Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan
anak. Secara alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di
muka bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber
kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak menjadi
tumpuan harapan.
Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah
rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga,
tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan
sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini
banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan
operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam
fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah
menurut tinjauan hukum Islam?
Sejarah Adopsi Dalam Islam
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau
pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya,
kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk
meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.
Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah,
maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang
terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal
sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu
pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun. (Taqribut-Tahzib)
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban
peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh
pihak “musuh”. Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi
barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah
binti Khuwailid Radhiyallahu ‘anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid
membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu ‘anha sebagai
hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan
Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana
mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima
tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan
kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang
dan tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu,
sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju
Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang
Quraisy: “Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia
mewarisiku, dan aku mewarisinya”.
Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan
Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak saat itu,
Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat
5. (Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. ‘Abdur-Rahmân Ra’fat
al-Bâsya, hlm. 217-220)
Hukum Adopsi Dalam Islam
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.
Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya
dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan
hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang
tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.
Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional
seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak
sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur.
Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ
أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ
وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ . ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ
“Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian
sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian
di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan
jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …” [al-Ahzab/33:4-5]
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dahulu, kami
tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu kecuali dengan panggilan
Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat ‘Panggillah anak-anak angkat tersebut
dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah”. (al-Ahzab/33
ayat 5.)” [HR al-Bukhari, no. 4782; Muslim, no. 2425; at-Tirmidzi, no. 3209
dan 3814, dll]
Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa
permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak
orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian
memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung
mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak
kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya
dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mau menerima ibadah
yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya.
Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain
kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا
ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ
“Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang
siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]
Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran
yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang
muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang
mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku
menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi
ketika menjelaskan hadits nomor 212.
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di
atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Seakan-akan dia berkata “saya diciptakan oleh Allah dari
air mani si A (baca: bapak angkat)”, padahal tidaklah demikian, karena ia
sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya). (al-Fath (12/67),
hadits no. 6768)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
من ادعى إلى غير أبيه أو
انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه
يوم القيامة صرفا ولا عدلا
“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain
bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya
laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah
tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah” [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]
Pengecualian Hukum
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja,
akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu” [al-Ahzab/33:5]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia
menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau
terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai
dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan,
apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan
persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa. (Al-Jâmi’ li
Ahkâmil-Qur’ân 14/109)
Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan
no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: “Kedua hadits ini tidak
memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan
nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti
al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling
dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela.
Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi
anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang
mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah” [al-Ahzâb/33 : 5]
Dan firman-Nya:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ
أَبْنَاءَكُمْ
Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian
sebagai anak-anak kandung kalian” [al-Ahzâb/33 : 4]
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada
bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang
mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab
bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya
sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah
al-Aswad, akan tetapi ‘Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni. (al-Fath 12/67).
Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat
yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya
pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.
(Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân 14/109).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah
mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أنا ابن عبد المطلب, أنا
النبي ولا كذب
“Aku adalah anak ‘Abdul-Muththalib, aku adalah seorang
nabi, dan itu bukan suatu kedustaan” [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78;
at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin
‘Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini
pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan
lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya. (Syarh Riyâdhish
Shâlihîn)
Perkara-Perkara Yang Dibatalkan
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan “anak”
secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi
orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan “anak-bapak”
antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya
hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri
anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara “haram” berdasarkan norma
masyarakat yang berlaku pada waktu itu.
Dalam masalah
ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy,
mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh
suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ
مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا
“Maka tatkala
Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti
Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini
isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah
menceraikan para isteri tersebut” [al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau
menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para
(mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna. (Al-Mishbahul-Munir,
hlm. 1092)
Secara lebih
tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat
tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang
artinya:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
…(Dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu… [an-Nisaa`/4 : 23].
Ibnu Katsir
menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal
ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para
isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah. (Al-Mishbahul-Munir, hlm.
284, dengan sedikit penyesuaian)
Al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para
isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini. (Al-Umm 6/69).
Demikian pula
disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak
ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. (Al-Mughni 9/518).
5.
Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena
istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau
ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi
bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap
(hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa
Ta’ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah
memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar
akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ
أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
“Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya
adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang
tuanya kesesatan dan kekafiran” [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu
pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi,
ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh
bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang
berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya,
ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu
saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir
Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap
Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar