Dibawah ini adalah
tambahan pembahasan masalah harta gono-gini yang banyak diyakini oleh
masyarakat kita. Pembahasan pertama lihat : https://kudus84islam.blogspot.com/2015/12/harta-gono-gini-menurut-syariat.html
Pasal
35 UU Perkawinan tahun 1974, membagi harta dalam perkawinan menjadi tiga:
- Harta Bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami atau istri dari sebelum perkawinan. Masing-masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta benda bawaannya.
- Harta masing-masing suami atau istri yang diperoleh melalui warisan atau hadiah dalam perkawinan. Hak terhadap harta benda ini sepenuhnya ada pada masing-masing suami atau istri.
- Harta Bersama atau Gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan.
Kita
akan menggaris bawahi jenis harta yang ketiga, yaitu harta yang diperoleh
selama perkawinan, yang ditegaskan dalam UU tersebut sebagai harta bersama
(gono-gini).
Di
bagian ini, kita tidak sedang menilai undang-undang di atas. Pasal tersebut dicantumkan,
untuk menunjukkan contoh aturan yang terjadi di negara kita. Terlepas apakah
sejalan dengan syariat ataukah bertentangan dengan syariat. Dan kita bisa
memahami hal ini, karena negara kita menganut sistem pluralisme hukum. Seseorang
bisa memilih hukum apapun sesuai latar belakangnya, selama hukum itu tersedia
di negara kita.
Selanjutnya,
kami akan sebutkan beberapa mukadimah untuk bisa memahami masalah harta
gono-gini dengan baik.
Pertama, memahami istilah harta bersama
Harta
bersama berarti sebuah objek harta yang dimiliki lebih dari seorang. Sehingga
semua pemiliknya melakukan syirkah amlak (kongsi kepemilikan). Contoh harta
yang menjadi objek syirkah amlak adalah aset warisan yang belum dibagi.
Mengingat aset ini tidak bisa dipecah dengan cepat.
Kedua,
kapan seseorang memiliki harta
Seseorang
bisa memailiki harta karena banyak sebab, yang intinya kembali kepada 2 hal:
- Mengupayakan sendiri, misalnya dengan bekerja lalu mendapatkan harta, dst.
- Mendapatkan dari orang lain, baik melalui akad komersil, seperti jual beli, maupun melalui akad sosial atau non komersil seperti hibah/hadiah, nafkah, termasuk warisan.
Beberapa
anak yang ditinggal mati orang tuanya, mereka mendapatkan aset warisan. Artinya
mereka mendapatkan aset itu di luar usahanya, namun melalui akad non komersil.
Ketiga,
islam sangat menghargai hak milik
Penghargaan
itu dituangkan dalam bentuk adanya ancaman keras agar tidak mengganggu harta
orang lain.
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسِهِ
“Tidak halal harta seorang muslim (untuk diambil orang lain) kecuali
melalui kerelaannya.” (HR. Ahmad 20695 dan dishahihkan Syuaib
al-Arnauth).
Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah ketika sedang wukuf di Arafah,
إِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى
شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah dan harta sesama kalian
adalah haram untuk diganggu, sebagaimana kemuliaan hari kalian ini, kemuliaan
bulan ini, dan kemuliaan negeri ini agar tidak dinodai.” (HR. Muslim 3009)
Keempat,
tidak semua bentuk membawa harta orang lain, berarti ikut memiliki
Seorang
takmir membawa harta infaq masjid, dan dia tidak dianggap ikut memiliki harta
itu. Seorang bendahara yayasan memegang uang yayasan, dan dia tidak dianggap
ikut memiliki uang itu.
Termasuk,
seorang istri yang membawa harta suami, tidak berarti otomatis dia ikut
memilikinya. Karena
semata membawa harta orang lain, tidak dianggap turut memilikinya.
Dalil Bahwa Harta Suami Bukan Harta Istri dan Sebaliknya
Masyarakat
kita memiliki anggapan bahwa harta suami adalah harta istri, harta istri juga
harta suami. Sehingga harta apapun yang ada di sebuah rumah, adalah milik
bersama suami istri, terlepas dari siapa harta itu berasal.
Anggapan
semacam ini tentu tidak benar. Terdapat banyak dalil yang menegaskan bahwa
harta yang dihasilkan suami, menjadi milik suami dan bukan milik bersama suami
istri.
[1]
Wanita dilarang bersedekah dengan harta suaminya kecuali dengan izinnya.
Terdapat
riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ فِى الْمَرْأَةِ تَصَدَّقُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا قَالَ لاَ
إِلاَّ
مِنْ قُوتِهَا وَالأَجْرُ بَيْنَهُمَا وَلاَ يَحِلُّ لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ مِنْ
مَالِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Dari Abu Hurairah, beliau berbicara tentang wanita bersedekah dengan harta
yang ada di rumah suaminya. Kata Abu Hurairah: “Tidak boleh, kecuali bahan
makanan di rumah dan pahalanya milik mereka berdua. Dan tidak halal bagi wanita
untuk bersedekah dengan harta suaminya kecuali dengan izinnya.” (HR. Abu Daud 1690 dan kata al-Albani: Shahih Mauquf).
[2]
Wanita akan dimintai pertanggung jawaban atas aktivitasnya terhadap harta
suaminya.
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia akan ditanya tentang
apa yang dia pimpin.” (HR. Bukhari 893).
Dalam
riwayat lain dinyatakan,
وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى مَالِ زَوْجِـهَا
“Wanita adalah pemimpin terhadap harta suaminya.” (HR.
Abdurrazaq 20649)
Dalam
hadis ini, harta suami tetap disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai harta suami, dan bukan harta istri. Justru istri yang mendapatkan
amanah terhadap harta itu, akan dimintai pertanggung jawaban terhadap harta
suaminya.
[3]
Wanita berhak mendapatkan senilai nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya
Aisyah
bercerita, bahwa Hindun bintu Utbah mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam karena suaminya sangat pelit sehingga nafkahnya kurang, kecuali jika dia
mengambil lebih saat suaminya tidak tahu. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam mengizinkan kepadanya,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Silahkan kau ambil harta suamimu (diam-diam) selama itu mencukupi untuk
kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang wajar. (HR.
Bukhari 5364)
Andai
harta suami adalah harta istri, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan
mengizinkan untuk mengambil harta suaminya sepuasnya.
[4]
Istri hanya mendapat jatah warisan tidak lebih dari ¼
Jika
suami meninggal dan tidak punya anak, maka istri mendapat warisan ¼. Dan jika
suami punya anak, istri mendapat warisan 1/8.
Allah
berfirman,
وَلَهُنَّ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ
وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangmu. (QS.
an-Nisa: 12)
Ayat
ini sangat tegas menunjukkan bahwa harta suami tidak menjadi milik bersama
dengan istrinya. Andaikan harta itu menjadi milik bersama, seharusnya ketika
suami mati maka istri mendapat seluruh harta suami atau setengah dari harta
suami. Namun aturan itu tidak ada.
Demikian
pula sebaliknya, harta istri adalah hak istri, dan suami tidak turut
memilikinya. Karena itu, ketika suami hendak memanfaatkannya maka dia harus
minta izin dari istrinya. Sebagai contoh, harta mahar yang asalnya dari suami.
Ketika sudah diberikan dalam bentuk mahar, maka sepenuhnya menjadi hak istri.
Allah
menjelaskan, bagi suami yang hendak memanfaatkannya maka dia harus meminta izin
istrinya.
Allah
berfirman,
وَآَتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
mahar itu dengan sukarela, maka ambillah pemberian itu dengan menikmatinya. (QS. an-Nisa: 4)
Allah
melindungi hak istri, sehingga harta milik istri tidak boleh dimanfaatkan
suaminya, kecuali atas kerelaan sang istri.
Mengacu
kepada keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan,
- Bahwa masing-masing suami maupun istri memiliki harta yang mereka dapatkan, bahwa dari dari hasil usaha sendiri maupun pemberian orang lain. Baik yang didapatkan sebelum pernikahan maupun yang didapatkan setelah pernikahan.
- Bahwa sebatas membawa harta orang lain, tidak berarti turut memilikinya. Karena itu, suami yang membawa harta istri atau istri yang membawa harta suami, bukan berarti mereka turut memilikinya.
- Harta selama pernikahan bukanlah harta milik bersama. Namun masing-masing memiliki hartanya sebagaimana keterangan di atas.
Harta Bersama yang Sebenarnya
Namun
bukan berarti dalam sebuah keluarga tidak ada harta bersama. Harta gabungan
dari hasil berdua antara suami istri, bisa disebut harta bersama (maal
musytarak).
Beberapa
contoh harta milik bersama:
- Suami berpenghasilan dan istri juga berpenghasilan. Lalu penghasilan mereka digabungkan.
- Suami istri memiliki usaha bersama, misalnya toko yang dikelola bersama. Harta yang dimiliki keluarga ini menjadi milik bersama.
Jika
salah satu meninggal, maka dilakukan penyesuaian dulu terhadap perhitungan
hartanya masing-masing.
Inilah
pembagian harta gono-gini yang dibenarkan, yang berlaku untuk maal musytarak
(harta bersama).
Selanjutnya
baru dilakukan perhitungan warisan.
Allahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar