Pagi ini (1/3/2018) dating sebuah pertanyaan dari seorang
rekan. Rekan ini tadi malam mengikuti sebuah pengajian di masjid dekat
rumahnya, dan pengen klarifikasi atas materi yang disampaikan itu. Dengan
dialek kudus yang cukup kental dia bertanya: “mau mbengi pas ngaji, mbahas
kitab....lali kitab opo yo ( nek gak salah riyadussholihin hadist bab
neraka.....nek gak salah yo...) jare paman nabi disebutke masuk surga setelah
nok neroko disik. Bener tah ora ngono iku?”
Ternyata syubhat bahwa paman nabi
yang bernama Abi Thalib masuk surge, adalah syubhat yang sudah lama tersebar.
Seperti yang ditanyakan juga dibawah ini.
Tanya:
Saya
membaca buku tentang Ali bin Abi Thalib.
Dalam
Bab 5 tentang Keluarga Hasyim, penulis menyampaikan kontroversi tentang
keislaman Abu Thalib. Dia mengutip Dr. Muhammad at Tawanjik, yang
menulis, mengumpulkan dan mempelajari syair-syair Abu Talib dalam antologi
Diwan Abi Talib. di hal 23 penulis menyatakan,
“Ada
tiga pendapat tentangkeislaman Abu Talib. Satu golongan menganggap ia mati
sebagai musyrik; golongan kedua meyakinkan ia meninggal sebagai Muslim; yang
lain mengatakan ia sudah Islam dan beriman tetapi menyembunyikan keimanannya.”
(cetakan miring untuk menandai kutipan sesuai asli)
Lebih
lanjut, pada hlm yang sama penulis mengutip keterangan Ibn Abi al-Hadid dalam
ulasannya mengenai Nahjul Balagah menengaskan:
“Secara
ringkas, berita-berita tentang dia sudah menganut Islam banyak sekali, dan sumber
yang mengatakan dia meninggal masih dalam kepercayaan masyarakatnya juga tidak
sedikit.”
“Golongan
yang mengatakan dia sudah Islam berpendapat, bahwa ketika Muhammad
sallallahu’alaihi wasallam diutus sebagai nabi, Abu Talib sudah masuk Islam
sudah percaya, tetapi dia tidak mau berterus terang menyatakan keimanannya.
Bahkan menyembunyikannya suoaya dapat mengadakan pembelaan kepada Rasullullah
sallallahu ‘alaihi wasallam. Alasannya kalu ia menyatakan keislamannya, ia akan
sama seperti Muslimin yang lain, Quraisy akan menjauhi dan membencinya. Mereka
mengemukakan bukti-bukti keislamannya itu, antara lain, perlindungannya
terhadap terhadap kemenakannya itu, ia mau menderita bersama-sama,
pernyataannya dalam syair-syairnya dengan sumber yang kuat dan saat ia dalam
sekarat Abbas mendengar ia mengucapkan kalimat syahadat, La ilaha illa Allah.”
(dikutip sesuai asli)
Mohon
pencerahannya.
Terima
kasih
Jawaban:
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Sebelumnya
kami perlu sampaikan bahwa pembahasan tentang status islam dan tidaknya Abu
Thalib, bukan dalam rangka main vonis takfir atau kapling-kapling neraka untuk
orang lain. Apalagi jika dianggap membenci ahlu bait Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jelas ini tuduhan yang sangat jauh. Kita beriman bahwa
Abu Lahab mati kafir, karena Allah mencela habis di surat al-Lahab, meskipun
Abu Lahab adalah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan jelas kita tidak boleh mengatakan, mengkafirkan Abu Lahab berarti membenci
ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita
membahas status kekafiran Abu Thalib, dalam rangka meluruskan pemahaman, agar
sesuai dengan dalil hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan bukan mengikuti klaim kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Terkait status Abu
Thalib, terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa dia mati kafir,
Pertama, peristiwa
kematian Abu Thalib,
Dari Musayib bin
Hazn, beliau menceritakan,
أَنَّهُ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الوَفَاةُ جَاءَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ
بْنَ هِشَامٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ المُغِيرَةِ، قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ: ” يَا عَمِّ،
قُلْ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ”
فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ؟ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ المَقَالَةِ
حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ: هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ
المُطَّلِبِ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ
لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ» فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ: {مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ} [التوبة: 113] الآيَةَ
Ketika Abu Thalib
hendak meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya.
Di dekat Abu Thalib, beliau melihat ada Abu Jahal bin Hisyam, dan Abdullah bin
Abi Umayah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
kepada pamannya, ”Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallah, kalimat yang aku
jadikan saksi utk membela paman di hadapan Allah.” Namun Abu Jahal dan Abdullah
bin Abi Umayah menimpali, ’Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul
Muthalib?’
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam terus mengajak pamannya untuk mengucapkan kalimat
tauhid, namun dua orang itu selalu mengulang-ulang ucapannya. Hingga Abu Thalib
memilih ucapan terakhir, dia mengikuti agama Abdul Muthalib dan enggan untuk
mengucapkan laa ilaaha illallah.
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad, ”Demi
Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Allah, selama aku tidak
dilarang.”
Lalu Allah
menurunkan firman-Nya di surat at-Taubah: 113. dan al-Qashsas: 56. (HR. Bukhari
1360 dan Muslim 24)
Firman Allah di
surat at-Taubah:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
”Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113).
Firman Allah di
surat al-Qashsas:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS.
Al-Qashsas: 56)
Kedua,
kesedihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan kematian Abu
Thalib yang tidak masuk islam.
Terkait
sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kematian Abu
Thalib, turun dua ayat di atas.
1.
Firman Allah di surat at-Taubah:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
”Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113).
2. Firman Allah
di surat al-Qashas:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS.
Al-Qashsas: 56)
Ibnu
Katsir mengutip keterangan beberapa ulama tafsir sahabat dan Tabiin,
قال ابن عباس، وابن عمر، ومجاهد، والشعبي،
وقتادة: إنها نزلت في أبي طالب حين عَرَضَ عليه رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن
يقول: “لا إله إلا الله” فأبى عليه ذلك. وكان آخر ما قال: هو على ملة عبد المطلب.
Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, as-Sya’bi, dan Qatadah mengatakan, ayat ini turun
berkaitan dengan Abu Thalib, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak
dia untuk mengucapkan laa ilaaha illallah, namun dia enggan untuk mengucapkannya.
Dan terakhir yang dia ucapkan, bahwa dia mengikuti agama Abdul Muthalib.
(Tafsir Ibn Katsir, 6/247).
Adanya
dua ayat di atas, merupakan bukti sangat nyata bahwa Abu Thalib mati dalam
kondisi tidak islam.
Ketiga,
beberapa hadis yang menegaskan Abu Thalib mati kafir
1.
Hadis dari Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, beliau
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ، فَإِنَّهُ كَانَ
يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟
“Apakah
anda tidak bisa menolong paman anda?, karena dia selalu melindungi anda dan
marah karena anda.”
Jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ
أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
”Dia
berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak
neraka.” (HR. Ahmad 1774 dan Bukhari 3883).
2. Dari Abu
Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذُكِرَ عِنْدَهُ عَمُّهُ أَبُو طَالِبٍ، فَقَالَ:
«لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ
مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ»
Suatu
ketika ada orang yang menyebut tentang paman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yaitu Abu Thalib di samping beliau. Lalu beliau bersabda,
“Semoga dia
mendapat syafaatku pada hari kiamat, sehingga beliau diletakkan di permukaan
neraka yang membakar mata kakinya, namun otaknya mendidih.” (HR. Bukhari 6564,
Muslim 210, dan yang lainnya).
3.
Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau
mengatakan,
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ أَبِي طَالِبٍ هَلْ تَنْفَعُهُ نُبُوَّتُكَ؟
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang Abu Thalib, apakah status kenabian
anda bisa bermanfaat baginya?
Jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَعَمْ، أَخْرَجْتُهُ مِنْ غَمْرَةِ جَهَنَّمَ
إِلَى ضَحْضَاحٍ مِنْهَا
”Bisa
bermanfaat, aku keluarkan dia dari kerak jahanam ke permukaan neraka” (HR.
Abu Ya’la al-Mushili dalam Musnadnya no. 2047).
4. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو
طَالِبٍ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
”Penduduk
neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Thalib. Dia diberi dua sandal
yang menyebabkan otaknya mendidih.” (HR. Ahmad 2636,
Muslim 212, dan yang lainnya).
Mengapa Abu Thalib malah disiksa?
Jika
Abu Thalib mati muslim, berhasil mengucapkan laa ilaaha
illallah, maka status Abu Thalib adalah sahabat yang husnul
khotimah. Namun Mengapa Abu Thalib malah disiksa?
Jika
dia muslim, tentu beliau tidak akan mendapatkan hukuman dengan kondisi
mengerikan seperti itu. Karena ketika orang masuk islam, semua dosa kekufuran
di masa silam akan menjadi diampuni Allah. Sehingga jawabannya, dia disiksa
karena dia meninggal dalam kondisi kafir.
Dia Penolong Dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kita
sepakat hal ini. Abu Thalib memiliki jasa besar, membantu dan melindungi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dakwah di Mekah.
Inipun diakui para sahabat. Dan karena jasa besar Abu Thalib, para sahabat
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah beliau
bisa menyelamatkan Abu Thalib?.
Ini
menunjukkan bahwa para sahabat telah memahami bahwa Abu Thalib mati kafir.
Karena jika Abu Thalib mati muslim, tentu para sahabat tidak akan menanyakan
hal itu. Kita tidak jumpai, sahabat bertanya, apakah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi syafaat kepada Khadijah, Hamzah, Ruqayah
atau Ummu Kultsum?, para keluarga beliau yang meninggal mendahului beliau.
Karena
mereka semua mati muslim. Berbeda dengan Abu Thalib, para sahabat
mempertanyakan apakah posisi beliau bisa memberikan pertolongan kepada Abu
Thalib yang membantu sewaktu dakwah di Mekah.
Kesaksian Abbas?
Anda
bisa perhatikan hadis dari Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu,
ketika beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ، فَإِنَّهُ كَانَ
يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟
“Apakah
anda tidak bisa menolong paman anda?, karena dia selalu melindungi anda dan
marah karena anda.”
Kita
bisa memahami, Abbas bertanya demikian, karena Abbas juga meyakini bahwa Abu
Thalib mati kafir.
Jawaban
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ
أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
”Dia
berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak
neraka.” (HR. Ahmad 1774 dan Bukhari 3883).
Hadis
ini diriwayatkan Imam Ahmad, Bukhari, dan yang lainnya. Inilah keterangan yang
lebih meyakinkan tentang sikap Abbas terhadap kematian Abu Thalib. Lalu dimana
riwayat yang menyebutkan keterangan Abbas bahwa Abu Thalib telah mengucapkan
laa ilaaha illallaahdi detik kematiannya?
Tidak
lain, keterangan ini adalah kedustaan Syiah, untuk menguatkan klaim mereka
tentang keislaman Abu Thalib.
Keempat,
tentang kitab Nahjul Balaghah
Penulis
kitab ini Muhamad bin Husain as-Syarif ar-Ridha, tokoh syiah abad 5 H. Kitab
ini berisi khutbah, nasehat, dan pesan-pesan sahabat Ali bin Abi Thalib. Namun
uniknya, semuanya disampaikan tanpa sanad. Bahkan banyak ulama yang menegaskan
bahwa isi buku Nahjul Balaghah adalah kedustaan atas nama Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu. Berikut beberapa keterangan mereka,
1.
Keterangan Imam ad-Dzahabi dalam al-Mizan,
ومن طالع كتابه ” نهج البلاغة ” ؛ جزم بأنه
مكذوب على أمير المؤمنين علي (ع)، ففيه السب الصراح والحطُّ على أبي بكر وعمر،
وفيه من التناقض والأشياء الركيكة والعبارات التي من له معرفة بنفس القرشيين
الصحابة، وبنفس غيرهم ممن بعدهم من المتأخرىن، جزم بأن الكتاب أكثره باطل
Orang
yang membaca kitab ‘Nahjul Balaghah’ dia bisa memastikan bahwa itu kedustaan
atas nama Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dalam kitab ini
terdapat celaan dan penghinaan terang-terangan kepada Abu Bakr dan Umar.
Kemudian terdapat pertentangan dan berbagai macam pendapat sangat lemah, serta
ungkapan yang jika dinilai oleh orang yang memahami karakter sahabat Quraisy,
karakter ulama lainnya setelah mereka, maka dia bisa menyimpulkan bahwa kitab
ini umumnya adalah kebatilan. (Mizan al-I’tidal, 3/124).
2. Keterangan
Syaikhul Islam,
فأكثر الخطب التي ينقلها صاحب “نهج البلاغة
“كذب على علي، الإمام علي (ع) أجلُّ وأعلى قدرا من أن يتكلم بذلك الكلام، ولكن
هؤلاء وضعوا أكاذيب وظنوا أنها مدح، فلا هي صدق ولا هي مدح
Umumnya
khutbah yang disebutkan penulis ‘Nahjul Balaghah’ adalah kedustaan atas nama
Ali bin Abi Thalib. Imam Ali terlalu mulia untuk menyampaikan khutbah demikian.
Namun mereka (syiah) membuat kedustaan dan mereka yakini sebagai bentuk pujian.
Khutbah ini tidak jujur dan bukan pujian. (Minhajus Sunah, 8/28).
3. Keterangan
dalam kitab Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyarah,
ومن مكائدهم – أي الرافضة – أنهم ينسبون إلى
الأمير من الروايات ما هو بريء منه ويحرفون عنه، فمن ذلك “نهج البلاغة” الذي ألفه
الرضي وقيل أخوه المرتضى، فقد وقع فيه تحريف كثير وأسقط كثيرا من العبارات حتى لا
يكون به مستمسك لأهل السنة
Termasuk
penipuan mereka – orang syiah –, mereka mengklaim berbagai riwayat atas nama
Amirul Mukminin Ali, yang beliau sendiri berlepas diri darinya, sementara
mereka menyimpangkannya. Diantaranya kitab ‘Nahjul Balaghah’ yang ditulis oleh
ar-Ridha, ada yang mengatakan saudaranya, yaitu al-Murtadha. Dalam buku ini
terdapat banyak penyimpangan riwayat dan banyak ungkapan yang tidak layak,
sehingga kitab ini tidak dijadikan rujukan dalam ahlus sunah. (Mukhtashar
at-Tuhfah al-Itsna Asyarah, hlm 36).
Allahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar