Pengertiannya
Hadist Palsu
Kedustaan
yang dibuat-buat kemudian disandarkan kepada Rasulullah. Rasulullah Shallallahu
alaihi wasalam telah mengisyaratkan bahwa akan ada nanti orang-orang yang
membuat hadits palsu dengan sabdanya:
“Akan
datang di akhir zaman nanti para dajjal dan pendusta, mereka mendatangimu
dengan hadits-hadits yang belum pernah kamu dengar juga belum pernah di dengar
oleh bapak-bapak kamu, maka berhati-hatilah kamu dari mereka, jangan sampai
mereka menyesatkan kamu dan menimbulkan fitnah terhadapmu.” (HR
Muslim)
Derajatnya
dalam ilmu Mushthalah Hadits
adalah
termasuk ke dalam bagian dari hadits dhaif bahkan pada derajat yang paling
rendah.
Hukum
meriwayatkannya:
Para
ulama bersepakat bahwa tidak halal bagi seseorang untuk meriwayatkan suatu
hadits dalam makna apapun yang telah diketahui kepalsuannya kecuali disertai
dengan penjelasan tentang kedustaanya dengan tujuan untuk memperingatkan
orang-orang awam yang tidak mengetahui agar tidak tertipu dengan hadits
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَيْ أَنَّهُ
كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Barangsiapa
menyampaikan suatu perkataan dariku yang telah diketahui bahwa itu adalah
kedustaan yang dibuat-buat, maka ia termasuk salah seorang pendusta.” (HR.
Muslim)
Cara-cara
yang digunakan oleh pembuat hadits palsu:
1. Dengan membuat kalimat sendiri, kemudian disusun sebuah
sanad (mata rantai perawi hadits) lalu diriwayatkan kepada orang lain.
2. Atau dengan mengambil kata-kata ahli hikmah atau nasehat,
kemudian dibuat rantai sanadnya.
Cara
mengetahui hadits maudu’:
1.
Pengakuan dari si pemalsu itu sendiri, Seperti:
- Pengakuan
Abi Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa ia telah memalsu hadits tentang
fadhail Al Qur’an surat demi surat.
- Abdul
Karim bin Abil-‘Auja’. Dia dibunuh oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Abbasy,
seorang Amir di negeri Basrah. Sebelum dibunuh ia berkata: “Aku telah
membuat empat ratus ribu hadits palsu, aku halalkan yang haram dan aku
haramkan yang halal.”
2.
Senada dengan pengakuannya
Seperti
seseorang yang meriwayatkan suatu hadits dari seorang syaikh, namun ketika ia
ditanya tahun kelahirannya, ternyata ia lahir setelah wafatnya syaikh tersebut,
dan tidak pernah didengar hadits itu kecuali dari dirinya. Ini sudah
menunjukkan pengakuan kedustaannya. Contoh: Al-Makmun bin Ahmad Al-Harawy
mengaku telah mendengar hadits dari Hisyam bin Ammar. Ketika Al-Khatib Ibnu
Hibban bertanya kepada Al-Makmun “Kapan engkau masuk Syam (Negeri
tempat tinggal Hisyam)?” Ia menjawab, “Tahun 250 H”. Ibnu
Hibban berkata, “Hisyam yang kamu riwayatkan tadi wafat tahun 245 H”.
Al-Makmun menjawab untuk berkelit, “Ini Hisyam bin Amar lainnya.”
3.
Tanda-tanda pada si perawi Hadits
Seperti
seorang syiah rafidhah meriwayatkan hadits tentang keutamaan-keutamaan shahabat
Ali bin Abi Thalib dan Ahlul bait; atau seseorang yang bertaqlid kepada mahzab
tertentu kemudian membuat hadits palsu untuk merendahkan mahzab-mahzab lainya.
Seperti kisah Al-Makmun bin Ahmad Al-Harawy. Ketika disampaikan kepadanya
tentang Imam Syafi’i yang banyak pengikut di Khurasan. Begitu ia mendengar itu
ia langsung menyusun sanad sendiri, lalu membuat hadits palsu berbunyi: “Akan
datang nanti di antara umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (yaitu
Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Akan datang nanti di
antara umatku seorang yang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi umatku.”
4.
Tanda-tanda yang terdapat pada riwayatnya
Seperti
lafal hadits yang rancu; mengandung makna yang rusak, keji dan jelek; atau
bertentangan dengan dalil-dalil Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’: atau tidak bisa
diterima oleh akal yang sehat (akal yang tidak menyimpang dari sunnah), dan
kenyataan yang ada; atau melampaui batas dalam menetapkan ancaman Allah
terhadap perkara kecil, dan melampaui batas dalam menetapkan janji Allah
terhadap perkara yang sepele. Seperti: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
meriwayatkan hadits “Sesungguhnya perahu Nabi Nuh tawaf di Ka’bah tujuh
kali, kemudian shalat di maqam Ibrahim.”
Dorongan
para pemalsu hadits
Untuk
mendekatkan diri kepada Allah
Mereka
memalsu hadits dengan tujuan menyemangati manusia untuk berbuat baik, atau
memperingatkan mereka agar tidak berbuat kemungkaran. Mereka kebanyakan adalah
kaum yang mendakwakan dirinya orang-orang zuhud ataupun orang-orang sufi.
Karena perbuatan mereka itulah banyak tersebar bid’ah dan khurafat dalam Islam.
Mereka menganggap baik perbuatan itu. Padahal, mereka telah menipu dan
menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Mereka itu adalah sejelek-jelek
pemalsu hadits. Contohnya adalah Maisarah bin Abdi Rabbihi, ketika ia ditanya
oleh Ibnu Mahdy, “Dari mana kamu dapatkan hadits “Barangsiapa yang
membaca ini maka akan begini?” Ia menjawab. “Aku memalsukannya
untuk menyemangati manusia.”
Di
antara mereka adalah suatu kelompok ahlul bid’ah yang disebut Karamiyah, mereka
membolehkan membuat hadits palsu hanya untuk tujuan menyemangati manusia
berbuat baik, atau memperingatkan mereka agar tidak berbuat kemungkaran. Bahkan
sebagian dari kaum Karamiyyah ada yang berkata: “Kami tidak berdusta
atas nama Rasulullah, tapi kami berdusta untuk kepentingan Rasulullah”. Ini
pada hakikatnya adalah perkataan orang-orang dungu. Apakah mereka lupa atau
pura-pura lupa bahwa agama Islam ini telah disempurnakan, tidak membutuhkan
tambahan dan pengurangan. Dan Rasulullah tidak butuh penetapan syariat yang
bersandar pada kedustaan.
Membela
mahzab atau kelompoknya
Terlebih
lagi mazhab kelompok yang condong pada masalah politik setelah meletus fitnah
ditengah-tengah ummat dan bermunculan kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi
kepentingan politik seperti syiah atau khawarij. Mereka adalah kelompok yang
hanya bersandarkan atas hawa nafsu dan pemikiran semata, tidak memiliki pijakan
atas Sunnah. Maka masing-masing membuat hadits palsu dengan tujuan untuk
memperkokoh mazhab mereka. Seperti hadits “Ali adalah sebaik-baik
manusia, barangsiapa ragu maka ia telah kafir”
Mencela
Islam
Mereka
adalah kaum zindiq, yang menampakkan keislaman namun mereka pada hakikatnya
adalah kafir. Mereka tidak mampu untuk menghancurkan Islam secara
terang-terangan, maka mereka masuk melalui cara ini. Dengan membuat-buat hadits
yang berisi celaan dan kejelekan tantang Islam, kemudian memasukkan keraguan
kaum muslimin terhadap Agama Islam. Contohnya adalah Muhammad bin Sa’id
Asy-Syamy yang meriwayatkan hadits “Aku adalah penghujung para Nabi,
tiada lagi nabi sesudahku kecuali kalau Allah menghendaki.” Ia telah
menambah kalimat “kecuali kalau Allah menghendaki” ke dalam hadits yang sahih.
Ia termasuk golongan para zindiq yang kemudian dibunuh dan disalib.
Mencari
perhatian penguasa
Banyak
dilakukan oleh ulama-ulama su’ (jelek perangainya), mereka
ingin mendekatkan diri kepada penguasa dengan cara membuat-buat hadits yang
disesuaikan dengan keadaan para penguasa walaupun dalam penyimpangan yang
dilakukan oleh penguasa tersebut. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i
Al-Kufy dengan Amirul mukminin Al-Mahdy. Ketika ia bertemu dengan Al-Mahdy yang
sedang bermain burung, ia membawakan sebuah hadits “Tiada permainan
yang bermanfaat kecuali dalam berpedang, lari dan pacuan kuda” Ini
adalah hadits shahih, tapi ia menambahkan setelahnya dengan kalimat “dan
bermain burung” karena ingin mendapatkan perhatian dari Al-Mahdy. Tapi
kemudian Al Mahdy mengetahui kedustaannya dan menyuruh untuk menyembelih burung
tersebut.
Mencari
penghasilan
Seperti
perbuatan tukang cerita yang mencari uang dengan cara menyampaikan hadits
kepada manusia. Mereka terkadang membuat cerita-cerita yang aneh dan
menakjubkan yang bisa membuat orang tercengang dan tertarik untuk
mendengarkannya kemudian mereka mendapatkan uang dari orang yang mendengarkan
cerita itu.
Ingin
Terkenal
Dengan
cara membawakan hadits yang terdengar asing/aneh dan tidak pernah didapatkan
dari seorang ulama haditspun. Baik dengan cara membolak-balik sanad sehingga
menjadi asing dan orang-orang ingin mendegarkannya.
Alhamdulillah, begitu
besar Rahmat Allah kepada hamba-Nya Allah memunculkan di muka Bumi ini para
ulama pewaris Nabi yang berjuang dengan lisan, tangan, dan pena. Mereka
menghapuskan penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat,
penafsiran orang-orang yang bodoh, dan penyelewengan orang yang ekstrim.
Merekalah
para ahlul hadits yang rela menghabiskan waktu untuk mencari hadits dan
mengoreksi kesahihannya. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan perjalanan
yang panjang walaupun hanya untuk mendapatkan satu hadits. Kepada merekalah
kita bertanya, kitab-kitab merekalah yang harus kita pelajari karena mereka
memang ahli dalam ilmu hadits. Agar kita memiliki ilmu sebelum mengungkapkan
sebuah hadits sehingga tidak terjerumus ke dalam ancaman bagi orang-orang yang
berdusta atas nama Rasulullah. Karena tidak kita pungkiri lagi bahwa sudah
banyak tersebar hadits palsu di mata masyarakat kita, contoh yang paling
populer adalah: “Perselisihan umatku adalah rahmat” (Muhammad Yasir)
Maraji’: Ba’itsul
Hatsits, Syarh Ahmad Muhammad Syakir.2 Taisirul Mushthalah, Dr.
Mahmud Ath-Thahhan.
Selain
bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah
berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah
mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad
merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan,
adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan
untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah
meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?
Abdullah
bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سالت ابي عن الرجل
يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم – والصحابة
والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك ولا الاسناد القوي من الضعيف
فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال لا يعمل حتى يسأل ما
يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم
“Saya
bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai
kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para
sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang
lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang
lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab
tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh
mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari
kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan
(hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam
al-Muwaqqi’in 4/206).
Imam
Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga
Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan
terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli
hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh
periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga,
pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang
dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).
Imam
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
فأما الأئمة وفقهاء
أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان
“Para
imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl
Ilmi as-Salaf hal. 57) .
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى
الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
“Syari’at
ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori
shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’
al-Fatawa 1/250).
Al-Anshari rahimahullah berkata,
“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab
Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang
mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia
tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits
tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para
perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila
menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau
hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka
dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh
Alfiyah al-’Iraqi).
Diterjemahkan
dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10,
karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.
Fenomena merebaknya hadits palsu di medsos
Media sosial pada zaman sekarang berperan besar dalam
menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu kepada umat manusia, terutama lewat
internet (website, Facebook, WhatsApp), SMS, dan sebagainya. Bahkan
kadang-kadang disertai kalimat-kalimat motivasi untuk menyebarkan dan ancaman
bagi yang tidak menyebarkan, seperti: “Share sebanyak-banyaknya agar saudara
kita sadar”, “Semoga yang menshare artikel ini mendapat surga. Amin”, “Dosa
jika engkau tidak menshare ini”, dan sejenisnya. Parahnya, kadang artikel hadits
dusta tersebut dibingkai indah dan menarik dengan aplikasi/software grafis
(pengolah gambar/foto).
Faktor merebaknya hadits palsu di medsos
Sebelumnya, telah kami sampaikan beberapa faktor yang
mendorong para pendusta untuk menyebarkan hadits lemah dan palsu, baik untuk
merusak agama, fanatik, mengajak kepada kebaikan, cari popularitas, dan
sebagainya. Jika kita cermati faktor-faktor tersebut, sebenarnya tak jauh beda
dengan faktor yang mendorong merebaknya pada zaman sekarang. Hanya, mungkin ada
beberapa faktor lainnya juga yang perlu kami sebutkan di sini, yaitu:
• Murah meriahnya ongkos penyebarannya.
• Mudahnya penyebarannya tanpa izin kepada pihak resmi
siapa pun.
• Penyebarnya tidak dikenal karena sering kali pengguna
medsos memakai nama samaran.
• Luasnya jangkauan dan cepatnya penyebaran.
• Banyaknya pengguna medsos di berbagai negara di dunia.
• Menggunakan gelar-gelar dan kepopuleran nama untuk
penyebaran.
• Memanfaatkan momen-momen penting untuk penyebaran
seperti puasa, Sya‘ban, dan sebagainya.
Terapi dan solusi
Sesungguhnya fenomena merebaknya hadits lemah dan palsu
di media sosial adalah fenomena pahit dan meresahkan bagi setiap orang yang
cemburu terhadap agamanya. Maka dari itu, merupakan tanggung jawab kita semua
untuk berjuang menghadang dan membendung fenomena ini.
Setelah kita cermati, ternyata solusi menghadang fenomena
ini melibatkan tiga kalangan: penyebar, penerima, dan ahli ilmu. Maka kita urut
solusinya pada tiga bagian sebagai berikut:
Pertama: Solusi
bagi penyebar
Mungkin saja para pengguna medsos yang men-share/menyebarkan
atau me-like/menyukai
berniat baik. Hanya, betapa banyak orang berniat baik tetapi tidak meraihnya.
Kecuali kalau mereka adalah ahli bid‘ah atau pengekor hawa nafsu, maka itu
urusan lain (Baca: pasti berniat buruk!). Oleh karena itu, solusinya adalah
langkah-langkah berikut:
• Hendaknya dia takut kepada Allah dan mengingat bahwa
menyandarkan hadits palsu kepada Nabi shalallahu alaihi wasalamadalah dosa besar.
• Selektif dalam men-share hadits
serta meneliti keshahihannya terlebih dahulu sebelum dia menyebarkannya di
medsos.
Kedua: Solusi
bagi penerima
Bila penerima
mendapat kiriman hadits Nabi, maka hendaknya dia mengecek kebenarannya dengan
berbagai cara baik dengan mengecek kitab aslinya jika mampu, bertanya kepada
ustadz yang terpercaya dan ahli di bidang hadits atau cara-cara lainnya.
Dan hendaknya kita tidak tertipu dengan penyandaran yang
tertera di medsos. Betapa sering terjadi sebuah hadits disandarkan oleh
orang-orang jahil kepada al-Bukhari atau Muslim, padahal ternyata itu dusta
untuk melariskannya!!
Mungkin penting kami sampaikan di sini, kaidah-kaidah
umum dan global untuk mengetahui tanda-tanda hadits palsu, karena memang hadits
yang mungkar dan palsu itu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan
mengingkarinya. Rabi‘ bin Hutsaim berkata:
إَنَّ
لِلْحَدِيْثِ ضَوْءًا كَضَوْءِ النَّهَارِ تَعْرِفُهُ, وَظُلْمَةً كَظُلْمَةِ
اللَّيْلِ تُنْكِرُهُ
“Sesungguhnya
hadits itu memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga engkau dapat
melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam sehingga engkau
mengingkarinya.” (Al-Kifayah fi
Ilmi Riwayah al-Khathib
al-Baghdadi hlm. 605, al-Maudhu‘at Ibnul Jauzi 1/147)
Perlu diketahui bahwa hadits palsu itu memiliki beberapa tanda secara umum:
• Ucapan tersebut tidak menyerupai ucapan para Nabi.• Ucapan tersebut lebih menyerupai ucapan dokter dan ahli tarekat sufi.• Bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang paten dalam agama Islam.• Lucunya makna yang terkandung dalam hadits tersebut.• Tidak adanya hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang penting seperti kitab-kitab sunan dan musnad.
Ketiga: Solusi untuk ahli ilmu
Tugas para ahli ilmu, mubaligh, ustadz, dan da‘i sangat
diperlukan untuk membendung fenomena ini dengan cara:
• Menyampaikan bahaya penyebaran hadits palsu, baik dalam
khutbah Jum‘at, tulisan, kajian, website dan WhatsApp, atau TV dan radio.
• Menyebarkan hadits-hadits shahih, karena hadits palsu
itu menyebar tatkala hadits shahih kurang tersebar.
• Membuat website, WhatsApp, atau Telegram yang ditangani
oleh para penuntut ilmu yang perhatian dengan hadits untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang hadits yang beredar di medsos.
Akhirnya, kita mohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk
pembela-pembela Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dari segala hujatan dan
kedustaan yang dialamatkan kepada beliau. Amin ya Rabbal‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar