Terlebih-lebih tidak ada obat yang memberikan kesembuhan
pasti, berbagai obat hanyalah memberikan efek kesembuhan yang bersifat praduga.
Betapa banyak obat yang diyakini mampu mengobati suatu penyakit, akan tetapi
betapa banyak pasien yang tidak sembuh dengannya.
Pertanyaan 3: Syeikh Sayyid Sabiq juga
menyebutkan bahwa tidak boleh memperjual-belikan serangga, ular dan tikus
kecuali apabila dapat memberikan manfaat.
Ucapan syeikh Sayyid Sabiq di atas perlu dipahami dengan
baik, sebab pada persyaratan pertama barang yang halal dijual, beliau
menyebutkan bahwa barang yang boleh diperjual-belikan ialah barang yang suci.
Dengan demikian memperjual-belikan barang najis tidak dibenarkan. Perlu
diketahui bahwa bangkai ular, baik disembelih atau tidak adalah najis, karena
ular termasuk binatang yang haram dimakan, sehingga bangkainya pasti najis,
karena penyembelihan itu hanya berguna dan mensucikan binatang yang halal
dimakan. Oleh karena itu, anjing atau harimau atau kucing atau babi yang
disembelih tetap saja najis.
Terlebih-lebih telah jelas dalil yang menghalalkan untuk
membunuh ular. Ini sebagai bukti bahwa ular termasuk binatang yang tidak
dihargai alias tidak halal dimakan.
Saudaraku! anda mengetahui sepenuhnya bahwa keumuman
sahabat dan bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang-orang miskin, sering menghadapi kekurangan bahan makanan, akan tetapi
tidak pernah ada izin untuk memakan ular atau tikus atau yang serupa.
Pertanyaan 4: Pernah ana mendengar suatu
hadits bahwa suatu waktu pernah ada ular yang masuk ke kediaman Rosulullah shallallahu
alayhi wa alihi wasallam…, tetapi beliau mengusirnya.., bukan membunuhnya…,
apakah benar ada hadits tersebut…,? kalau itu hadits shohih… apakah seluruh
ular boleh di bunuh…, atau ada kriteria ular yang boleh di bunuh dan tidak
boleh di bunuh?
Perlu diingat bahwa hadits-hadits yang saya bawakan tentang
izin membunuh ular, tidak berarti serta merta semua ular harus dibunuh, apalagi
selanjutnya kita merasa berkewajiban untuk memburu seluruh ular dan
memunahkannya. Coba kembali dibaca hadits-hadits tersebut.
Yang diperintahkan untuk dibunuh, setiap kali kita
melihatnya ialah ular yang berwarna hitam, karena ular jenis ini senantiasa
menyerang manusia dan bisanya sangat berbahaya, dapat mematikan manusia.
اقتلوا الأسودين في الصلاة
الحية والعقرب
“Bunuhlah dua binatang berwarna
hitam walaupun engkau sedang mendirikan sholat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR Abu Dawud)
Adapun hadits yang saudara sebutkan, maka itu adalah
kasus khusus di madinah, dan memiliki alasan tersendiri:
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ
نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ قَدْ أَسْلَمُوا فَمَنْ رَأَى شَيْئًا مِنْ هَذِهِ
الْعَوَامِرِ فَلْيُؤْذِنْهُ ثَلاَثًا فَإِنْ بَدَا لَهُ بَعْدُ فَلْيَقْتُلْهُ
فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ. رواه مسلم
“Sesungguhnya di Madinah terdapat
beberapa orang jin yang telah masuk Islam, maka barang siapa dari kalian
menyaksikan seekor ular yang biasa berada/menghuni rumah, hendaknya ia
memberinya peringatan sebanyak tiga kali atau tiga hari, bila setelah diberi
peringatan tiga kali/hari, dan ia tidak jugaberanjak pergi, maka silahkan ia
membunuhnya, karena itu adalah setan.” (HR Muslim)
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara hadits yang
saudara sebutkan dengan apa yang saya sampaikan berupa dibolehkannya membunuh
ular.
Pertanyaan 5: Kalau dirasa manfaatnya
lebih banyak dari pada kemadharatanya “boleh” asalkan demi kemaslahatan dan
kebaikan seperti membuat serum dan pelestariaan binatang karena semua yg
dicipta Allah pasti demi keseimbangan alam yg lebih harmonis. Persoalan hadis
yg dipakai dalil utk pengharaman kita harus memahami konteks masyarakat pd saat
itu kemajuan budaya n ilmu pengetahuanya, dimana hadis tersebut muncul kata
rasul “antum a’lamu bi umuuri duunyakum”.
Apa yang saudara sebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia
kalian”, maka itu juga harus dipahami bahwa sebagaimana mestinya. Karena
hadits itu berkaitan dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan syari’at
atau yang hukumnya tidak dijelaskan dalam syari’at. Karena hadits itu
disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan metode
menggarap dan mengawinkan pohon kurma, sehingga hanya berlaku pada urusan yang
semakna dengannya, tidak untuk semua urusan dunia. Buktinya, saya yakin saudara
sepakat dengan saya bahwa urusan pernikahan, perniagaan, makanan dan lainnya
adalah urusan dunia, walau demikian didapatkan banyak dalil yang memberikan
batasan yang tidak boleh dilanggar.
Misalnya dalam hal pernikahan, lelaki wajib memberi
mahar, bukan sebaliknya, pernikahan harus atas persetujuan wali wanita, tidak
dibenarkan memperniagakan babi, khamer, dan juga tidak dibenarkan memakan
bangkai, daging manusia dan lainnya.
Masalah pelestarian alam, maka itu bukanlah kewajiban
anda. Asalkan anda mengindahkan syari’at Allah dalam segala aspek kehidupan
anda, niscaya alam semesta akan lestari. Terjadinya kerusakan di alam semesta
hanyalah akibat dari ulah manusia yang melanggar syari’at Allah, bukan dari
ulah orang-orang yang mengamalkan syari’at. Dengan demikian tidaklah ada
pelestarian alam yang sejati selain mengamalkan syari’at Allah dengan baik dan
benar.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ
الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan Allah).” (Qs. Ar Rum: 41)
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء
وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Andaikata penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan
dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al A’raf: 96)
Masalah konteks kehidupan masyarakat dahulu, hanyalah
dapat dijadikan dasar hukum dalam permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya
dengan adat istiadat. Adapun permasalahan yang tidak ada kaitannya dengan adat
istiadat, maka kita tidak disyariatkan untuk mempertimbangkan adat-istiadat,
baik yang berlaku pada zaman dahulu atau sekarang. Masalah aurat misalnya,
tidak ada bedanya antara aurat orang arab dahulu dengan sekarang, sehingga
walaupun saudara berada di Kuta Bali atau di Eropa, saudara harus menutup aurat
sebagaimana ketika saudara berada di tengah-tengah umat Islam. Khamer adalah
haram, dan tidak akan menjadi halal, walaupun saudara menetap di Rusia di musim
dingin, dan demikianlah seterusnya.
Bahkan bila saudara benar-benar memikirkan adat dan
konteks kehidupan zaman dahulu, niscaya saudara semakin yakin bahwa ular adalah
haram, karena dalam keadaan susah, kekurangan bahan makanan, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan sahabatnya untuk memakan ular.
Terlebih-lebih di zaman sekarang ini yang segala bentuk makanan halal dan baik
sangat banyak dan beraneka ragam.
Satu catatan yang semestinya ada pada benak setiap
muslim, adalah standar manfaat dan madharot. Manfaat bagi seorang muslim ialah
manfaat yang dibenarkan atau diperhitungkan dalam agama, demikian juga halnya
dengan madharat. Adapun manfaat yang tidak dibenarkan atau tidak dianggap maka
tidak ada pengaruhnya dalam menentukan hukum halal haram.
Saya yakin saudara mengetahui bahwa khamer banyak
memiliki manfaat, akan tetapi manfaat itu tidak dibenarkan untuk
dipertimbangkan.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamer dan perjudian. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, sedangkan dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.” (Qs. Al
Baqarah: 219)
Bahkan dalam hal perniagan, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menjelaskan hukum berbagai manfaat yang didapat pada
barang-barang haram:
عن جابر رضي الله عنه أنه
سمع النبي صلى الله عليه و سلم عام الفتح وهو بمكة يقول: إن الله عز وجل ورسوله،
حرما بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام. فقيل: يا رسول الله، أرأيت شحوم
الميتة، فإنه يطلى بها السفن، ويدهن بها الجلود، ويستصبح بها الناس؟ قال: لا، هو
حرام. ثم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم عند ذلك: قاتل الله اليهود، إن الله
حرم عليهم الشحوم، فأجملوه، ثم باعوه، فأكلوا ثمنه. خرجه البخاري ومسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu
bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
saat fathu Makkah (penakhlukan kota Makkah), di saat beliau masih berada di
kota Makkah, bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa jalla dan Rasul-Nya, telah
mengharamkan jual-beli khamer, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)”
Lalu dikatakan kepada beliau: “Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak
bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri)
kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?” Beliaupun menjawab: “Tidak,
hal itu (menjual lemak bangkai) adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi,
sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak
binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka
memakan hasil penjualan itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Para sahabat -semoga Allah meridhai mereka- mengajukan
pertanyaan: “Wahai Rasulullah! Apakah hukumnya menjual lemak bangkai,
karena sesungguhnya lemak bangkai digunakan untuk melumasi perahu, melumuri
kulit, dan digunakan oleh masyarakat sebagai bahan penerangan?”
Perahu yang terbuat dari kayu, biasanya dilumasi dengan
lemak, agar lemak tersebut mencegah air meresap ke dalam kayu, karena bila air
masuk ke dalam kayu, niscaya perahu akan menjadi berat. Dan digunakan untuk
melumuri kulit, dan ini jelas alasannya, yaitu agar kulit menjadi lunak. Lemak
juga dijadikan bahan penerangan, karena pada zaman dahulu masyarakat sering
menggunakan lemak sebagai bahan bakar lentera.
Menanggapi pertanyaan sahabatya ini Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda:
لا، هو حرام
“Tidak, hal itu adalah haram.”
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak,
hal itu haram,” berkaitan dengan hukum penjualan, karena inilah tema
hadits di atas, dan itulah yang sedang disabdakan: “Sesungguhnya Allah
mengharamkan jual-beli bangkai,” sehingga para sahabat merasa perlu untuk
meminta penjelasan lebih lanjut tentang kegunaan lemak bangkai, yang menurut
pertimbangan para pedagang tidak semestinya disia-siakan begitu saja. Sudah
seyogyanya kemanfaatan itu dikomersialkan. Akan tetapi pola pikir para pedagang
ini tidak disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, makanya
beliau bersabda: “Tidak, hal itu adalah haram.”
Pertanyaan 6: Mohon penjelasan: HARAMKAH?:
anggap aja ular HARAM, tp beberapa org muslim memuliakannya dengan memelihara
dan mengembangbiakannya sehingga menjadikan orang lain suka bahkan sayang, dan
bahkan lebih mengimankan kita karena kebesaran dan keindahan ciptaan-NYA dan
kemudian terjadi jual beli…
Saudaraku, anjing dan kucing yang jelas-jelas memiliki
kegunaan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu untuk
berburu, menjaga rumah, ladang, hewan ternak dan memburu serangga; tikus dan
yang serupa, tidak dibolehkan untuk diperjual-belikan, maka kegunaan ular yang
hanya sekedar untuk main-main atau koleksi, lebih layak untuk tidak
dipertimbangkan.
أن النبي صلى الله عليه و
سلم نهى عن بيع الهر
“Bahwasannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang penjualan kucing.” (Riwayat Muslim)
Pada hadits lain dinyatakan:
عن أبي الزبير قال سألت:
جابرا عن ثمن الكلب والسنور؟ قال: زجر النبي عن ذلك. رواه مسلم
“Abu Az Zubair, menuturkan: saya
pernah bertanya kepada sahabat Jabir tentang hasil penjualan anjing dan kucing?
Ia menjawab: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela hal itu.” (Riwayat Muslim)
Saudaraku! di zaman sekarang, banyak dari umat Islam yang
kebingungan mengisi waktunya dan membelanjakan hartanya. Daripada mengisi
waktunya untuk hal-hal yang berguna dalam urusan dunia dan akhiratnya, sholat,
membaca al Qur’an, menghadiri pengajian di masjid-masjid, dan berbakti sosial,
ia malah menghabiskan waktunya bersama anjing, kucing, ular atau binatang
serupa.
Daripada ia membelanjakan hartanya di jalan Allah,
membantu fakir miskin, yatim piatu, ia malah membelanjakan hartanya untuk
menghidupi ular, harimau, dan binatang lainnya yang tidak ada gunanya selain untuk
mencari sensasi, mengikuti tren masyarakat, dan menghambur-hamburkan harta
semata. Tidakkah kita sadar dan terketuk hati kita menyaksikan betapa banyak
dari saudara kita seiman dan seakidah yang kelaparan, mengemis, dan lebih
membutuhkan terhadap harta yang kita belanjakan untuk menghidupi
binatang-binatang tersebut?
Camkanlah baik-baik saudaraku, janganlah kita sebagai
orang yang berakal sehat dan beriman hanyut oleh arus tren masyarakat yang
kurang mencerminkan iman dan ketakwaan. Hendaknya kehidupan kita mencerminkan
iman dan katakwaan kita.
Pertanyaaan 7: Bagaimana dengan hasil
dari ular, misalnya tas yg atau sepatu apakah haram juga?
Para ulama’ berselisih tentang hukum kulit ular, harimau
dan hewan serupa, apakah menjadi suci bila disamak atau tetap najis. Imam As
Syafi’i menyatakan bahwa kulit binatang yang haram dimakan dagingnya tidak akan
pernah suci walaupun disamak. Berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berikut:
دِبَاغُ الأَدِيمِ
ذَكَاتُهُ. رواه أحمد والبيهقي وغيرهما
“Penyamakan kulit bermaknakan
penyembelihannya.” (Riwayat Ahmad, Al baihaqi dan lainnya)
Imam As Syafi’i menegaskan bahwa penyamakan hanyalah
berguna pada kulit bangkai binatang yang halal dimakan dagingnya. Adapun
binatang yang haram dimakan dagingnya maka tidak akan menjadi suci, walaupun
telah disamak. Karena pada hadits di atas, Nabi menyamakan kedudukan
“penyamakan” dengan penyembelihan. Padahal penyembelihan tidaklah menjadikan
binatang yang haram dimakan menjad suci, maka demikian juga halnya dengan penyamakan.
(Al Umm oleh As Syafi’i 1/72 & As Sunan Al Kubra oleh Al
Baihaqi 1/21)
Bila demikian adanya, maka tidak dibenarkan memperjual
belikan barang yang najis, sebagaimana dijelaskan oleh As Sayyid As Sabiq dalam
kitab fiqihnya pada persyaratan pertama barang-barang yang halal
diperjual-belikan. Silakan saudara baca kembali.
Pertanyaan 8: “Sesungguhnya bila Allah
telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan
pula atas mereka hasil penjualannya.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan
dinyatakan sebagai hadits shohih oleh Ibnu Hibban)
Sesunggunya merujuk pada pada dalil ini: Qs. Al
An’am: 145, dan Qs. Al Maidah: 3 (kedua dalil tersebut hanya meyebutkan daging
babi yang Allah haramkan), maka sangat lucu menetapkan dalil haram buat daging
binatang yg lain selain babi berdasarkan tingkat perasaan manusia. Halal Haram
hanyalah Allah yang menentukan bukan berdasar perasaan manusia.
Saudaraku, mohon dibaca ulang jawaban saya dengan baik.
Saya membawakan ayat-ayat yang anda sebutkan hanyalah untuk membuktikan
bahwa kata “fasik” identik dengan keharaman. Adapun masalah hukum ular sendiri,
saya telah bawakan dalil khusus tentangnya, yaitu yang menyebutkan bahwa ular
adalah salah satu binatang yang disebut dengan binatang fasik. Dan selanjutnya
saya bahas bahwa kata fasik dalam Al Qur’an dan As Sunnah pemahamannya berati
haram. Coba baca kembali dengan seksama niscaya jelas duduk permasalahannya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat
bagi saya dan juga pembaca, mohon maaf bila ada yang kurang berkenan dan bila
ada kesalahan maka itu adalah dari kejahilan dan bisikan setan, dan bila ada
kebenaran maka itu datangnya dari Allah Ta’ala. Wallahu a’alam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar