Penulis:
Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Apa yang sering
diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi
pendamping hidupnya? Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada
suami. Inilah keinginan yang banyak muncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat
disebut angan-angan, karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian.
Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur
akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan
hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah
tangganya.
Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti. Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.
Demikian
harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah
Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya.
Namun tentunya
apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud dengan baik
terkecuali bila wanita yang dipilihnya untuk menemani hidupnya adalah wanita
shalihah. Karena hanya wanita shalihah yang dapat menjadi teman hidup yang
sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong suaminya
untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya dalam diri wanita shalihah
tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur. Dia akan
berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang
kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.
Sebaliknya,
bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah wanita yang tidak terdidik dalam
agama (atau ia belajar agama namun tidak
mengamalkannya) dan tidak berpegang dengan agama, maka dia akan menjadi duri
dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami. Akibatnya rumah tangga
selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan. Istri seperti
inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara
mereka yang berkata: “Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua
haknya namun ia selalu menyakitiku.”
Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya….! Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.
Keutamaan
wanita shalihah
Abdullah bin
Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya
dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita
shalihah.” (HR. Muslim no. 1467) Perhiasan disini maknanya tempat untuk
bersenang-senang (Syarah Sunan An-Nasai oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah,
6/69)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu
‘anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ
الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ
وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku
beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu
istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya1, bila diperintah2 akan
mentaatinya3, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah
berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat
Muslim.”)
Keterangan hadits:
1. Karena keindahan dan kecantikannya
secara dzahir atau karena bagusnya akhlaknya secara batin atau karena dia
senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala (Ta‘liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah,
bab Afdhalun Nisa, 1/596, ‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
2. Dengan perkara syar‘i atau perkara
biasa (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
3. Mengerjakan apa yang diperintahkan
dan melayaninya (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
Berkata
Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan
harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi
kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik
dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena
ia akan selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia
tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah
dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu.
Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati
perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan
memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ
الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ
الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ،
وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara
termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal
yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang
nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang
jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan
tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu
Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar
ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً
مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
“Hendaklah
salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa
berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al
Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)
Cukuplah
kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk
mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu
dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang
punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Empat hal
tersebut merupakan faktor penyebab dipersuntingnya seorang wanita dan ini
merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah
manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut,
demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Namun dzahir hadits ini
menunjukkan boleh menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara
tersebut, akan tetapi memilih wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari,
9/164)
Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah berkata: “(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ),
maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab)
untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu
terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan
seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak
keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/
bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan
mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka,
baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka.” (Syarah
Shahih Muslim, 10/52)
Sifat-sifat
Istri Shalihah
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita (istri)
shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada
dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)
Dalam ayat yang
mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah taat kepada
Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf lagi memelihara dirinya
ketika suaminya tidak berada di sampingnya.
Perkara yang
ma‘ruf yaitu bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena
tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tugas seorang istri
adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena
itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang taat,” yakni taat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.”
Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang
bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta
suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)
Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya
sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا
مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ
ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai
Nabi menceraikan kalian, mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat,
mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun
gadis.” (At-Tahrim: 5)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala Maha Mengetahui bahwasanya Nabi-Nya tidak akan menceraikan
istri-istrinya (ummahatul mukminin), akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan kepada ummahatul mukminin tentang kekuasaan-Nya, bila sampai Nabi
menceraikan mereka, Dia akan menggantikan untuk beliau istri-istri yang lebih
baik daripada mereka dalam rangka menakuti-nakuti mereka. Ini merupakan
pengabaran tentang qudrah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ancaman untuk
menakut-nakuti , bukan berarti ada orang yang lebih baik daripadaristri-istri Nabi
shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an,
18/126) dan bukan berarti istri-istri beliau tidak baik bahkan mereka adalah
sebaik-baik wanita. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Permasalahan ini dibawa
kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian istri dalam ayat ini
merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan mereka di dunia Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkan beliau di akhirat dengan wanita-wanita yang
lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)
Dalam ayat yang
mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:
a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas
(kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan
perintah Rasul-Nya.
b. Mukminat: wanita-wanita yang
membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
c. Qanitat: wanita-wanita yang taat
d. Taibat: wanita-wanita yang selalu
bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang
ditetapkan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus
meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.
e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak
melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya
karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di
dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).
f.
Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil
Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ
فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ
أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila
seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya
dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam
surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani
rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)
Dari
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat
istri yang shalihah adalah sebagai berikut:
1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun.
2. Tunduk kepada perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak
melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan
segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Menjauhi segala perkara yang
dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.
4. Selalu kembali kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa
dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan
yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah,
dan lainnya.
5. Menaati suami dalam perkara kebaikan
bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan
hak-hak suami sebaik-baiknya.
6. Menjaga dirinya ketika suami tidak
berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh,
dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar.
Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.
Sifat istri
shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang
disebutkan setelahnya:
1. Penuh kasih sayang, selalu kembali
kepada suaminya dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ
بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ
عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ
زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku beritahukan kepada
kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh
kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika
suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan
suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah
Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada
suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang
semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami,
lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’
bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami
yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan
intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya
bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma)
pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri)
benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً
فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Jangan lagi kalian lakukan, karena
yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di
jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah
dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang
menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan
menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan
menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ
الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ
وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu
tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang
bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila
ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah
berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat
Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di
rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan
ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat)
dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang istri
berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali
dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari
no. 5195 dan Muslim no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan
kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata
aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang
bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab:
“Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya.
Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara
mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak
berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu
kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ
تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak
bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam
Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami
untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak
menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ
إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu
si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga
sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim
no.1436)
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang istri bermalam
dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat
melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan
sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar