Keutamaan Sujud Dan Memperbanyak Do’a Di Dalamnya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
أَقْرَبُ
مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika dia sedang
sujud, maka perbanyaklah doa [HR. Muslim, no. 482]
Hadits ini menunjukkan keutamaan dan tingginya kedudukan sujud dalam
shalat, serta keutamaan memperbanyak do’a di dalamnya, karena waktu sujud
adalah saat yang dijanjikan pengabulan doa padanya. [Fat-hul Bari, 2/300 dan
2/491;’Aunul Ma’bud, 3/90 dan Faidhul Qadîr, 2/68]
Dalam hadits lain dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun (di waktu) sujud maka
bersungguh-sungguhlah untuk berdo’a padanya, karena pantas untuk dikabulkan
doamu (pada waktu itu)” [HR. Muslim, no. 479].
Keutamaan sujud ini dikarenakan sujud merupakan sikap merendahkan diri
yang utuh dan ‘ubudiyah (penghambaan diri) yang sempurna kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Juga pada saat ini seorang hamba meletakkan dan
menempelkan anggota tubuhnya yang paling mulia dan yang paling tinggi, yaitu
wajahnya ke permukaan tanah yang selalu diinjak dan dihinakan, dalam rangka
beribadah dan merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. [Syarhu Shahîh
Muslim, 4/206]
Karena besarnya keutamaan ini, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam paling sering dan paling banyak berdoa pada waktu sujud dalam shalat
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana penjelasan Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah dalam Zadul Ma’ad, 1/247 dan Imam Ibnu Hajar rahimahullah dalam
Fat-hul Bari, 11/132.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang
mendukung pendapat yang mengatakan bahwa sujud lebih utama dari pada berdiri
(ketika shalat) dan rukun-rukun shalat lainnya.” [Syarh Shahîh Muslim, 4/200]
Adapun tempat dimana kita memperbanyak doa dalam sujud dikatakan oleh
Syaikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin adalah dilakukan setelah membaca dzikir
yang khusus bagi sujud, karena dzikir tersebut merupakan kewajiban dalam
shalat. [Majmu’ Fatawa wa Rasa-il Syaikh Ibni ‘Utsaimin, 13/157]
Memperlama Sujud Terakhir
Sebagian kaum Muslimin menyangka dan mempraktekkannya dengan memperlama
sujud terakhir dalam shalatnya, padahal keutamaan yang disebutkan dalam hadits
diatas berlaku untuk semua sujud dalam shalat dan tidak hanya untuk sujud
terakhir saja. Memperlama sujud terakhir ketika salat dalam rangka memperbanyak
doa, bukanlah termasuk bagian dari sunah. Bahkan ini termasuk penyimpangan
dalam sunah. Dalam sebuah hadis dari Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu, Barra
menceritakan,
كَانَتْ
صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرُكُوعُهُ وَإِذَا
رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَسُجُودُهُ وَمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ
قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ
“Salatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara rukuknya,
i’tidalnya, sujudnya, duduk diantara dua sujud, lamanya hampir sama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin ditanya tentang sikap orang yang
memperlama sujud terakhir untuk berdoa dan istighfar. Syaikh menjawab,
“Memperlama sujud terakhir bukanlah termasuk sunah. Karena yang sesuai sunah,
setiap gerakan salat itu mendekati sama; rukuk, i’tidal, sujud, duduk diantara
dua sujud. Sebagaimana yang dinyatakan Al-Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu, ‘aku
lihat berdirinya, rukuk, sujud, dan duduk diantara dua sujud mendekati sama.”
Inilah cara yang lebih utama. Hanya saja, ada tempat untuk berdoa di selain
sujud, yaitu tasyahud. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mengajarkan tasyahud kepada Ibnu Mas’ud, nabi bersabda, “Kemudian pilihlah
doa yang dia sukai.” Maka nabi tempatkan doa, baik sedikit maupun banyak,
setelah tasyahud akhir, sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, kaset rekaman
no. 376, side B).
Adapun jika ini hanya dilakukan sekali atau dua kali dan tidak menjadi
kebiasaan maka sebagian ulama membolehkan. Setelah menyebutkan dalil keutamaan
sujud dan doa ketika sujud, dalam Fatawa Syabakah islamiyah dinyatakan:
Memperlama sujud, secara umum dibolehkan. Akan tetapi mengkhususkan sujud
terakhir atau sujud tertentu lainnya adalah perkara yang tidak dinukil dari
dalil. Jika terjadi sekali atau bertepatan dengan butuh banyak doa maka tidak
masalah, dan tidak boleh dijadikan kebiasaan. Ini jika orang tersebut shalat
sendirian. Adapun jika dia menjadi imam maka tidak selayaknya memperlama sujud,
sehingga memberatkan orang yang berada di belakangnya. (Dari:
http://www.islamweb.net/fatwa)
Kedekatan Dengan Allah
Makna kedekatan Allah Azza wa Jalla dengan hamba-Nya yang disebutkan dalam
hadits diatas adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah, “Ketahuilah bahwa (sifat) ‘kedekatan’ Allah Subhanahu wa
Ta’ala ada dua macam: umum dan khusus. ‘Kedekatan’ Allah Azza wa Jalla yang
(bersifat) umum (artinya) kedekatan-Nya dengan semua makhluk-Nya, dengan
ilmu-Nya. Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya Azza wa Jalla :
وَنَحْنُ
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya [QS. Qaf 16].
Dan ‘Kedekatan’ Allah Azza wa Jalla yang (bersifat) khusus yaitu
kedekatan-Nya dengan para hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya (dengan menerima
ibadah mereka dan memberikan ganjaran pahala yang terbaik), dengan para hamba
yang berdoa kepada-Nya dengan mengabulkan permohonan mereka, dan dengan para
hamba yang mencintai-Nya (dengan memuliakan dan merahmati mereka). Inilah yang
dimaksud dalam firman-Nya Azza wa Jalla:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ
Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah)
bahwasanya Aku maha dekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila dia berdoa kepada-Ku [QS. Al-Baqarah 186].
Kedekatan Allah ini mengandung arti kelembutan-Nya (limpahan kebaikan
dari-Nya), pengabulan-Nya terhadap doa mereka dan pemenuhan-Nya terhadap segala
keinginan mereka. Oleh karena itu, nama-Nya al-Qarîb (yang maha dekat)
digandengkan-Nya dengan nama-Nya al-Mujîb (yang maha mengabulkan doa). [Kitab
Taisîrul Karîmirrahman, hlm. 384]
Doa Sujud Selain Bahasa Arab
Banyak kaum Muslimin tidak bisa berbahasa Arab, sehingga mereka memakai
bahasa daerah mereka sendiri jika mereka berdoa dalam sujudnya. Bagaimana hukum
perbuatan mereka ini?.
Ulama berselisih pendapat tentang hukum berdoa ketika sujud dengan
menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Mazhab Hanafiyah menganggap bahwa berdoa
dengan selain bahasa Arab, baik ketika shalat maupun di luar shalat, adalah
makruh, karena Umar bin Khattab melarang “rathanatal a’ajim” (berbicara
dengan selain bahasa arab).
Sementara, dalam Mazhab Malikiyah diharamkan untuk berdoa dengan selain
bahasa Arab yang maknanya jelas. Allah berfirman, yang artinya, “Tidaklah
Kami mengutus seorang rasul pun kecuali (mereka berdakwah) dengan bahasa
kaumnya.” (QS. Ibrahim:4)
Dalam Mazhab Syafi’iyah, masalah ini dirinci. Mereka menjelaskan bahwa
berdoa dalam shalat ada dua: doa yang ma’tsur (terdapat dalam Alquran dan hadis)
dan doa yang tidak ma’tsur (tidak ada dalam Alquran dan hadits). Doa yang ma’tsur tidak boleh diucapkan dengan bahasa lain, selain
bahasa Arab.
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah
diperbolehkan berdoa dengan menggunanakan bahasa selain bahasa Arab. Pendapat
ini dikuatkan oleh Komite Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa Arab Saudi.
Dalam suatu kesempatan, mereka ditanya, “Bolehkah seseorang berdoa dalam
shalatnya dengan bahasa apa pun? Apakah ini membatalkan shalat?”
Mereka menjawab, “… Seseorang diperbolehkan berdoa kepada Allah di dalam
shalatnya dan di luar shalatnya dengan menggunakan bahasa Arab atau selain
bahasa Arab, sesuai dengan keadaan yang paling mudah menurut dia. Ini tidaklah
membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain bahasa Arab. Namun,
ketika dia hendak berdoa dalam shalat, selayaknya dia memilih doa yang terdapat
dalam hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam rangka
mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ….” (Fatwa Lajnah Daimah, volume
24, nomor 5782)
Sementara itu, Syekh Abdul Karim Al-Hudhair menyatakan bahwa seseorang
boleh berdoa dengan selain bahasa Arab jika dia tidak mampu berbicara dengan
bahasa Arab. Setiap muslim dituntut untuk mempelajari bahasa Arab, sekadar
sebagai bekal untuk beribadah dengan sempurna. (Fatwa Syekh Abdul Karim
Al-Hudhair, no. 4337)
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar