Diantara shalat tathawu’ atau sholat sunnah adalah shalat
tasbih. Dan dalam hal ini, terdapat hadits marfu' (yang dirafa'kan kepada Nabi Shallallahu
'alaihi Wasallam) berkaitan dengan shalat Tasbih dan dihasankan oleh sebagian
Ahlul 'ilm, akan tetapi banyak diantara para ulama yang mendho'ifkan
(melemahkan) hadits tersebut dan menganggapnya tidak masyru'.
Dalam hal ini, al-Lajnah ad-Dâimah telah ditanyai
mengenai shalat Tasbih dan memberikan jawabannya sbb: "Shalat Tasbih
adalah bid'ah dan hadits yang berkaitan dengannya tidak tsabit (tidak dapat
dipertanggung jawabkan keshahihan sumbernya dari Nabi Shallallahu 'alaihi
Wasallam) bahkan (kualitasnya) adalah Munkar [hadits yang termasuk kategori
lemah yang diriwayatkan oleh orang yang dha'if (lemah) bertentangan dengan
riwayat orang yang dapat dipercayai (tsiqah)], dan sebagian Ahlul 'ilm
menyebutkan hadits tersebut dalam kategori hadits-hadits maudhu' (palsu).
[Lihat : Fatawa al-Lajnah ad-dâimah, jld. VIII, h. 163]
Syaikh Ibn 'Utsaimin berkata : "Shalat Tasbih tidak
masyru' karena haditsnya lemah. Imam Ahmad berkata: '(hadits tentang shalat
Tasbih) tidak shahih', bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: '(haditsnya)
adalah dusta'. (Syaikh Utsaimin melanjut-kan) :"Tidak seorang pun dari
para Imam (Aimmah) yang me-mustahabkannya, dan benarlah (Syaikhul Islam)
-rahimahullah- . Sesungguhnya orang yang merenungkan shalat tersebut niscaya
akan mendapatkan kejanggalan-kejanggalan
didalamnya baik dalam tata caranya, sifatnya atau pun perbuatannya
(prakteknya), ditambah lagi; bila benar ia (shalat Tasbih tsb) masyru' niscaya
termasuk hadits-hadits yang banyak diriwayatkan dan ditrans-formasikan lantaran
banyaknya keutamaan dan pahalanya.
Maka, tatkala (realitasnya) tidaklah demikian dan tak seorang
pun dari para Imam yang memustahabkannya, disini diketahui bahwa ia (hadits
yang berkaitan dengannya) bukanlah hadits yang shahih.Dan diantara aspek
kejanggalannya adalah (sebagaimana terdapat dalam teks hadits yang
meriwayat-kannya) : "(Dia mengerjakannya (shalat Tasbih) sekali dalam
sehari atau dalam seminggu atau dalam sebulan atau dalam setahun atau seumur
sekali).. Ini merupakan bukti bahwa ia (hadits tentang shalat ini) tidak shahih
(sebab) jikalau benar ia masyru' niscaya shalat tersebut dilakukan secara
kontinyu; tidak (dengan) memberikan pilihan kepada orang berupa pilihan yang
amat jauh dan berbelit-belit.
Maka berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya tidaklah
sepatutnya seseorang melakukannya. Wallahu a'lam. [ Fatawa Manaril Islam,
I/203]
Derajat Hadits Shalat Tasbih
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang sholat
tasbih :
1. Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا
عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ
أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ
ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ
وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ
وَعَلاَنِيَّتَهُ
عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ
وِسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ
الْقُرْاءَةِ فِيْ
أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ
رَاكِعٌ عَشَرًا ثُمَّ تَرْفَعُ
رَأْسَكَ مِنَ
الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا
ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ
فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ
وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ
تَفْعَلُ ذَلِكَ
فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ
شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَفِيْ عُمْرِكَ
مَرَّةً
"Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib : Wahai ‘Abbas,
wahai pamanku maukah saya berikan padamu?, maukah saya anugerahkan padamu?,
maukah saya berikan padamu?, saya akan tunjukkan suatu perbuatan yang
mengandung 10 keutamaan yang jika kamu melakukannya maka diampuni dosamu,
yaitu dari awalnya hingga akhirnya, yang lama maupun yang baru, yang tidak
disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi
maupun yang nampak. Semuanya 10 macam. Kamu sholat 4 raka’at setiap raka’at
kamu membaca Al-Fatihah dan satu surah. Jika telah selesai maka bacalah
Subhanallahi walhamdulillahi walaa ilaaha illallah wallahu akbar sebelum ruku’
sebanyak 15 kali, kemudian kamu ruku’ lalu bacalah kalimat itu di dalamnya
sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku’ baca lagi sebanyak 10 kali,
kemudian sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud baca lagi
sebanyak 10 kali, kemudian sujud lagi dan baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian
bangun dari sujud sebelum berdiri baca lagi sebanyak 10 kali, maka semuanya
sebanyak 75 kali setiap raka’at. Lakukan yang demikian itu dalam empat
raka’at. Lakukanlah setiap hari, kalau tidak mampu lakukan setiap pekan, kalau
tidak mampu setiap bulan, kalau tidak mampu setiap tahun dan jika tidak mampu
maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu".
Hadits ini mempunyai empat jalan :
Pertama :
Al-Hakam bin Aban dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththolib …
kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Dikeluarkan oleh : Abu Daud 2/29 no.1297 dan Ibnu Majah
2/158-159 no.1387 dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shohihnya 2/223-224 no.1216
dan Al-Hakim 1/627-628 no.1233-1234 Al-Baihaqy 3/51-52, Ath-Thobarany
11/194-195 no.11622 Ad-Daraquthny sebagaimana dalam Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/37
dan Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhuat 2/143-144 dan Al-Hasan bin ‘Ali Al-Ma’mari
dalam kitab Al-Yaum Wal Laila, Al-Khalily dalam Al-Irsyad 1/325 no.58 dan Ibnu
Syahin dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam kitab Al-Alai
Al-Mashnu’ah 2/39.
Seluruhnya dari jalan ‘Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam
Al-‘Abdi dari Abi Syu’aib Musa bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Qinbary dari Al-Hakam bin
Aban … dan seterusnya.
Berkata Az-Zarkasyi dalam Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/44 : “Telah
meriwayatkan dari Musa bin ‘Abdil ‘Aziz : Bisyr bin Al-Hakam serta anaknya
Abdurrahman, Ishaq bin Abi Israil, Zaid bin Mubarak Ash-Shon’any dan selain
mereka”. Dinukil dengan sedikit perubahan.
Riwayat Ishaq bin Abi Israil dikeluarkan oleh Al-Hakim
1/628 no.1234 dan Ibnu Syahin dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam
Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/39.
Komentar para ulama tentang Musa bin ‘Abdil ‘Aziz:
Berkata Ibnu Ma’in tentangnya : Laa Araa bihi ba’san
(dalam pandangan saya dia tidak apa-apa). Dan berkata An-Nasai : Laa ba’sa
bihi (tidak mengapa dengannya).
Ibnu Hibban menyebutkan di dalam Ats-Tsiqot dan
dia berkata : Rubbamaa akhto’ (kadang-kadang bersalah).
Berkata Ibnu Al-Madiny : Dho’if (lemah).
Dan berkata As-Sulaimany : Mungkarul hadits
(mungkar haditsnya). (Lihat At-Tahdzib At-Tahdzib.)
Imam Muslim bin Al-Hajjaj berkata : “Saya tidak melihat
sanad hadits yang lebih baik dari hadits ini”. Diriwayatkan oleh Al-Khalily
dalam Al-Irsyad 1/327 dan Al Baihaqy dan selain keduanya.
Yang nampak dari komentar para ulama di atas bahwasanya
hadits dia itu tidaklah turun dari derajat hasan. Wallahu A’lam. Maka karena
itulah kedudukan hadits ini adalah hasan.
Catatan Penting :
Ada riwayat dari jalan Muhammad bin Rafi’ dari Ibrahim
bin Al-Hakam bin Aban dia berkata :
“Menceritakan kepada saya ayahku dari ‘Ikrimah bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda … kemudian
dia menyebutkan haditsnya secara mursal (seorang tabi’in meriwayatkan langsung
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sedangkan ia tidak mendengar darinya).
Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam
shohihnya 2/224, Al-Hakim 1/628, Al-Baihaqy 3/53 dan dalam Syu’abul Iman 125
no.3080 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 4/156-157 no.1018.
Riwayat ini tidaklah membahayakan riwayat Musa bin ‘Abdil
‘Aziz karena komentar para ulama terhadap Ibrahim bin Hakam sangat keras dan
yang nampak bagi yang memperhatikan komentar para ulama tersebut bahwasanya dia
adalah dho’if, tidak dipakai sebagai pendukung. Terlebih lagi telah terdapat
riwayat-riwayat yang mungkar dalam riwayat bapaknya dari jalannya (Ibrahim bin
Al-Hakam).
Berangkat dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa
penyelisihan yang dilakukan oleh Ibrahim bin Al-Hakam yang meriwayatkan secara
mursal kemudian menyelisihi riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz yang meriwayatkan
secara maushul (bersambung) tidaklah berpengaruh. Bersamaan dengan itu Ibrahim
bin Al-Hakam telah guncang dalam riwayatnya karena kadang-kadang dia
meriwayatkan secara mursal sebagai-mana dalam riwayat Muhammad bin Rafi’ ini
dan kadang-kadang dia meriwayatkan-nya secara maushul sebagaimana dalam
riwayat Ishaq bin Rahaway dikeluarkan oleh Hakim 1/628 no.1235 dan Baihaqy
dalam Syu’abul Iman 125-126 no.3080.
Dan dari sini diketahui bahwasanya tidak perlu bagi Imam
Al-Baihaqy untuk berkata : “Yang benar adalah riwayat secara mursal” dalam
Syu’abul Iman 3/126, karena perselisihan riwayat yang berasal dari Ibrahim bin
Al-Hakam ini menunjukkan keguncangan dalam riwayatnya sehingga semakin jelas
menunjukkan lemahnya orang ini. Demikian kaidah para ulama menanggapi rawi yang
seperti ini, sebagai-mana yang tersebut dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy oleh Ibnu
Rajab dan yang lainnya. Wallahu A’lam.
Kedua :
Dari jalan ‘Abdul Quddus bin Habib dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepadanya … Kemudian dia menyebutkan
haditsnya.
Dikeluarkan oleh : Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 3/14-15
no.2318 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 1/25-26.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Abdul Quddus sangat lemah
dan dinyatakan berdusta oleh sebagian para Imam”. Baca Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah
4/311 dan Al-Alai Al-Mashnu’ah 2/40 dan lihat Mizanul I’tidal.
Ketiga :
Dari jalan Nafi’ bin Hurmuz Abu Hurmuz dari Atho’ dari Ibnu ‘Abbas. Dikeluarkan
oleh Ath-Thobarany 11/130 no.11365.
Berkata Al-Hafidz sebagaimana dalam Al-Alai Al-Masnu’ah
1/39-40 : Rawi-rawinya terpercaya kecuali Abu Hurmuz, matrukul hadits (dia
ditinggalkan haditsnya). Lihat Mizanul I’tidal.
Keempat :
Dari jalan Yahya bin ‘Uqbah bin Abi Al-‘Aizar, dari Muhammad bin Jahadah dari
Abi Al-Jauza’ dari Ibnu ‘Abbas.
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath 3/187 no.
2879.
Berkata Al-Hafidz : “Semua rawinya terpercaya kecuali
Yahya bin ‘Uqbah, dia matruk (haditsnya ditinggalkan)”.
Bahkan Ibnu Ma’in berkata : Kadzdzabun Khabits
(pendusta yang sangat hina). (Lihat Mizanul I’tidal.)
2. Hadits Abu Rofi’, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam.
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 2/157-159 no.1386, dan
Tirmidzi 2/350-351 no.482 dan Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana dalam
Ajwibah Al-Hafidz Ibnu Hajar ‘Ala Ahadits Al Mashobih 3/1781 dari Misyakatul
Mashobih dan Ad-Daruqthny dalam Al-Alai Al-Masnu’ah 2/38 dan Ibnul Jauzy dalam
Al-Maudhu’at 2/144 dan Abu Nu’aim dalam Qurban Al-Muttaqin sebagaimana dalam
Al-Alai Al-Masnu’ah 2/41.
Semuanya dari jalan Zaid bin Al-Hibban Al-‘Uqly
dari Musa bin ‘Abidah dari Sa’id bin Abi Sa’id maula Abu Bakr bin ‘Amr bin Hazm
dari Abu Rofi’ dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda
kepada Al-‘Abbas … kemudian dia menyebut kan haditsnya.
Dalam sanadnya ada dua cacat :
a. Musa bin ‘Abidah yaitu Ar-Rabadzy
Al-Madany. Yang nampak bagi saya setelah membaca komentar para ulama tentangnya
ia adalah rowi yang dho’if yang bisa dipakai sebagai pendukung apalagi
dalam hadits-hadits Ar-Riqaq.
b. Sa’id bin Abi Sa’id majhulul hal
(tidak diketahui keadaannya).
Maka hadits ini adalah syahid (pendukung) yang sangat
kuat.
3. Hadits Al
Anshory
Dikeluarkan oleh Abu Daud 2/48 no.1299 dan Al Baihaqy
2/52 dari Abu Taubah Ar-Robi’ bin Nafi’ dari Muhammad bin Muhajir dari Urwah
bin Ruwaim dia berkata : “Menceritakan kepada saya Al-Anshory bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Ja’far …” kemudian dia
menyebutkan hadits tersebut.
Para ‘ulama berbeda pendapat tentang siapa Al Anshori ini
tapi menurut penilaian saya, tidak ada dalil yang benar yang menjelaskan siapa
Al Anshory ini kemudian mungkin ia seorang sahabat dan mungkin juga bukan.
Wallahu A’lam.
4. Hadits
Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib.
Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhu’at 2/143
dan Abu Nua’im , Ibnu Syahin dan Daruquthny dalam Al-Afrad sebagaimana dalam
Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/40.
Semuanya dari jalan Musa bin A’yan dari Abu Raja’ dari
Shodaqah dari ‘Urwah bin Ruwaim dari Ibnu Ad-Dailamy dari Al-‘Abbas dia berkata
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam … kemudian dia menyebutkan
haditsnya.
Berkata Al-Hafidz tentang Shodaqoh : “Dia adalah Ibnu
‘Abdillah yang dikenal dengan panggilan As-Samin, dia lemah dari sisi
hafalannya akan tetapi dikatakan tsiqoh (terpercaya) oleh banyak ulama, maka
haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung”.
Maka dari sini diketahui salahnya sangkaan Ibnul Jauzy
yang mengatakan dia adalah Al-Khurasany.
Adapun Abu Roja’ dia adalah ‘Abdullah bin Muhriz
Al-Jazary. Kami tidak menemukan biografinya. Wallahu A’lam.
Dan Ibnu Ad-Dailamy dia adalah ‘Abdullah bin Fairuz
tsiqoh (terpercaya) termasuk dari tabi’in besar bahkan sebagian ulama
menggolongkannya sebagai sahabat.
Hadits ini mempunyai jalan lain, yaitu hadits yang
dikeluarkan oleh Ibrahim bin Ahmad Al-Hirqy dalam Fawa’idnya. Akan tetapi di
dalam sanad jalan tersebut ada Hammad bin ‘Amr An-Nashiby yang para ulama
menganggap dia sebagai kadzdzab (pendusta). Lihat Al-Ala`i Al-Masnu’ah
2/40.
5. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.
Dikeluarkan oleh Abu Daud 2/48 no.1298 dan Al-Baihaqy
3/52 dari jalan Mahdy bin Maimun dari ‘Amr bin Malik dari Abu Al-Jauza`i dia
berkata : “Seorang laki-laki yang dia adalah sahabat, menurut mereka dia
adalah ‘Abdullah bin ‘Amr dia berkata : “bersabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam …” kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Berkata Abu Daud : “Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Mustamir bin Rayyan dari Abu Al-Jauza`i dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara
mauquf (dari perkataan sahabat). Dan diriwayatkan pula oleh Rauh bin
Al-Musayyab dan Ja’far bin Sulaiman dari ‘Amr bin Malik An-Nukri dari Abu
Al-Jauza`i dari perkataannya. Dan dikatakan dalam hadits Rauh ia berkata hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam (yakni secara marfu’-pen-)”. Dan hal yang
serupa dinyatakan pula oleh Imam Al-Baihaqy.
Berkata Ibnu Hajar : “Akan tetapi perselisihan terletak
pada Abu Al-Jauza`i. Ada yang mengatakan hadits ini darinya dari Ibnu ‘Abbas
dan ada yang mengatakan darinya dari ‘Abdullah bin ‘Amr dan adapula yang
mengatakan dari dia dari Ibnu ‘Umar, bersamaan dengan itu ada perselisihan
(dalam riwayatnya) apakah hadits ini marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam) atau mauquf (sampai kepada sahabat). Dan dalam riwayat secara
marfu’ juga ada perselisihan pada siapa hadits ini dikatakan apakah kepada
Al-‘Abbas atau Ja’far atau ‘Abdullah bin ‘Amr ataukah Ibnu ‘Abbas. Ini adalah
idhthirob (kegoncangan) yang sangat keras. Dan Ad-Daruquthny banyak
mengeluarkan jalan-jalan hadits ini dengan uraian perselisihannya”.
Lihat : Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah 4/314-315, dan Al-Ala`i
Al Masnu’ah 2/41.
Dan terdapat pula jalan lain yang dikeluarkan oleh
Daruquthni dari ‘Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats dari Mahmud bin Kholid
dari seorang tsiqoh (terpercaya) dari ‘Umar bin ‘Abdul Wahid dari
Tsauban dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya secara marfu’.
Mahmud bin Kholid tsiqoh (terpercaya) dan demikian pula
‘Amr bin ’Abdul Wahid, akan tetapi dalam sanadnya ada rawi mubham (tidak
disebut namanya). Dan Tsauban saya tidak mengetahui siapa dia. Wallahu A’lam.
Dan dikeluarkan pula oleh Ibnu Syahin dari jalan yang
lain dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas … kemudian dia
menyebutkan seperti hadits Ibnu ‘Abbas. Akan tetapi hadits ini lemah. Lihat
Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/41 dan Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah 4/314-315.
6. Hadits Ja’far bin Abi Tholib.
Hadits ini mempunyai dua jalan :
Pertama :
Dari jalan Daud bin Qois dari Isma’il bin Rafi’ dari Ja’far ia berkata : “Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepadanya : “Inginkah engkau saya
berikan …”, kemudian dia menyebutkan haditsnya. Dikeluarkan oleh
Abdurrazzaq dalam Mushannafnya 3/123 no.5004.
Dan dikeluarkan pula oleh Sa’id bin Manshur dalam
As-Sunan dan Al-Khotib dalam Kitab Sholat At-Tasbih , Sebagaimana dalam
Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/242 dari jalan yang lain, dari Abi Ma’syar Najih bin
Abdirrahman dari Abu Rafi’ Ismail bin Rafi’ dia berkata : “Telah sampai
kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada
Ja’far bin Abi Tholib…”.
Ismail bin Rafi’ dho’if (lemah haditsnya) bisa digunakan
sebagai penguat. Akan tetapi hadits ini mursal sebagaimana yang terlihat.
Kedua :
Dari jalan ‘Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah dari bapaknya dari kakeknya dari
‘Ali bin Ja’far dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda
kepadaku… kemudian dia menyebutkan haditsnya. Dikeluarkan oleh Ad-Daruquthny
sebagaimana dalam Al-Ala`i Al-Masnu’ah 2/41-42 .
Abdul Malik Ini matruk (ditinggalkan haditsnya) bahkan
dianggap pendusta oleh sebagian ulama dan dituduh memalsukan hadits. Baca
Mizanul I’tidal.
7. Hadits Al Fadhl bin ‘Abbas.
Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam Qurban Al-Muttaqin dari
riwayat Musa bin Isma’il dari ‘Abdil Hamid bin Abdurrahman Ath-Thoiy dari
bapaknya dari Abu Rofi’dari Al-Fadhl bin ‘Abbas bahwasanya Rasulallah r
bersabda … kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Dan dalam sanadnya ada
Abdul Hamid bin Abdirrahman Ath-Tho`i, saya tidak mengenal dia dan saya tidak
mengenal bapaknya. Dan saya menduga bahwa Abu Rofi’ guru Ath Tho`i bukan Abu
Rofi’ Isma’il bin Rofi’ salah seorang di antara orang yang lemah haditsnya”.
Dari Al-Futuhat Al Robbaniyyah 4/310.
8. Hadits ‘Ali bin Abi Tholib.
Dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dari jalan ‘Umar maula
‘Afarah dia berkata bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kepada
‘Ali bin Abi Tholib : “Wahai ‘Ali saya akan memberimu hadiah …” kemudian
dia menyebutkan haditsnya.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Dalam sanadnya terdapat
kelemahan dan keterputusan”.
Sepertinya yang dimaksudkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
dengan kelemahan yaitu kelemahan pada ‘Umar maula ‘Afarah dan dia adalah ‘Umar
bin ‘Abdillah Al-Madany, dho’if (lemah haditsnya) dan yang diinginkan
dengan keterputusan adalah ‘Umar tidak pernah mendengar dari seorang
sahabatpun.
Dan hadits ini memiliki jalan yang lain yang dikeluarkan
oleh Al-Wahidy dalam Kitab Ad-Da’wat dari jalan Ibnu Al-Asy’ats dari Musa bin
Ja’far bin Isma’il bin Musa bin Ja’far Ash Shodiq dari ayah-ayahnya secara
berurut sampai kepada ‘Ali.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar : “Sanad ini disebutkan oleh
Abu ‘Ali dalam satu kitab yang dia susun dengan bab-bab semuanya dengan sanad
ini dan para ulama telah mengeritiknya (pengarangnya) dan mengeritik kitabnya”.
Lihat : Al-Ala`i Al-Mashnu’ah 2/41.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bin
Al-Khaththab.
Dikeluarkan oleh Al-Hakim 1/629 no.1236. Dan dia berkata
: “Ini adalah sanad yang shohih tidak ada kotoran di atasnya”.
Hukum Al-Hakim ini dikritik oleh Adz-Dzahaby dalam
Talkhishnya bahwa dalam sanadnya ada Ahmad bin Daud bin ‘Abdul Goffar
Al-Harrany, dia dinyatakan pendusta oleh Ad-Daraquthny. Lihat : Al-Alai
Al-Mashnu’ah dan Mizanul I’tidal.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Ajwibahnya : “Dan
dikeluarkan oleh Muhammad bin Fudhail dalam kitab Ad Du’a’ dari jalan yang lain
dari Ibnu ‘Umar secara mauquf”. Lihat : Misykatul Mashobih 3/1781.
Saya tidak melihat riwayat tersebut dalam kitab Ad Du’a’.
Akan tetapi riwayat tersebut dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dari jalan Muhammad
bin Fudhail dari Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Abu Al-Jauzai dari ‘Abdullah bin
‘Umar. Dan Aban bin Abi ‘Ayyasy matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) dan
dia juga telah mudhthorib (goncang) dalam riwayatnya karena Ad-Daraquthny juga
meriwayatkan dari jalan Sufyan dari Aban dan dia berkata dari ‘Abdullah bin
‘Amr. Lihat : Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah 4/306.
10. Hadits ‘Abdullah bin Ja’far.
Dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny sebagaimana dalam Al-Alai
Al-Mashnu’ah 2/42 dari dua jalan dari ‘Abdullah bin Ziyad bin Sam’an dan dia
berkata pada salah satu jalannya dari Mu’awiyah dan Isma’il bin ‘Abdullah bin
Ja’far. Dan dia berkata pada jalan lain dari ‘Aun pengganti Isma’il (yang
terdapat di jalan pertama) dari ayah mereka berdua (Mu’awiyah dan Isma’il atau
Mu’awiyah dan ‘Aun) dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
bersabda kepadaku : “Maukah engkau saya berikan …” kemudian dia
menyebutkan hadtsnya.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Ibnu Sam’an adalah dho’if
(lemah)”. Dan dia berkata dalam Taqrib At-Tahdzib: “Matruk (ditinggalkan
haditsnya) dan muttaham bilkadzib (tertuduh berdusta)”.
Dan kegoncangan dalam sanad menambah lemah hadits ini.
Wallahu A’lam.
11. Hadits Ummu Salamah Al-Anshoriyyah.
Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Qurban Al-Muttaqin dari
Sa’id bin Jubair dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda kepada Al-‘Abbas : “Wahai pamanku ….” Kemudian dia
menyebutkan haditsnya.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Hadits ini ghorib (aneh)
dan ‘Amr bin Jumai’ salah seorang rawi hadits ini adalah lemah dan mendengarnya
Sa’id bin Jubair dari Ummu Salamah masih perlu dilihat (yaitu tidak mendengar).
Wallahu a’lam.
’Amr bin Jumai’ disebutkan dalam Mizanul I’tidal, dan dia
matruk (ditinggalkan haditsnya). Bahkan dinyatakan berdusta oleh Ibnu Ma’in dan
dicurigai memalsukan hadits.
Ulama yang Melemahkan Hadits Shalat Tasbih
Sebagian ulama melemahkan hadits shalat tasbih. Di bawah
ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:
1. Ketika mengomentari hadits shalat
tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar Ibnul A’rabi berkata, “Hadits
Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki asal di dalam (hadits) yang shahih dan
yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya hanyalah untuk memberitahukannya agar
orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar
karya an-Nawawi, hal. 168).
2. Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah
menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan jalan-jalannya, di dalam kitab
beliau al-Maudhu’at, kemudian men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan
kelemahannya.
3. Imam adz-Dzahabi rahimahullah
menganggapnya termasuk hadits munkar (Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari
Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 32, tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi al-Anshari).
Ulama Yang Menshohihkan Hadits Shalat Tasbih
Namun, sejumlah ulama besar Ahli Hadits telah menguatkan
menshahihkan hadits shalat tasbih, di antaranya:
1. Ar-Ruyani rahimahullah berkata dalam
kitab al-Bahr, di akhir kitab al-Janaiz, “Ketahuilah, bahwa shalat tasbih
dianjurkan, disukai untuk dilakukan dengan rutin setiap waktu, dan janganlah
seseorang lalai darinya.”
2. Ibnul Mubarak. Beliau ditanya, “Jika
seseorang lupa dalam shalat tasbih, apakah dia bertasbih dalam dua sujud sahwi
10, 10 (sepuluh, sepuluh)?” Beliau menjawab, “Tidak, Shalat tasbih itu hanyalah
300 (tiga ratus) tasbih.” Dalam riwayat ini, Ibnul Mubarak tidak mengingkari
shalat tasbih, yang menunjukkan bila beliau membenarkannya (Al-Adzkar, hal.
169). Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ibnul Mubarak dan banyak ulama
berpendapat (disyariatkannya) shalat tasbih dan mereka menyebutkan
kautamaannya.” (Al-Adzkar, hal. 167).
3. Al-Hafizh al-Mundziri (wafat 656 H)
berkata, “Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, dan yang
paling baik ialah hadits Ikrimah ini. Dan telah dishahihkan oleh sekelompok
ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Bakar al-Aajuri, Syaikh kami al-Hafizh Abul
Hasan al-Maqdisi, semoga Allah merahmati mereka. Abu Bakar bin Abu Dawud
berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Tidak ada hadits shahih dalam shalat
tasbih, kecuali ini’.” Muslim bin al-Hajjaj berkata, “Tidaklah diriwayatkan di
dalam hadits ini sanad yang lebih baik dari ini (yakni isnad hadits Ikrimah
dari Ibnu Abbas).” (Shahih at-Targhib wat Targhib, 1/281, karya al-Mundziri,
tahqiq al-Albani).
4. Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676
H), beliau membuat satu bab, Bab: Dzikir-dzikir Shalat Tasbih, di dalam
kitabnya al-Adzkar, hal. 166. Beliau juga menyebutkan perselisihan para ulama
tentang hadits-hadits shalat tasbih, dan beliau termasuk ulama yang menyatakan
disyariatkannya shalat tasbih.
5. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
(wafat 689 H) berkata, “Disukai untuk melakukan shalat tasbih.” (Mukhtashar
Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
6. Syaikh as-Sindi (wafat 1138 H)
berkata, “Hadits ini (shalat tasbih) telah dibicarakan oleh huffazh (para ulama
ahli hadits). Yang benar, bahwa hadits ini hadits tsabit (kuat). Sepantasnya
orang-orang mengamalkannya. Orang-orang telah menyebutkannya panjang lebar, dan
aku telah menyebutkan sebagian darinya dalam catatan pinggir kitab (Sunan) Abu
Dawud dan catatan pinggir kitab al-Adzkar karya an-Nawawi.” (Ta’liq dalam Sunan
Ibnu Majah, 1/442).
7. Syaikh al-Albani rahimahullah
menshahihkan hadits shalat tasbih ini dalam kitab Shahih at-Targhib Wat
Targhib, 1/281.
8. Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
al-Atsari berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah di atas, “Banyak ulama
telah menshahihkan isnad hadits shalat tasbih, dan lihatlah (kitab al-Atsar
al-Marfu’ah Fil Akhbar al-Maudhu’ah, hal. 123-143, karya al-Laknawi
rahimahullah. Beliau telah mengumpulkan hal itu dengan sangat banyak.” (Catatan
kaki Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).
9. Syaikh Salim al-Hilali menshahihkan
hadits shalat tasbih dalam kitab beliau Mukaffiratudz Dzunub.
10. Syaikh Abu Ashim Abdullah ‘Athaullah
berkata, “Riwayat Abu Dawud; Timidzi; Ibnu Majah; Abdur Razzaq di dalam
al-Mushannaf; al-Baihaqi dalam as-Sunan; dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak;
(derajat hadits) shahih li ghairihi.” (I’lamul Baraya Bi Mukaffiratil
Khathaya., hal. 40, taqdim: Syaikh Mushthafa al-Adawi).
11. al-Khathib al-Baghdadi,
12. Abu Daud As-Sijistany. Beliau
berkata : “Tidak ada dalam masalah sholat Tasbih hadits yang lebih shohih dari
hadits ini”.
13. Ad-Daraquthny. Beliau berkata :
“Hadits yang paling shohih dalam masalah keutamaan Al-Qur’an adalah (hadits
tentang keutamaan) Qul Huwa Allahu Ahad dan yang paling shohih dalam
masalah keutamaan sholat adalah hadits tentang sholat Tasbih”.
14. Al-Ajurry.
15. Ibnu Mandah.
16. Al-Baihaqy.
17. Ibnu As-Sakan.
18. Abu Sa’ad As-Sam’any.
19. Abu Musa Al-Madiny.
20. Abu Al-Hasan bin Al-Mufadhdhal
Al-Maqdasy.
21. Abu Muhammad ‘Abdurrahim Al-Mishry.
22. Ibnush Sholah. Dia berkata : “Sholat
Tasbih adalah sunnah bukan bid’ah, hadits-haditsnya dipakai beramal dengannya”.
23. Abu Manshur Ad Dailamy, dalam Musnad
Al-Firdaus.
24. Sholahuddin Al-‘Alai. Dia berkata :
“Hadits sholat Tasbih shohih atau hasan dan harus (tidak boleh dho’if)”.
25. Sirajuddin Al-Bilqiny. Dia berkata :
“Hadits sholat tasbih shohih dan ia mempunyai jalan-jalan yang sebagian darinya
menguatkan sebagian yang lainnya maka ia adalah sunnah dan sepantasnya
diamalkan”.
26. Az-Zarkasyi. Beliau berkata :
“Hadits sholat tasbih adalah shohih dan bukan dho’if apalagi maudhu’
(palsu)”.
27. As-Subki.
28. Az-Zubaidy dalam Ithaf As-Sadah
Al-Muttaqin.3/473.
29. Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasqy.
30. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
Al-Khishal Al-Mukaffirah Lidzdzunub Al-Mutaqoddimah Wal Mutaakhkhirah dan
Nataijul Afkar Fi Amalil Adzkar dan Al-Ajwibah ‘Ala Ahadits Al-Mashobih.
31. As-Suyuthy.
32. Al-Laknawy.
33. Al-Mubarakfury dalam Tuhfah
Al-Ahwadzy.
34. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ahmad
Syakir -rahimahullahu-.
35. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin
Hady Al-Wadi’y -rahimahullahu- dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi
Ash-Shohihain.
Kesimpulan
Derajat hadits shalat tasbih adalah shahih li ghairihi,
sehingga dapat diamalkan. Adapun para ulama men-dha’if-kannya atau menyatakan
bahwa hadits shalat tasbih adalah palsu, karena tidak mendapatkan hadits yang
kuat sanadnya. Tetapi, hal ini bukan berarti seluruh sanad hadits shalat tasbih
tidak shahih. Karena sebagiannya yang berderajat hasan, kemudian dikuatkan
jalan lainnya, sehingga meningkat menjadi shahih li ghairihi. Wallahu a’lam.
Tata Cara Sholat
Secara umum sholat tasbih sama dengan tata cara yag lain,
hanya ada tambahan bacaan tasbih yaitu :
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Subhaanallahu walhamdulillahi wa laa ilaha ilaa Allah
wallahu akbar
Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali tiap raka’at dengan
perincian sbb:
1. Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah
sebelum ruku sebanyak 15 kali
2. Ketika ruku’ sesudah membaca do’a
ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali
3. Ketika bangun dari ruku’ sesudah
bacaan I’tidal dibaca 10 kali
4. Ketika sujud pertama sesudah membaca
do’a sujud dibaca 10 kali
5. Ketika duduk diantara dua sujud
sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali
6. Ketika sujud yang kedua sesudah
membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali
7. Ketika bangun dari sujud yang kedua
sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.
Demikianlah dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali
tasyahud yaitu pada raka’at yang ke empat lalu salam. Dan boleh juga
dilakukan dua raka’at dua raka’at dan setiap dua raka’at membaca tasyahud
kemudian salam.
Sedangkan untuk bacaan surat nya, Rasulullah tidaklah
mengkhususkan dengan surat tertentu. Demikianlah penjelasan kami, semoga
bermanfaat. Wallahu a’lam.
Jumlah Raka’at
Semua riwayat menunjukkan 4 raka’at dengan tasbih
sebanyak 75 kali tiap raka’at, jadi keseluruhannya 300 kali tasbih.
Waktu Sholat
Yang paling utama waktu sholat tasbih adalah sesudah
tenggelamnya matahari sebagaimana dalam riwayat ‘Abdullah bin Amr. Tapi dalam
riwayat Ikrimah yang Mursal diterangkan boleh malam dan boleh siang.
Sholat ini ada pilihan : boleh tiap hari, kalau
tidak bisa boleh tiap pekan kalau tidak bisa boleh tiap bulan, kalau tidak bisa
boleh tiap tahun dan kalau tidak bisa boleh sekali seumur hidup, karena itu
hendaklah kita memilih mana yang paling sesuai dengan kondisi kita
masing-masing.
Penutup
Untuk melengkapi pembahasan yang singkat ini, maka kami
juga sertakan penyimpangan-penyimpangan (bid’ah–bid’ah) yang banyak terjadi
sekitar pelaksanaan sholat tasbih, diantaranya :
1. Mengkhususkan pada malam Jum’at
saja.
2. Dilakukan secara berjama’ah terus
menerus.
3. Diiringi dengan bacaan-bacaan
tertentu sebelum sholat ataupun sesudah sholat.
4. Tidak mau sholat kecuali bersama
Imamnya atau Jama’ahnya atau tariqatnya.
5. Tidak mau sholat kecuali dimesjid
tertentu.
6. Keyakinan sebagian yang melakukannya
bahwa rezekinya akan bertambah dengan sholat tasbih.
7. Membawa binatang-binatang tertentu
untuk disembelih sebelum atau sesudah sholat tasbih disertai dengan
keyakinan-keyakinan tertentu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar