Dua orang suami menanyakan hal dibawah ini:
1. Saat malam pertama dengan istri, saya tidak mendapati
adanya darah yang menandakan bahwa istri saya masih perawan. Apa yang harus
saya lakukan, saya jadi ragu apakah istri saya masih perawan atau tidak sebelum
berhubungan dengan saya.
2. Istri saya mengakui bahwa dia pernah berzina sebelum
nikah, apa yg saya harus lakukan ustad ? Saya sakit setelah mendengar kabar
ini.
Apakah saya berhak mengambil mahar saya karena di akad nikah tertulis bahwa dia perawan tapi ternyata tidak. mohon jawabannya ustad.
***
Pertama, islam memotivasi kepada siapapun yang pernah
melakukan dosa terkait dengan hak Allah, agar merahasiakan dosa itu dan dia
selesaikan antara dia dengan Allah. Dia bertaubat menyesali perbuatannya, tanpa
harus menceritakan dosanya kepada siapapun. Termasuk kepada manusia
terdekatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ
شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ
“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan
perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan
kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam
Al-Muwatha’, 3048 dan al-Baihaqi dalam Sunan as-Sughra, 2719).
Karena yang lebih penting dalam pelanggaran ini,
bagaimana dia segera bertaubat dan memperbaiki diri, tanpa harus mempermalukan
dirinya di hadapan orang lain. karena ini justru menjadi masalah baru.
Kemudian, kondisi tidak keluarnya darah pada awal
hubungan suami istri terkadang memang dipermasalahkan sebagian orang yang tidak
mengerti mengenai anatomi selaput dara itu sendiri. Selaput dara atau hymen
merupakan jaringan selaput tipis yang memiliki pembuluh darah kecil di
dalamnya, terletak di jalan masuk vagina, dengan bentuk yang beragam, ada yang
menyerupai bulan sabit, ada yang membulat, bahkan ada yang berlubang-lubang.
Terkadang seseorang bahkan dengan jaringan hymen yang sangat sedikit atau
bahkan tanpa hymen sama sekali.
Sifat hymen juga berbeda-beda, ada yang elastis sehingga
tidak mudah pecah, namun ada juga yang rapuh. Hymen dapat pecah/robek tidak
hanya oleh hubungan suami istri, namun juga oleh penyakit tertentu, cedera
misalnya jatuh terduduk, pemeriksaan medis, bahkan oleh latihan olahraga yang
terlampau keras. Jadi tidak benarlah jika keperawanan seorang wanita diukur
berdasarkan ada/tidaknya hymen.
Maka kondisi di atas menunjukkan bahwa semata tidak
keluar darah ketika melakukan hubungan pertama, bukanlah indikasi bahwa seorang
wanita telah hilang kegadisannya. Karena itu, suami tidak berhak menjadikan
fenomena ini sebagai alasan untuk menuduh istrinya tidak perawan. Sementara
menuduh istri tidak perawan, statusnya sama dengan menuduh istri berzina. Dan
ini bahaya besar.
Sesungguhnya islam memberikan ancaman yang sangat keras
bagi orang yang menuduh orang lain berzina. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ:…وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ
المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan: …(salah
satunya) menuduh wanita suci mukminah yang baik telah berzina.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah
ditanya tentang suami yang menikahi gadis. Di malam pertama, ternyata
suami merasa istrinya tidak perawan. Salah satu bagian penjelasan beliau,
فإذا ادَّعت أنَّها زالت البكارة في أمر غير
الفاحشة : فلا حرج عليه ، أو بالفاحشة ولكنها ذكرت له أنها مغصوبة ومكرهة : فإن
هذا لا يضره أيضاً ، إذا كانت قد مضى عليها حيضة بعد الحادث ، أو ذكرت أنها تابت
وندمت ، وأن هذا فعلته في حال سفهها وجهلها ثم تابت وندمت : فإنه لا يضره ، ولا
ينبغي أن يشيع ذلك ، بل ينبغي أن يستر عليها ، فإن غلب على ظنه صدقها واستقامتها :
أبقاها ، وإلا طلقها مع الستر ، وعدم إظهار ما يسبب الفتنة والشرّ .
Jika istri mengaku bahwa keperawanannya hilang BUKAN
karena hubungan badan, maka suami tidak masalah mempertahankan istrinya. Atau
karena hubungan badan, namun sang istri mengaku dia diperkosa atau dipaksa,
maka suami tidak masalah mempertahankan istrinya, jika istri sudah mengalami
haid sekali setelah kejadian itu sebelum dia menikah.
Atau dia mengaku telah bertaubat dan menyesali
perbuatannya, dan dia pernah melakukan zina ini ketika dia masih bodoh, dan
sekarang sudah bertaubat, tidak masalah bagi suami untuk mempertahankannya. Dan
tidak selayaknya hal itu disebar luaskan, sebaliknya, selayaknya dirahasiakan.
Jika suami yakin sang istri telah jujur dan dia orang baik, bisa dia
pertahankan. Jika tidak, suami bisa menceraikannya dengan tetap merahasiakan apa
yang dialami istrinya. Tidak membeberkannya yang itu bisa menyebabkan
terjadinya fitnah dan keburukan.
(Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/2864)
Kedua, apabila sebelum menikah suami
mempersyaratkan istrinya harus perawan, ternyata setelah menikah sang istri
tidak perawan, maka pihak suami berhak untuk membatalkan pernikahan.
Syaikhul Islam menjelaskan,
لو شرط أحد الزوجين في الآخر صفةً مقصودة ،
كالمال ، والجمال ، والبكارة ، ونحو ذلك : صح ذلك ، وملك المشترِط الفسخ عند فواته
في أصح الروايتين عن أحمد ، وأصح وجهي الشافعي ، وظاهر مذهب مالك
Apabila salah satu pasangan mengajukan syarat berupa
kriteria tertentu kepada calonnya, seperti suami berharta, kecantikan, atau
perawan atau semacamnya, maka syarat ini sah. Dan pihak yang mengajukan syarat
berhak membatalkan pernikahan ketika syarat itu tidak terpenuhi, menurut
riwayat yang lebih kuat dari Imam Ahmad dan pendapat yang kuat dalam Madzhab
Syafii, serta itulah yang kuat dari pendapat Imam Malik. (Majmu’ Fatawa,
29/175).
Bagaimana dengan Mahar?
Jika pembatalan nikah ini sebelum terjadi hubungan badan,
maka mahar dikembalikan. Namun jika telah terjadi hubungan, ada rincian:
Jika yang menipu pihak wanita, dia mengaku perawan
padahal tidak perawan, maka dia wajib mengembalikan maharnya.
Jika yang menipu pihak wali, atau orang lain yang menjadi perantara baginya, maka dia yang bertanggung jawab mengembalikan maharnya.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
إذا اشترط السلامة ، أو شرط الجمال : فبانت
شوهاء ، أو شرطها شابة حديثة السن : فبانت عجوزاً شمطاء ، أو شرطها بيضاء : فبانت
سوداء ، أو بكراً : فبانت ثيِّباً : فله الفسخ في ذلك كله .
فإن كان قبل الدخول : فلا مهر لها ، وإن كان
بعده : فلها المهر ، وهو غُرم على وليِّها إن كان غرَّه ، وإن كانت هي الغارَّة
سقط مهرها
Jika pihak suami mengajukan syarat, harus sehat tidak
cacat, atau harus cantik, tapi ternyata jelek, atau harus masih muda, tapi
ternyata sudah tua keriputan, atau harus putih, tapi ternyata hitam, atau harus
perawan, tapi ternyata janda, maka pihak suami berhak membatalkan pernikahan.
Jika pembatalan terjadi sebelum hubungan badan, istri tidak berhak mendapat
mahar. Jika setelah hubungan, istri berhak mendapat mahar. Sementara tanggungan
mengembalikan mahar menjadi tanggung jawab walinya, jika dia yang menipu suami.
Namun jika istri yang menipu, gugur hak mahar untuknya (Zadul Ma’ad, 5/163).
Ketiga, apabila sebelum menikah, suami TIDAK
mempersyaratkan istrinya harus perawan, maka dia tidak memiliki hak untuk
membatalkan akad.
Ibnul Qoyim menjelaskan kapan seorang suami berhak
membatalkan akad nikah, jika sebelumnya dia tidak mempersyaratkan apapun.
رواية رويت عن عمر رضي الله عنه : لا ترد
النساء إلا من العيوب الأربعة : الجنون والجذام والبرص والداء في الفرج وهذه
الرواية لا نعلم لها إسنادا أكثر من أصبغ عن ابن وهب عن عمر… هذا كله إذا أطلق
الزوج
Satu riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu:
Wanita tidak dikembalikan (ke ortunya) kecuali karena 4 jenis cacat: gila,
kusta, lepra, dan penyakit di kemaluan. Riwayat ini tidak saya ketahui sanadnya
selain dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari Umar…. aturan ini berlaku jika pihak
suami tidak mengajukan syarat apapun. (Zadul Ma’ad, 5/163).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
المعروف عند الفقهاء : أن الإنسان إذا تزوج
امرأة على أنها بكر ، ولم يشترط أن تكون بكراً : فإنه لا خيار له ؛ وذلك لأن
البكارة قد تزول بعبث المرأة بنفسها ، أو بقفزة قوية تُمَزِّق البكارة ، أو بإكراه
على زنا ، فما دام هذا الاحتمال وارداً : فإنه لا فسخ للرجل إذا وجدها غير
بكر. أما إذا اشترط أن تكون بكراً : فإن وجدها غير بكر : فله الخيار
Yang makruf di kalangan ulama, bahwa ketika seorang
lelaki menikahi wanita yang dia anggap masih gadis, sementara dia tidak
mempersyaratkan harus gadis, maka pihak suami tidak memiliki hak untuk
membatalkan pernikahan. Karena kegadisannya bisa saja hilang karena si wanita
main-main dengan organ pribadinya, atau karena dia melompat sehingga merobek
keperawanannya, atau diperkosa. Selama semua kemungkinan ini ada, pihak suami
tidak berhak membatalkan pernikahan, ketika dia menjumpai istrinya tidak
perawan.
Namun jika pihak suami mempersyaratkan harus perawan,
kemudian ternyata istrinya tidak perawan, maka suami punya pilihan untuk
melanjutkan atau membatalkan nikah.
(Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 67, no. 13).
Demikian pembahasan rincian hukumnya.
Hanya saja, kami menasehatkan, agar pihak suami tetap
mempertahankan istrinya dan merahasiakan apa yang dialami istrinya, jika dia
sudah benar-benar bertaubat dengan serius dan istiqamah menjadi wanita yang
sholihah.
Dan jika anda telah menerimanya, lupakan masa silamnya,
dan tidak diungkit lagi, terutama ketika terjadi pertengkaran rumah tangga.
Dalam hadis dinyatakan,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ
لَهُ
“Orang yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, layaknya
orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah
4250, al-Baihaqi dalam al-Kubro 20561, dan dihasankan al-Albani).
Karena dia sudah bertaubat dengan serius, maka dia
dianggap seperti orang yang tidak pernah melakukannya.
Sekalipun suami merasa sedih atau bahkan murka, namun
ingat, semuanya tidak akan disia-siakan oleh Allah. Kesabarannya atas
kesedihannya atau amarahnya akan menghapuskan dosanya.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar