Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada
wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut
terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut
terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab
keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak
ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ
الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk
musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” [HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no.
1667, dan Ahmad 4/347]
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah
ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh
para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih
pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita
hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada
fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan
‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada
qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus
menunaikan fidyah sekaligus qodho’.” [Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam
Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita
hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka
wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang
sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu
Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat
Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah
pendapat Ibnu Hazm. [Lihat Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As
Sayid Salim, 2/125-126]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama
yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih
berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص
للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما
كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر
فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى
والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua
renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan
memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini
tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang
artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun
hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta
jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi
makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al
Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18]
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ)
قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا
يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ
مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ
يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,” [QS. Al Baqarah: 184] beliau mengatakan,
“Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua
renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa,
namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin
sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan
menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan
anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan
(kepada orang miskin).” [HR. Abu Daud no.
2318]
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui
dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau
dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
Beliau mengatakan,
أنت
بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan
berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang
ditinggalkan.” [Diriwayatkan oleh
‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih]
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت
بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن
تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika
berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa
kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk
berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya
shahih]
{Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang
menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan
bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi
marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena
ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul
(sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu
mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
2/126-127)}
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ
اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ
الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa
dari wanita hamil dan menyusui.” [HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama
tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak
dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui
sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa
keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa
adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui.
Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan
menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika
mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak
merinci hal ini.” [Ahkamul Qur’an, 1/224]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat
yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi
wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja
(tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit.
Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari
lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap
seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk
berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya
kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka
dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup
baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk
setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang
lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa)
karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan
untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184) [Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225]
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan
ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم
من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ،
ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan
mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan,
Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al
Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.” [Jaami’ Ahkamin Nisa’, 5/223-224]
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang
hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh
Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
وقال
مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى
ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan
untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan
fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk
wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian
semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang
berpegang dengannya.” [Al Muhalla, Ibnu
Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub]
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن
أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء
أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama
–wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih
mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja.
Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita
hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini
karena hal tersebut begitu jelas.” [Lihat Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277]
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada
Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini
beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu
Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم
يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في
وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah
(memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban
(bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada
satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan
ulama) dalam hal ini.” [Al Muhalla, 6/264]
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa
sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun
hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat.
Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan
sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum,
niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam
perkataannya,
فمن
المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا
قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا
شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع
العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة
الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في
ذلك
.
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi
wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini
adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i
yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak
perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah
ini adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu
menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang
membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir.
Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi.” [Sumber:
http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423]
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas
berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184
belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan
menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui
yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang
dimaksud adalah,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan
ayat,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185). Surat Al Baqarah
ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa,
maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah
dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai
penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah
bin Al Akwa’ [Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa
‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”].
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan
menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas.
Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى
إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى
الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ
لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ
لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ
مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat
ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang
sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi
berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi
makan pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. [HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah
“Ayyamam Ma’duudaat …”]
[Demikianlah maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia
tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah
berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani,
8/180, Darul Ma’rifah, 1379.]
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau
menerangkan,
هَذَا
مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي
بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi
oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini
menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani,
8/180]
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan
bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa,
kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kritikan Lainnya Dari Sisi Riwayat
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas
radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa
fidyah.
عن
الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ،
وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau
berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka
berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para
perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan
tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari
‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana
diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah
dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat
kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu
‘Umar bahwa beliau juga mewajibkan qadha selain fidyah.
عن
ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن
تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan,
kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau
memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah.
Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia memerintahkan
jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra,
4/230)
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut
terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin
Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib
At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al
Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا
رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ
وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari
‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh
berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara
riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2
kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Abbas.
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk
semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas
menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah klaim sebagian
ulama bahwa fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar tentang wajib fidyah saja adalah
ijma’ sukuti.
Penutup
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh
masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka
kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah
karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat
ini. Ulama belakangan yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz rahimahumallah, juga merupakan pendapat Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Wal
Ifta.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih
mampu menunaikan qodho’ [*]. Dalam kondisi ini dia dianggap
seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia
tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena
setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka
kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada
kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan
cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya. Penjelasan ini
didukung oleh fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau ditanya, “Ada seorang wanita di
mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang
menyusui ketika itu. Apakah wajib baginya qodho’ ataukah dia menunaikan fidyah
(memberi makan bagi setiap hari yang ditinggalkan)? Karena memang ada yang
mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup
menunaikan fidyah saja. Kami mohon jawaban dalam masalah ini dengan disertai
dalil.”
[*] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu.
Jika sampai dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka
tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia mampum meskipun setelah dua atau
tiga tahun selama masih ada udzur.
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan bagi hamba-Nya puasa Ramadhan
dan puasa ini adalah bagian dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan bagi orang
yang memiliki udzur tidak berpuasa untuk mengqodho’nya ketika udzurnya tersebut
hilang. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan
hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodho’ puasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al
Baqarah: 185)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak
berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di
hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh,
kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka
seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodho’ puasa karena diqiyaskan dengan
orang sakit dan musafir. Sedangkan untuk haidh telah ada dalil tegas tentang
hal tersebut. Disebutkan dalam Bukhari Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya
beliau ditanya oleh seorang wanita, “Mengapa wanita hadih diharuskan mengqodho’
puasa dan tidak diharuskan mengqodho’ shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Dulu kami
mendapati haidh. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”
Inilah dalilnya.
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita
hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak
perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak
mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya
seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak
diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Pendapat ini adalah
pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu
hari yang ditinggalkan). Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala telah menjadikan fidyah sebagai pengganti puasa di awal-awal
diwajibkannya puasa, yaitu ketika manusia punya pilihan untuk menunaikan fidyah
(memberi makan) dan berpuasa. Kemudian setelah itu, mereka diperintahkan untuk
berpuasa saja. [Majmu’ Fatawa wa
Rosail Ibni ‘Utsaimin, 17/121-122]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut
membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika
wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau
keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa
dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa
dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada
kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.” [Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223]
Kami menghargai pendapat lainnya dalam masalah ini. Silahkan para pembaca
memilih pendapat yang dirasa paling kuat, namun tentu saja bukan sekedar ikuti
hawa nafsu, tetapi mengikuti manakah yang lebih dekat pada dalil. Pendapat yang
kami sampaikan dalam tulisan kali ini pun bukan memaksa.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar