Ketika disebut kata
wali, yang terbayang di benak sebagian besar kaum muslimin adalah orang yang
memiliki banyak karamah, mulai kemampuan bisa terbang, berjalan di atas air,
jum’atan di Masjidil Haram sementara orangnya di indonesia, shalat di atas
pelepah pisang, bisa mengobati orang sakit, memahami berbagai bahasa di seluruh
dunia, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum diberi tahu) dan seambreg
anggapan-anggapan sakti lainnya. Atau bisa dsimpulkan, mereka menganggap wali
itu sama dengan orang sakti.
Tidak heran, jika ada di
antara kiyai fasiq yang berlumuran dengan dosa dan maksiat, namun mereka
menyebutnya sebagai wali, karena dia memiliki kesaktian. Bahkan
ada juga yang disebut sebagai wali, padahal sering meninggalkan shalat wajib.
Ketika ditanyakan, dia menjawab : “Kami kan sudah sampai tingkat ma’rifat, jadi tidak apa-apa tidak
mengerjakannya. Sedangkan shalat itu bagi yang masih taraf syari’at.”
Sebaliknya, orang yang
taat dan ikhlas dalam beribadah, namun karena tidak memiliki kesaktian, status
kewaliannya diragukan.
Pemahaman ini,
menjadikan sebagain besar kaum muslimin tidak bisa membedakan siapakah wali
Allah dan siapakah yang bukan wali Allah (baca: wali setan). Karena bagi mereka
standar wali adalah karamah (baca: kesaktian). Tanpa memperhatikan dari mana
sumber karamah itu berasal. Akibatnya mereka mensikapi wali-wali Allah sebagai
musuh, sebagaimana sikap mereka terhadap setan. Sebaliknya wali-wali setan
disikapi sebagaimana orang shaleh layaknya wali Allah, karena dia punya banyak
kesaktian.
Pengertian Wali Allah
Secara bahasa kata
al-walii berasal dari kata dasar al-walaayah yang artinya cinta dan kedekatan.
Lawan kata dari kata al-walaayah adalah al-‘adaawah yang artinya permusuhan.
Orang yang taat kepada Allah disebut wali Allah, karena kedekatannya dengan
Allah melalui ibadah yang dia lakukan dan ketundukannya untuk berusaha
mengikuti semua aturan Sang Pencipta.
Allah ta’ala telah
menjalaskan batasan, siapakah wali Allah yang sesungguhnya. Dalam al Qur’an
surat Yunus ayat 62-63, Allah telah menjelaskan definisi wali Allah,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ
اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا
وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa.”
Berdasarkan kriteria
yang disebutkan dalam ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan
sebuah kaidah:
والمؤمنون كلهم أولياء
الرحمن، وأكرمهم عند الله أطوعهم وأتبعهم للقرآن
“Setiap mukmin adalah
wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling
taat dan paling mengikuti Al Qur’an. (Aqidah Thahawiyah).
ketika menafsirkan ayat
ini, Ibn Katsir mengatakan:
يخبر تعالى أن أولياءه هم
الذين آمنوا وكانوا يتقون، كما فسرهم ربهم، فكل من كان تقيا كان لله وليا
“Allah mengabarkan bahwa
wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang
Allah jelaskan. Sehingga setiap orang yang bertaqwa maka dia adalah wali
Allah.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/278).
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah juga
menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin no.96, bahwa wali Allah adalah
orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati
mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih
pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan
seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka
mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan
kebaikan lahir dengan ketaqwaan, merekalah wali Allah.
Berdasarkan definisi
yang disebutkan pada ayat di atas serta beberapa keterangan ulama, dapat
disimpulkan bahwa wali Allah adalah setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya
dan melaksanakan konsekwensi imannya dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.
Kedekatannya dengan Allah sebanding dengan kedaan iman yang ada pada dirinya.
Setiap mukmin,
berpeluang untuk bisa menjadi wali Allah. Selama dia berusaha berjuang untuk
menjadi mukmin yang taat, mengikuti ajaran Al-Quran dan sunah sebagaimana yang
didakwahkan para sahabat.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Furqon Baina Auliya’ir
Rohman wa Auliya’us Syaithon mengatakan,
“Bukan termasuk wali Alloh melainkan orang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti
secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya,
namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia
menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan.
Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah : “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.(QS. Ali Imron : 31)
Hasan Al Bashri berkata
: “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai
ujian bagi mereka”. Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut,
barangsiapa yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun
siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk wali Allah.
Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah,
tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.
Dari uraian di atas,
terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang
yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah
para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang
paling utama adalah ‘ulul
azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka sangat salah suatu
pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya
monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada
orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan
kewajiban syari’at yang dibebankan padanya.
Ingatlah, standar
seseorang termasuk wali Allah adalah bertakwa dan beriman. Jika ia malah
memiliki ilmu-ilmu aneh dan tidak pernah mengerjakan shalat sama sekali, ini bukan wali Allah tetapi wali setan.
Sekali lagi kami
tekankan bahwa ‘wali Allah’ sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesaktian,
karamah maupun kejadian-kejadian luar biasa lainnya.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar