Bulan Rojab
Memang benar, keutamaan bulan dalam
kalender hijriyah itu bertingkat-tingkat, begitu juga hari-harinya. Misalnya,
bulan Ramadhan lebih utama dari semua bulan, hari Jum’at lebih utama dari semua
hari, malam Lailatul Qadar lebih utama dari semua malam, dan sebagainya. Namun,
harus kita pahami bersama bahwa timbangan keutamaan tersebut hanyalah syari’at,
yakni al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits-hadits dha’if (lemah)
dan maudhu’ (palsu).
Di antara bulan Islam yang
ditetapkan kemuliaannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bulan Rajab. Namun
sungguh sangat disesalkan beredarnya riwayat-riwayat yang dha’if dan palsu
seputar bulan Rajab serta amalan-amalan khusus di bulan Rajab di tengah
masyarakat kita. Hal ini dijadikan senjata oleh para pecandu bid’ah
mempromosikan kebid’ahan-kebid’ahan ala jahiliyah di muka bumi ini.
Dari sinilah, terasa pentingnya
penjelasan secara ringkas tentang pembahasan seputar bulan Rajab dan
amalan-amalan manusia yang menodainya dengan riwayat-riwayat lemah dan palsu.
A.
Rajab, Definisi dan Keutamaannya
“Rajab” secara bahasa diambil dari
kata
« رَجَبَ الرَّجُلُ
رَجَبًا »
artinya: mengagungkan dan
memuliakan. Rajab adalah sebuah bulan. Dinamakan dengan “Rajab” dikarenakan mereka
dahulu sangat mengagungkannya pada masa jahiliyah, yaitu dengan tidak
menghalalkan perang di bulan tersebut. (Lisanul Arab 1/411, 422)
Tentang keutamaannya, Alloh telah
berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ
فَلاَتَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Alloh adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.
(QS. at-Taubah: 36)
Imam Thabari berkata, “Bulan itu ada
dua belas, empat di antaranya merupakan bulan haram (mulia), di mana
orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka
mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Hingga seandainya ada seseorang
bertemu dengan pembunuh bapaknya, dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu
adalah Rajab Mudhar, dan tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan
Muharram. Demikianlah dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah.” (Jami’ul
Bayan 10/124-125)
Imam Bukhari meriwayatkan
dalam Shahihnya 4662 dari Abu Bakrah a/ bahwasanya
Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ
الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaimana keadaannya tatkala Alloh menciptakan langit dan bumi, setahun ada
dua belas bulan di antaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan
yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar yang terletak antara
Jumada (akhir) dan Sya’ban.
Diantara dalil yang menunjukkan
bahwa bulan Rajab sangat diagungkan oleh manusia pada masa jahiliyah adalah
riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/345 dari Kharasyah bin Hurr, ia
berkata, “Saya melihat Umar memukul tangan-tangan manusia pada bulan Rajab agar
mereka meletakkan tangan mereka di piring, kemudian beliau (Umar) mengatakan,
‘Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan
oleh orang-orang jahiliyah.’”
B.
Riwayat Seputar Rajab
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata:
“Setiap hadits yang menyebutkan tentang puasa rojab, sholat sebagian malamnya,
semuanya adalah dusta”. (Al-Manarul Munif hlm.
92)
Al-Fairuz Abadi berkata: “Bab puasa Rojab dan keutamaannya tidak ada yang
shahih satu haditspun, bahkan telah datang hadits yang menunjukkan dibencinya
hal itu”. (Safaru Sa’adah hlm. 150)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan
hujjah seputar amalan khusus di bulan Rajab, baik puasa maupun shalat malam dan
sejenisnya. Dan dalam menegaskan hal ini, aku telah didahului oleh Imam Abu
Ismail al-Harawi al-Hafizh, kami meriwayatkan darinya dengan sanad shahih,
demikian pula kami meriwayatkan dari selainnya.” (Tabyin
‘Ajab bima Warada fi Rajab )
Al-Hafizh Ibnu Hajar juga berkata, “Hadits-hadits yang datang secara jelas
seputar keutamaan Rajab atau puasa di bulan Rajab terbagi menjadi dua; dha’if (lemah)
dan maudhu’ (palsu).”
Al-Hafizh telah mengumpulkan
hadits-hadits seputar Rajab, maka beliau mendapatkan sebelas hadits berderajat
dha’if dan dua puluh satu hadits berderajat maudhu’. Berikut ini kami nukilkan
sebagian hadits dha’if dan maudhu’ tersebut:
Berikut ini
beberapa hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab yang sudah tersebar di
tengah-tengah umat. Sengaja kami sebutkan agar kita semua mengetahui
hadits-hadits tersebut sehingga tidak menjadikannya sebagai sandaran dalam
beramal, apalagi menisbatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
-
Hadits 1
كَانَ النّبِي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قال : اللّهُمّ بَارِكْ
لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
“Adalah Nabi
ketika memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a:
اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ
وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
‘Allaahumma Baarik Lana Fii Rajabin Wa Sya’baana, Wa
Ballighna Ramadhaana (“Ya Allah, limpahkanlah
barakah pada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada
bulan Ramadhan.”) [hadits dha'if sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi
rahimahullah]
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad di
dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346), al-Bazzar di dalam Musnadnya
–sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar- (616), Ibn as-Sunny
di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658) ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam)
al-Awsath (3939) dan kitab ad-Du’a’ (911), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah
(VI:269), al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), kitab Fadhaa’il
al-Awqaat (14), al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih
(II:473), Ibn ‘Asaakir di dalam Tarikh-nya (XL:57); dari jalur Za’idah
bin Abu ar-Raqqad, dari Ziyad an-Numairy, dari Anas.
Kualitas sanad ini lemah :
Imam al-Bukhary dan an-Nasa’iy berkata,
“Hadits yang diriwayatkannya (Za’idah) Munkar.”
Abu Daud berkata, “Aku tidak mengetahui
khabarnya.”
Abu Hatim berkata, “Ia meriwayatkan dari
Ziyad an-Numairy, dari Anas hadits-hadits Marfu’ tetapi Munkar. Kami tidak tahu
apakah ia berasal dari dirinya atau dari Ziyad.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang
periwayat yang lemah.”
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, “Hadits yang
diriwayatkannya Munkar.”
[Lihat juga: at-Taarikh al-Kabiir
(III:433), al-Jarh (III:613), al-Majruuhiin (I:308), Miizaan
al-I’tidaal (II:65), at-Tahdzib (III:305), at-Taqriib (I:256)]
Sedangkan mengenai Ziyad bin ‘Abdullah an-Numairy:
Ibn Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya
dan dilemahkan oleh Abu Daud.”
Abu Hatim berkata, “Haditsnya ditulis
namun tidak dijadikan hujjah.”
Ibn Hibban menyinggungnya di dalam
kitabnya ats-Tsiqaat, ia berkata, “Sering salah.” Kemudian ia memuatnya di
dalam kitabnya ‘al-Majruuhiin’ seraya berkata, “Hadits yang diriwayatkannya
munkar. Ia meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak serupa dengan hadits yang
diriwayatkan para periwayat Tsiqaat (terpercaya). Tidak boleh berhujjah
dengannya.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang
periwayat yang lemah.”
[lihat: Taariikh Ibn Ma’in
(II:179), al-Jarh (III:536), al-Kaamil (III:1044), Miizaan
al-I’tidaal (II:65) dan at-Tahdzib (III:378)]
Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkan hadits ini dari Ziyad an-Numairy.
Ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam)
al-Awsath berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dari Rasulullah kecuali hanya
melalui sanad ini saja. Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkannya.”
Al-Baihaqy berkata, “an-Numairy
meriwayatkan sendirian hadits ini, lalu Za’idah bin Abi ar-Raqqad meriwayatkan
darinya pula.”
Al-Bukhari berkata, “Za’idah bin Abi
ar-Raqqad dari Ziyad an-Numairy, haditsnya munkar.”
Tidak hanya satu ulama tetapi banyak ulama yang menyiratkan kelemahan sanad ini, di antara mereka adalah: an-Nawawy di dalam kitab al-Adzkaar (547), Ibnu Rajab di dalam Latha’if al-Ma’arif (hal.143), al-Haitsamy di dalam Majma’ az-Zawaa’id (II:165), adz-Dzahaby di dalam Miizaan al-I’tidaal (II:65), Ibnu Hajar di dalam Tabyiin al-‘Ujab (38).
-
Hadits ke-2
فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُورِ كَفَضْلِ القُرآنِ عَلى سَائِرِ الكَلامِ،
وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبانَ عَلَى الشّهُورِ كَفَضْلِي عَلَى سَائِرِ اْلأَنْبِياءِ،
وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضانَ كَفَضلِ اللهِ عَلى سَائِرِ الْعِبَادِ.
“Keutamaan
bulan Rajab atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’an atas
seluruh perkataan, keutamaan bulan Sya’ban atas bulan-bulan yag lain adalah
seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan atas
bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh hamba.” [hadits maudhu']
Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini
palsu.”
Perawi dalam sanad hadis ini tsiqqah, selain as Saqathi.
Dialah penyakit dan orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis. (Tabyinul Ujbi,
hlm. 17)
Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no.
206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H).
- Hadits ke-3
إِنّ فِي الْجنَةِ نَهْرًا يُقالُ لَه رَجَبٌ أَشَدُّ
بَياضًا مِن اللّبَنِ وَأَحْلَى مِن الْعَسلِ، مَن صَامَ يَومًا مِن رَجَبٍ سَقاهُ
اللهُ تَعالَى مِنْ ذَلكَ النّهرِ.
“Sesungguhnya
di al-jannah (surga) itu ada sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih
putih daripada susu, dan rasanya lebih manis daripada madu, barangsiapa yang
berpuasa sehari pada bulan Rajab, Allah ta’ala akan memberi minum kepadanya
dari sungai tersebut.” [hadits maudhu']
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan
al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid
al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku
mendengar Anas bin Malik berkata, …”
Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy
meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab.
Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah
bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]
Ibnul Jauzi
mengatakan dalam al Ilal al Mutanahiyah, “Dalam sanadnya terdapat banyak perawi
yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk
dihukumi palsu. (al
Ilal al Mutanahiyah, 2/65)
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin
‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.”
Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no.
1898).
- Hadits ke-4
إنَّ فِي الْجنّةِ نَهْراً يُقالُ له رَجَبٌ مَاؤُهُ
الرّحِيقُ، مَنْ شَرِبَ مِنه شُربةً لَمْ يَظْمَأْ بَعدَها أبَداً، أَعَدّهُ اللهُ
لِصَوَّامِ رَجَبٍ.
“Sesungguhnya
di al-jannah itu terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya adalah
ar-rahiq (sejenis minuman yang paling lezat rasanya), yang barangsiapa minum
darinya seteguk saja, dia tidak akan merasakan haus selamanya. Sungai tersebut
Allah sediakan untuk orang yang sering berpuasa Rajab.” [hadits
bathil, serupa dengan maudhu']
- Hadits ke-5
رَجَبٌ شَهرُ اللهِ وَشَعبانُ شَهرِيْ وَرَمضانُ شَهرُ
أُمّتِي.
“Rajab adalah
bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.” [hadits
maudhu']
Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini
maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]
Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan
hadits itu ada lafazh:
لاَ تَغْفُلُوْا عَنْ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ
فَإِنَّهَا لَيْلَةٌ تُسَمِّيْهَا الْمَلاَئِكَةُ الرَّغَائِبَ…
“Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam
Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya
Raghaa-ib…”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’
Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini
diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah
menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah
menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid
ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh
Dha’if (no. 168-169)]
Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan
yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai
pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata:
“Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku
sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.”
[Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]
Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin
Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul
Asraar dituduh memalsukan hadits.”
Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits
palsu tentang shalat ar-Raghaa-ib.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879).
- Hadits ke-6
خِيَرَةُ اللهِ مِن الشُّهورِ شَهرُ رجبٍ، وَهُوَ شَهرُ
اللهِ، مَنْ عَظّمَ شَهرَ رَجب فَقَدْ عَظّم أمرَ اللهِ، وَمَن عَظّمَ أمرَ اللهِ
أَدْخَلَهُ جَنّاتِ النّعِيمِ وَأَوجَبَ لَه.
“Pilihan Allah
dari bulan-bulan yang ada adalah jatuh pada bulan Rajab, dia adalah bulan
Allah, barangsiapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka sungguh dia telah mengagungkan
perintah Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan perintah Allah, maka Allah
akan masukkan dia ke dalam surga yang penuh kenikmatan, dan itu pasti buat
dia.” [hadits maudhu']
- Hadits ke-7
مَنْ صَامَ ثلاثةَ أيّامٍ مِن شَهرٍ حَرامٍ كَتَبَ اللهُ عِبادةَ
تِسْعِمِائَةِ سَنَةٍ.
“Barangsiapa
yang berpuasa tiga hari pada bulan haram, Allah tulis baginya (pahala) ibadah
selama 900 tahun.” [hadits dha'if]
- Hadits ke-8
مَنْ صَلّى بَعدَ الْمَغربِ أَوّلَ لَيْلَةٍ مِن رجبٍ
عِشْرِينَ رَكْعَةً جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ بِلاَ نَجَاسَةٍ.
“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat setelah maghrib pada malam pertama bulan Rajab sebanyak
20 raka’at, maka dia akan melewati shirath dengan tanpa hisab.” [hadits
maudhu']
مَنْ صَلَّى الْمَغْرِبَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ
رَجَبٍ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدُ مَرَّةً، وَيُسَلِّمُ
فِيْهِنَّ عَشْرَ تَسْلِيْمَاتٍ، أَتَدْرُوْنَ مَا ثَوَابُهُ ؟ فَإِنَّ الرُّوْحَ
اْلأَمِيْنَ جِبْرِيْلُ عَلَّمَنِيْ ذَلِكَ. قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ
أَعْلَمُ: حَفِظَهُ اللَّهُ فِيْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ
وَأُجِيْرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَجَازَ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ بِغَيْرِ
حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ.
“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab,
kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah
dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya
Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang
lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga
dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath
seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”
Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan
rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).”
Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa-idul Majmu’ah
fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah
al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan
‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).
- Hadits ke-9
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةً مِن رجبٍ وصَامَ يوماً، أَطْعَمَهُ
الله مِن ثِمارِ الْجَنّةِ، وَكَساهُ مِن حُلَلِ الْجَنّة وسَقاهُ مِن الرّحِيقِ
الْمَخْتُومِ، إِلاّ مَنْ فَعَلَ ثَلاثاً : مَنْ قَتَلَ نَفْساً، أَوْ سَمِع
مُسْتَغِيثاً يَسْتَغِيْثُ بِلَيْلٍ أو نَهارٍ فَلَم يُغِثْهُ ، أَو شَكَا إِليه
أَخُوهُ حَاجَةً فَلَمْ يُفَرِّجْ عَنهُ.
“Barangsiapa
yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab dan berpuasa sehari di bulan
tersebut, maka Allah akan memberikan dia makanan dari buah-buahan al-jannah,
pakaian dari al-jannah, dan minuman dari ar-rahiqul makhtum, kecuali orang yang
melakukan tiga perbuatan: (1) orang yang membunuh satu jiwa, atau (2) mendengar
orang lain meminta minum, malam maupun siang tetapi dia tidak mau
memberikannya, atau (3) ada saudaranya yang mengeluhkan kepadanya suatu
kebutuhannya, namun dia tidak mau memberikan jalan keluar untuknya.” [hadits
maudhu']
Diriwayatkan dalam kitab Allaalaiy dari jalan Al Husain
bin `Ali Marfu`: Berkata pengarang kitab : Hadits ini Maudhu` (palsu).
- Hadits ke-10
خَمسُ لَيالٍ لاَ تُردُّ فِيهِنّ الدّعْوَةُ : أَوّلُ
لَيلةٍ مِن رَجَبٍ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِن شَعبانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعةِ،
وَليلةُ الْفِطْرِ، وَلَيلةُ النّحْرِ.
“Ada lima malam
yang jika sebuah doa dipanjatkan padanya, maka tidak akan tertolak: (1)
malam pertama bulan Rajab, (2) malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, (3) malam Jum’at,
(4) malam ‘idul fithri, (5) malam hari Nahr (malam 10 Dzulhijjah).” [hadits
maudhu']
- Hadits ke-11
أَكْثِرُوا مِن الاسْتِغْفارِ فِي شهرِ رَجَبٍ، فَإِنّ
لِلّهِ فِي كُلِّ سَاعةٍ مِنه عُتقاءَ مِن النّارِ، وَإِنّ لِلّهِ مَدَائِنَ لاَ
يَدخُلُها إِلاّ مَن صامَ رَجَب.
“Perbanyaklah istighfar
pada bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap waktu Allah memiliki
hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari neraka,dan seungguhnya Allah memiliki
kota-kota yang tidaklah ada yang bisa memasukinya kecuali orang yang berpuasa
Rajab.” [hadits bathil]
Dikatakan
dalam “Adz dzail” : Dalam sanadnya ada rawi namanya Al Ashbagh : Tidak bisa
dipercaya.
-
Hadits ke-12
مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ.
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya)
sama dengan berpuasa satu bulan.”
Keterangan: Hadits Ini (ضَعِيْفٌ جِدًّا) Sangat Lemah
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr
secara marfu’.
Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat
bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id
al-Majmu’ah (no. 290)]
Kata Imam an-Nasa-i: “Furaat bin as-Saa-ib Matrukul
hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits
meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk
rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.”
Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa-i (no.
512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul
Mizaan (IV/430).
Berkata Al Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al Amaaliy” :
sepakat diriwayatkan hadist ini dari jalan Al Furaat bin As Saaib- dia ini
lemah- Rusydiin bin Sa`ad, dan Al Hakim bin Marwaan, kedua perawi ini lemah
juga.
-
Hadits ke-13
Sesungguhnya Al Baihaqiy juga meriwayatkan hadits ini di kitabnya : “Syu`abul Iman” dari hadits Anas,
مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام
سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ
فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ
يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى
مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ.
“Barangsiapa
yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka dia akan mendapatkan pahala seperti
berpuasa selama setahun, barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari,
pintu-pintu jahannah akan tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa selama
delapan hari, maka delapan pintu al-jannah akan terbuka untuknya, barangsiapa
yang berpuasa selama sepuluh hari, maka tidaklah dia memohon sesuatu kepada
Allah kecuali pasti Allah beri, dan barangsiapa yang berpuasa selama 15 hari,
maka ada penyeru dari langit yang akan memanggil dia: sungguh dosa-dosamu yang
telah lalu telah terampuni.” [hadits maudhu']
Dalam sanad hadits ini juga ada perawi ; `Abdul Ghafuur
Abu As Shobaah Al Anshoriy, dia ini perawi yang ditinggalkan. Berkata Ibnu
Hibbaan : “Dia ini termasuk orang orang yang memalsukan hadits”.
-
Hadits ke-14
إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ
اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ
أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة
ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ
ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها
يَشَاءُ
…
“Sesungguhnya
bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari, Allah
tuliskan baginya puasa seribu tahun, barangsiapa berpuasa dua hari, Allah
tuliskan baginya puasa 2000 tahun, barangsiapa yang berpuasa tiga hari, Allah
tuliskan baginya puasa 3000 tahun, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab selama
tujuh hari, maka pintu-pintu jahannam tertutup darinya, barangsiapa yang
berpuasa delapan hari, pintu-pintu al-jannah yang delapan akan dibuka untuknya,
dia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki……” [hadits
maudhu']
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari `Ali secara Marfu`.
Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan
Haruun bin `Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.
- Hadits ke-15
حديث : رجب شهر
الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان,
ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم
سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه.
Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan
Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat
Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali
lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di
dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam
hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran
bagi orang berpuasa lima belas hari.
Hadits ini “Maudhu`” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada
yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh
pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga
diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan
sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.
-
Hadits ke-16
صَومُ أَوّلِ يَومٍ مِن رَجَبٍ كَفّارَةُ ثَلاثِ سِنِيْنَ ،
وَالثّانِي كَفّارةُ سَنَتَيْنِ ،والثّالِثُ كَفّارةُ سَنَة ثُمّ كُلّ يومٍ شهْراً.
“Berpuasa pada
hari pertama bulan Rajab sebagai kaffarah (penebus dosa) selama tiga tahun,
pada hari kedua sebagai kaffarah selama dua tahun, dan pada hari ketiga sebagai
kaffarah selama setahun, kemudian setiap harinya sebagai kaffarah selama
sebulan.” [hadits dha'if]
- Hadits ke-17
مَن صامَ يوماً مِن رَجَبٍ وصَلّى فِيهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
يَقْرَأُ فِي أوّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرّةٍ آيةَ الْكُرسِي، وَفِي الرّكْعةِ
الثّانِيَةِ قُل هُو الله أحَدٌ مِائَةَ مَرّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتّى يَرَى
مَقْعَدَهُ مِن الْجَنّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.
“Barangsiapa
yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, dan shalat empat rakaat yang pada rakaat
pertama membaca ayat kursi sebanyak seratus kali, kemudian pada rakaat kedua
membaca ‘qul huwallahu ahad’ seratus kali, maka tidaklah dia meninggal sampai
dia melihat tempat duduknya di al-jannah atau diperlihatkan kepadanya.” [hadits
maudhu']
Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya
majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi
matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124)]
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin
‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)]
- Hadits ke-18
مَن صامَ ثلاثةَ أيامٍ مِن رجب كَتَبَ اللهُ لَه صِيامَ
شَهْرٍ ، وَمن صامَ سَبعةَ أيّامٍ مِن رَجَبٍ أَغْلَقَ الله سَبعةَ أبوابٍ مِن
النّارِ ، وَمن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ مِن رجبٍ فَتَحَ الله لَه ثَمانِيَةَ أبوابٍ
مِن الْجَنّةِ، ومن صامَ نِصفَ رَجَبٍ كَتَبَ الله له رِضوانَه، وَمن كُتِب لَه
رِضْوانُه لَم يُعَذِّبْه، ومَن صامَ رجب كُلَّه حَاسَبَه الله حِساباً يَسِيراً.
“Barangsiapa
yang berpuasa tiga hari bulan Rajab, Allah akan menuliskan untuknya pahala
puasa selama sebulan, barangsiapa yang berpuasa tujuh hari bulan Rajab, Allah
akan tutup tujuh pintu neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari bulan
Rajab, Allah akan bukakan untuknya delapan pintu al-jannah, barangsiapa yang
berpuasa pada pertengahan bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan untuknya
keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang dituliskan baginya keridhaan-Nya, pasti
Allah tidak akan mengadzabnya, dan barangsiapa yang berpuasa Rajab satu bulan
penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” [hadits
maudhu']
Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa-idul Majmu’ah
fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani
berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah,
ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari
Anas secara marfu’.’”
Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat
lemah:
a- ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan
kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia
sering memalsukan hadits.”
Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam
an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan
Lisaanul Mizaan (IV/353).
b- Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits
(ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau
pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.”
Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul
I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142).
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan
Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu
hadits.” [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288)]
- Hadits ke-19
بُعِثْتُ نَبِياً فِي السّابِع وَالْعِشْرِينَ مِن رجبٍ،
فَمن صامَ ذلك اليومَ كانَ كَفّارَةُ سِتِّيْنَ شَهْراً.
“Aku diutus sebagai
nabi pada 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka itu sebagai
kaffarah (penebus dosa) selama 60 bulan.” [hadits
munkar]
- Hadits ke-20
أَنّ اللهَ أَمَرَ نُوحاً بِعَمَلِ السّفِينَةِ فِي رَجَبٍ
وَأَمَرَ الْمُؤمِنِيْنَ الّذِينَ مَعَهُ بِصِيامِهِ.
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membuat perahu pada bulan Rajab dan
memerintahkan kaum mukminin yang bersama beliau untuk berpuasa.” [hadits
maudhu']
- Hadits ke-21
مَن صامَ مِن كُلِّ شَهرٍ حَرامٍ : الْخَمِيس، والْجُمُعة،
والسّبْت كُتِبتْ لَه عِبَادَةُ سَبْعِمِائةِ سَنَة.
“Barangsiapa
yang berpuasa pada setiap bulan haram hari Kamis, Jum’at, dan Sabtu, maka akan
dituliskan baginya pahala ibadah selama 700 tahun.” [hadits
dha'if]
Beberapa hadits
yang disebutkan di atas merupakan sebagiannya saja dari sekian banyak hadits
lemah dan palsu terkait bulan Rajab.
Sebenarnya masih banyak lagi
hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa-ib dan puasa Rajab, akan
tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu.
C. Shalat
Ragha’ib
Shalat Ragha’ib adalah shalat yang
dilaksanakan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, tepatnya antara shalat
Maghrib dan Isya’ dengan didahului puasa hari Kamis, dikerjakan dengan dua
belas raka’at. Pada setiap raka’at membacasuratal-Fatihah sekali,suratal-Qadar
tiga kali dansuratal-Ikhlas dua belas kali … dan seterusnya.
Sifat shalat seperti di atas tadi
didukung oleh sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik a/ yang dibawakan
secara panjang oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin 1/203
dan beliau menamainya ‘shalat Rajab’ seraya berkata, “Ini adalah shalat yang
disunnahkan.”
Demikianlah perkataannya –semoga
Alloh mengampuninya–, padahal para pakar hadits telah bersepakat dalam satu
kata bahwa hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib adalah maudhu’. Di bawah ini,
penulis nukilkan sebagian komentar ulama ahli hadits tentangnya:
1. Imam Ibnul Jauzi berkata:
“Hadits shalat Ragha’ib adalah palsu, didustakan atas nama Rasulullah Shalallahu
alaihi wasalam. Para ulama mengatakan hadits ini dibuat-buat oleh seseorang
yang bernama Ibnu Juhaim. Dan saya mendengar syaikh (guru) kami Abdul Wahhab
al-Hafizh mengatakan, ‘Para perawinya majhul (tidak
dikenal), saya telah memeriksa seluruhnya dalam setiap kitab, namun saya tidak
mendapatkannya.’” (al-Maudhu’at 2/124-125)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat Ragha’ib adalah
bid’ah menurut kesepakatan para imam agama, tidak disunnahkan oleh Rasulullah Shalallahu
alaihi wasalam, tidak pula oleh seorang pun dari khalifahnya, serta tidak
dianggap baik oleh para ulama panutan, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad,
Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Auza’i, Laits, dan sebagainya. Adapun
hadits tentang shalat Ragha’ib tersebut adalah hadits dusta, menurut
kesepakatan para pakar hadits.” (Majmu’ Fatawa 23/134)
3. Imam Dzahabi berkata tatkala menceritakan biografi imam Ibnu
Shalah: “Beliau (Ibnu Shalah) tergelincir di dalam masalah shalat Ragha’ib,
beliau menguatkan dan mendukungnya padahal kebatilan hadits tersebut tidak
diragukan lagi.” (Siyar A’lam Nubala 23/142-143)
4. Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Demikian pula
hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib pada awal malam Jum’at bulan Rajab,
seluruhnya dusta, dibuat-buat atas nama Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam.”
(al-Manar Munif 167)
5. Al-Hafizh al-Iraqi berkata:
“Hadits maudhu’.” (Takhrij Ihya’ 1/203)
6. Al-Allamah asy-Syaukani
berkata: “Maudhu’, para perawinya majhul. Dan inilah shalat Ragha’ib yang
populer, para pakar telah bersepakat bahwa hadits tersebut maudhu’.
Kepalsuannya tidak diragukan lagi, hingga oleh seorang yang baru belajar ilmu
hadits sekalipun. Berkata al-Fairuz Abadi dalam al-Mukhtashar bahwa
hadits tersebut maudhu’ menurut kesepakatan, demikian pula dikatakan oleh
al-Maqdisi.” (Fawaidul Majmu’ah 47-48)
Apabila telah jelas derajat hadits Shalat Ragha’ib sebagaimana di atas,
maka mengerjakannya merupakan kebid’ahan dalam agama, yang harus diwaspadai
oleh setiap insan yang hendak meraih kebahagiaan. Untuk menguatkan kebid’ahan
shalat Ragha’ib ini, penulis nukilkan perkataan dua imam masyhur di kalangan
madzhab Syafi’i yaitu Imam Nawawi dan Imam Suyuthi –semoga Alloh merahmati
keduanya–:
1. Imam Nawawi berkata: “Shalat yang dikenal dengan shalat Ragha’ib
dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rajab serta
shalat malam Nisfu Sya’ban seratus raka’at, termasuk bid’ah mungkar dan jelek.
Janganlah tertipu dengan disebutnya kedua shalat tersebut dalam kitab Qutul
Qulub dan Ihya’ Ulumuddin (oleh
al-Ghazali) dan jangan tertipu pula oleh hadits yang termaktub pada kedua kitab
tersebut. Sebab, seluruhnya merupakan kebatilan.” (al-Majmu’
Syarh Muhadzdzab 3/549)
2. Imam Suyuthi berkata: “Ketahuilah –semoga Alloh merahmatimu–, mengagungkan
hari dan malam ini (Rajab) merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam,
yang bermula setelah 400 H. Memang ada riwayat yang mendukungnya, namun
haditsnya maudhu’ menurut kesepakatan para ulama. Riwayat
tersebut intinya tentang keutamaan puasa dan shalat pada bulan Rajab yang
dinamai dengan shalat Ragha’ib. Menurut pendapat para pakar, dilarang
mengkhususkan bulan ini (Rajab) dengan puasa dan shalat bid’ah (shalat
Ragha’ib) serta segala jenis pengagungan terhadap bulan ini seperti membuat
makanan, menampakkan perhiasan, dan sejenisnya. Supaya bulan ini tidak ada
bedanya seperti bulan-bulan lainnya.” (al-Amru bil Ittiba’ )
Kesimpulannya, riwayat
tentang shalat Ragha’ib adalah palsu, menurut kesepakatan ahli hadits. Oleh
karena itu, beribadah dengan hadits palsu merupakan kebid’ahan dalam agama,
apalagi shalat Ragha’ib ini baru dikenal mulai tahun 448 H.
D. Perayaan Isra’
Mi’raj
Setiap tanggal 27 Rajab, perayaan
Isra’ Mi’raj sudah merupakan sesuatu yang tak dapat terlupakan di masyarakat
kita sekarang. Bahkan, hari tersebut menjadi hari libur nasional. Oleh karena
itu, mari kita mempelajari masalah ini dari dua tinjauan: tinjauan sejarah dan
tinjauan syari’at untuk merayakannya.
1. Tinjauan
Sejarah Munculnya Perayaan Isra’ Mi’raj
Dalam tinjauan sejarah waktu
terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan
tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga kini. Al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalani memaparkan perselisihan tersebut dalam Fathul
Bari (7/203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!!Ada
yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal,
Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani … dan seterusnya.
Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari
az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi Shalallahu
alaihi wasalam hijrah ke kotaMadinah, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Adapun
pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan
Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya
hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27
Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam
Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu
tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya. (al-Bidayah
wan Nihayah )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Tidak ada dalil shahih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya,
seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus)
dan berbeda-beda.” (Zadul Ma’ad)
Bahkan Imam Abu Syamah menegaskan, “Sebagian tukang cerita menyebutkan
bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Hal
itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata.” (al-Ba’its
ala Inkar Bida’ wal Hawadits hal. 171)
Dari perkataan para ulama di atas, disimpulkan Isra’ Mi’raj merupakan malam
yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini
dengan mudah, saya katakan: “Adasebagian ibadah yang berkaitan erat dengan
waktu, kita tidak boleh melangkahinya, seperti shalat limawaktu. Sebagian
ibadah lainnya, Alloh menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kita
berlomba-lomba mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar. Dan ada sebagian waktu
yang mulia derajatnya di sisi Alloh namun tidak ada ibadah khusus (seperti
shalat dan puasa) untuknya. Oleh karena itu, Alloh menyembunyikan waktunya,
seperti malam Isra’ Mi’raj.”
2. Tinjauan
Syari’at
Ditinjau dari segi syari’at, jika
memang benar Isra’ Mi’raj terjadi pada 27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus
dijadikan sebagai malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang
Isra’ Mi’raj. Bagi seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan
ragu bahwa hal tersebut termasuk perkara bid’ah dalam Islam. Sebab, perayaan
tersebut tidaklah dikenal di masa sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia
mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha setiap
satu tahun, dan hari Jum’at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk
agama Islam secuil pun. (at-Tamassuk bis Sunnah
Nabawiyah )
Ibnu Hajj berkata, “Termasuk perkara
bid’ah yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab adalah….” Kemudian
beliau menyebutkan beberapa contoh bid’ah pada malam tersebut seperti
kumpul-kumpul di masjid, ikhtilath (campur-baur antara
laki-laki dan perempuan), menyalakan lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan,
perayaan malam Isra’ Mi’raj termasuk perayaan yang disandarkan kepada agama,
padahal bukan darinya.” (al-Bida’ al-Hauliyah hal.
275-276)
Ibnu Nuhas berkata, “Sesungguhnya
perayaan malam ini (Isra’ Mi’raj) merupakan kebidahan besar dalam agama yang
diada-adakan oleh saudara-saudara setan.” (Tanbihul Ghafilin 379-380)
Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i
menegaskan, “Pembacaan kisah Mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab merupakan
perkara bid’ah …. Dan kisah Mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas h/,
seluruhnya merupakan kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shahih, kecuali
beberapa huruf saja. Demikian pula kisah Ibnu Sulthan, seorang penghambur yang
tidak pernah shalat kecuali di bulan Rajab saja. Namun tatkala hendak meninggal
dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan. Sehingga saat Rasulullah Shalallahu
alaihi wasalam ditanya perihalnya, beliau menjawab, “Sesungguhnya dia telah
bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan Rajab.” Semua ini merupakan kedustaan
dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan dan melariskan riwayatnya, kecuali
untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan
kisah-kisah palsu seperti ini kepada khalayak.” (as-Sunan wal Mubtada’at hal.
127)
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Malam Isra’ Mi’raj tidak
diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh
riwayat tentangnya tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di
sisi Alloh-lah hikmah di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya,
tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan
perayaan. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan Nabi Shalallahu alaihi wasalam
dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan, pastilah Nabi Shalallahu alaihi
wasalam menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan maupun dengan
perbuatan….”
Kemudian beliau berkata, “Dengan
penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits di atas,
sudah cukup bagi para pencari kebenaran mengingkari bid’ah malam Isra’ Mi’raj
yang memang bukan dari Islam secuil pun …. Sungguh amat menyedihkan, bid’ah ini
meruyak di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini sebagian orang bahwa
perayaan tersebut merupakan agama. Kita berdo’a kepada Alloh Ta’ala agar
memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada mereka
berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas kebenaran.” (at-Tahdzir
minal Bida’ hal. 9)
E. Mengkhususkan
Puasa di Bulan Rajab
Termasuk perkara bid’ah di bulan
Rajab, mengkhususkan puasa bulan Rajab. Karena tidak ada hadits shahih yang
mendukungnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Adapun mengkhususkan puasa di bulan Rajab, seluruh haditsnya lemah
dan palsu. Ahli ilmu tidak menjadikannya sebagai sandaran sedikitpun.” (Majmu’
Fatawa 25/290)
Imam Suyuthi berkata, “Mengkhususkan
bulan Rajab dengan puasa, dibenci. Asy-Syafi’i berkata, ‘Aku membenci bila
seseorang menyempurnakan puasa sebulan penuh seperti puasa Ramadhan. Demikian
pula mengkhususkan suatu hari dari hari-hari lainnya….”
Dan Imam Abdullah al-Anshari
–seorang ulama Khurasan– tidak berpuasa bulan Rajab bahkan melarangnya seraya
berkata, “Tidak satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi
wasalam tentang keutamaan bulan Rajab dan puasa Rajab.”
Bila dikatakan, “Bukankah puasa
termasuk ibadah dan kebaikan?” Jawabnya: “Benar. Tapi ibadah harus berdasarkan
contoh dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. Apabila kita ketahui
haditsnya dusta, berarti tidak termasuk syari’at.”
Bulan Rajab diagung-agungkan oleh
Bani Mudhar di masa jahiliyah sebagaimana dikatakan Umar bin Khaththab a/.
Bahkan beliau memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab. Demikian pula
Ibnu Abbas h/ –yang berjuluk lautan ilmu umat– membenci puasa Rajab. Ibnu Umar
h/ pun apabila melihat manusia berpuasa Rajab, beliau membencinya seraya
berkata, “Berbukalah kalian, sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan
oleh ahli jahiliyah.” (al-Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah 2/346)
Imam Thurthusi mengatakan –setelah membawakan atsar-atsar di atas–,
“Atsar-atsar ini menunjukkan pengagungan manusia terhadap Rajab sekarang ini
merupakan sisa-sisa peninggalan zaman jahiliyah dahulu. Kesimpulannya, dibenci
berpuasa di bulan Rajab. Apabila seorang berpuasa dalam keadaan yang aman,
yaitu bila manusia telah mengetahui dan tidak menganggapnya wajib maupun
sunnah, maka hukumnya tidak mengapa.” (al-Hawadits
wal Bida’ hal. 141-142)
Kesimpulan perkataan para ulama di
atas, “Tidak boleh mengkhususkan puasa di bulan Rajab sebagai pengagungan
terhadapnya. Sedangkan apabila seseorang telah terbiasa (rutin) berpuasa sunnah
(puasa Dawud atau Senin-Kamis misalnya, baik di bulan Rajab maupun bukan) dan tidak
beranggapan sebagaimana anggapan salah masyarakat awam sekitarnya, maka
diperbolehkan.
Para Sahabat Melarang Mengkhususkan Rajab untuk Puasa
Memang
kebiasaan mengkhususkan puasa di bulan rajab telah ada di zaman Umar
radhiyallahu ‘anhu. Beberapa tabiin yang hidup di zaman Umar bahkan telah
melakukannnya. Dengan demikian, kita bisa mengacu bagaimana sikap sahabat
terhadap fenomena terkait kegiatan bulan rajab yang mereka jupai.
Berikut
beberapa riwayat yang menyebutkan reaksi mereka terhadap puasa rajab.
Riwayat
ini di ambil dari buku Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab,
yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa,
روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف
الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل
الجاهلية فلما كان الإسلام ترك
Diriwayatkan
dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan
beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya
di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang
dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”
Dalam
riwayat yang lain,
كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة
“Beliau
benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).” (Lathaif
Al-Ma’arif, 215).
Dalam
riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,
أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا
للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك
الكيزان
Beliau
melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan
untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa
rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan
ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu. (Riwayat
ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif
hlm. 215, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 25/291, dan Al-Hafidz ibn Hajar
dalam Tabyi Al-Ujb hlm. 35)
Ibnu
Rajab juga menyebutkan beberapa riwayat lain dari beberapa sahabat lainnya,
seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka membenci seseorang yang
melakukan puasa rajab sebulan penuh.
Sikap
mereka ini menunjukkan bahwa mereka memahami bulan rajab bukan bulan yang
dianjurkan untuk dijadikan waktu berpuasa secara khusus. Karena kebiasaan itu
sangat mungkin, tidak mereka alami di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
F. Sembelihan
Rajab
Termasuk adat jahiliyah dahulu,
menyembelih hewan di bulan Rajab sebagai pengagungan terhadapnya. Sebab, Rajab
merupakan awal bulan haram –menurut mereka– sebagaimana dikatakan Imam Tirmidzi
dalam Sunannya 4/96. Tatkala Islam datang, secara
tegas telah membatalkan acara sembelihan Rajab serta mengharamkannya
sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam.
Di antaranya hadits dari Abu Hurairah a/ bahwasanya Rasulullah Shalallahu
alaihi wasalam bersabda:
لاَ فَرَعَ وَلاَ
عَتِيْرَةَ
Tidak ada fara’ dan athirah. (HR.
Bukhari 5473, 5474 dan Muslim 1976)
Dalam riwayat lainnya dengan lafazh
“larangan”:
نَهَى رَسُوْلُ
اللهِ عَنِ الْفَرَعَ وَالْعَتِيْرَةِ
Rasulullah Shalallahu
alaihi wasalam melarang fara’ dan athirah. (HR.
Nasa’i 4220, Ahmad 2/409)
Dan riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya
2/229 dengan lafazh:
لاَ عَتِيْرَةَ
وَلاَ فَرَعَ فِي اْلإِسْلاَمِ
Tidak ada athirah dan fara’ dalam
Islam.
Berkata Abu Ubaid –ulama pakar
bahasa–, “Athirah adalah sembelihan yang biasa
dilakukan di masa jahiliyah pada bulan Rajab untuk taqarrub (mendekatkan
diri) kepada patung-patung mereka.” (Fathul Bari 8/598)
Abu Dawud berkata, “Fara’ adalah
unta yang disembelih orang-orang jahiliyah dipersembahkan bagi tuhan-tuhan,
kemudian mereka makan. Lalu kulitnya dilemparkan ke pohon. Adapun athirah adalah sembelihan
pada sepuluh hari pertama bulan Rajab.” (Aunul Ma’bud 7/341)
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar