Memang,
amalan seseorang tergantung dari niatnya, sebagaimana terdapat dalam sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَاالأَعْمَالُ بِا لِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِ
ئٍ هَانَوَى
“Sesungguhnya,
amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuatu yang
diniatkannya.” (H.R. Al-Bukhari, no. 1)
Kendati
demikian, pernyataan yang berdalih dengan hadis ini, untuk menghalalkan perkara
yang diharamkan Allah, merupakan satu kesalahan besar dan jauh dari kebenaran.
Bagaimana tidak, setiap pelaku dosa akan menyatakan bahwa dirinya tidak berniat
berbuat dosa, dan yang penting tujuannya baik. Orang mencuri akan menyatakan
bahwa ia mencuri untuk tujuan yang baik, yaitu memberi nafkah kepada
keluarganya. Akhirnya, hancurlah syariat dengan dalih seperti ini.
Juga seluruh pelaku bid'ah
berniat baik tatkala melakukan bid'ahnya. Namun perkaranya sebagaimana
perkataan Ibnu Mas'uud radhiallahu 'anhu :
وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
"Betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak meraihnya"
Niat
baik??, tidak cukup!!!
Suatu amalan tidak bisa dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang sholeh dan diterima oleh Allah kecuali jika memanuhi dua persyaratan. Harus dibangun diatas niat yang ikhlas dan harus sesuai dengan syari’at Rasulullah. Jika salah satu dari dua perkara ini tidak ada maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah walaupun nampaknya seperti amalan sholeh.
Ibadah membutuhkan keikhlasan (pemurnian niat) karena sesungguhnya ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah berarti dia tidak memurnikan niatnya. Demikian juga ibadah membutuhkan pemurnian dalam mencontohi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah ada satu ibadahpun kecuali harus sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang ibadahnya tidak berdasarkan contoh yang diberikan Rasulullah berarti ia tidak memurnikan teladan kepada Rasulullah. Inilah konsekuensi dari syahadatain yang merupakan pondasi setiap muslim.
Syahadat yang pertama “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita menyembah (menyerahkan ibadah kita) kepada selain Allah.
Allah berfirman:
﴿وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾
(البينة: من الآية5)
“Padahal
mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”
Syahadat
yang kedua “Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”,
konsekuensinya tidak boleh kita mengambil syariat kecuali dari syari’at
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang membuat syari’at baru
yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka berarti dia tidak memurnikan
syahadatnya kepada Rasulullah dan syari’at barunya itu tertolak dan tidak
diterima oleh Allah meskipun niatnya baik, bahkan ia berhak mendapatkan dosa. Oleh
karena itu Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa
yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak” (HR
Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amalan yang tidak diperintahkan oleh kami maka amalan
tersebut tertolak” (HR Muslim no 1718)
Berikut
ini beberapa bukti bahwa niat yang baik saja tidak cukup untuk menjadikan suatu
amalan adalah amalan sholeh yang diterima di sisi Allah.
Contoh
yang pertama
عَنِ الْبَرَاء بْنِ عَازِبٍ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَالَ : مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ (وفي رواية:فَلْيَذْبَحْ أُخرى مَكَانَهَا).
فقام أبو بردة بن نِيَارٍ فقال : يا رسولَ الله واللهِ لَقَدْ
نَسَكْتُ قبلَ أنْ أَخْرُجَ إلى الصَّلاةِ وَعَرَفْتُ أن اليومَ يومُ أكلٍ وشُرْبٍ
فَتَعَجَّلْتُ وأكلتُ وأطعمتُ أهْلِي وَجِيْرَانِي، فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ
Dari
Al-Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkhutbah kepada kami pada waktu hari ‘iedul adha, lalu ia berkata,
“Barangsiapa yang sholat ‘ied kemudian menyembelih hewan kurban maka dia telah
benar dan barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat ‘ied maka sembelihannya
hanyalah sembelihan biasa (bukan sembelihan kurban) (Dalam riwayat yang lain
(HR Al-Bukhari no 985) “Maka hendaknya ia menyembelih sembelihan yang lain
sebagai gantinya!)”. Abu Burdah bin Niyaar berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah,
demi Allah aku telah menyembelih sembelihanku sebelum aku keluar untuk shalat
‘Ied, dan aku mengetahui bahwasanya hari ini adalah hari makan minum maka
akupun bersegera (menyembelihnya) lalu memakannya dan aku memberi makanan
kepada keluargaku dan para tetanggaku”. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa
sallam berkata, “Daging sembelihanmu itu hanyalah daging biasa (bukan daging
kurban)”( HR Al-Bukhari no 983)
Dalam
riwayat yang lain Abu Burdah berkata,
وَ أَحببْتُ أن تَكون شَاتِي أولَ مَا يُذْبَح فِي بيتِي
“Aku ingin agar kambingku adalah kambing yang
pertama kali disembelih di rumahku” (HR Al-Bukhari no
955)
Dalam
riwayat yang lain (HR Muslim 3/1552) Abu Burdah berkata,
وَإنِّي عَجَّلْتُ نَسِيْكَتِي لِأُطْعِمَ أهلي وجيراني وأهلَ
دَاري
“Ya
Rasulullah, aku bersegera memotong sembelihanku untuk memberi makan keluargaku,
para tetanggaku, dan para familiku!”
Berkata
Ibnu Hajar, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, “Hadits ini menunjukan
bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak
sesuai dengan syari’at maka tidak sah”” (Fathul Bari 10/22, syarh hadits no
5557)
Lihatlah
bagaimana niat baik Abu Burdah tidak menjadikan sembelihan kurbannya diterima
padahal ia melakukannya bukan karena sengaja melanggar syari’at Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam, namun ia melakukannya karena tidak tahu akan hal
itu. Padahal kalau kita renungkan bisa jadi ide Abu Burdah tersebut merupakan
ide yang sangat cemerlang, apalagi di zaman kita sekarang ini yang terkadang
sholat ‘iednya lama, kalau para jama’ah pulang dari sholat dalam keadaan lapar
dan hewan sembelihan kurban telah siap dihidangkan (karena telah disembelih
sebelum sholat ‘ied) maka sungguh baik. Namun ide yang cemerlang ini melanggar
syari’at Nabi dan meskipun disertai dengan niat yang baik tidak bisa menjadikan
amalan tersebut diterima.
Contoh
yang kedua
عن أنس قال : لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبّ إِليهم مِنْ رسولِ
الله صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّم قال وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ
يَقُوْمُوا لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لَذَلِكَ
Anas
bin Malik berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini yang lebih mereka (para
sahabat) cintai melebihi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, namun jika
mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa
Rasulullah membenci akan hal itu” (HR At-Thirmidzi no 2763,
Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya (5/234), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam As-Shahihah (1/698))
Berkata
Imam An-Nawawi, “…Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam khawatir akan menimpa
para sahabat fitnah jika mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan
dirinya, maka beliau membenci jika para sahabat berdiri dikarenakan akan hal
ini sebagaimana sabda beliau shalallahu 'alaihi wa sallam : لا تُطْرُوْنِي “Janganlah
kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku…” (Fathul Bari 11/64, syarh hdits no
6262)
Setiap
kita mengetahui bahwa sifat dasar manusia adalah ingin dihargai dan dihormati.
Oleh karena itu banyak orang yang senang jika tatkala ia masuk dalam ruangan
kemudian para hadirin yang tadinya dudukpun berdiri menghormatinya. Bahkan hal
ini dipraktekan dalam lembaga-lembaga perkantoran, hingga dilingkungan
pendidikan. Bahkan tak jarang seorang guru marah jika ia masuk ke dalam kelas
kemudian murid-muridnya tidak berdiri menghormatinya. Oleh karena itu merupakan
ide yang cemerlang jika datang seseorang yang terhormat lantas kita berdiri
untuk menghormatinya, tentunya ia akan merasa senang. Demikian juga hal ini
terlintas di benak para sahabat untuk berdiri menghormati Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam jika ia datang. Namun ide yang cemerlang ini mereka
timbang dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Ternyata sunnah
Nabi menunjukan bahwa Nabi tidak suka akan hal itu, maka para sahabatpun
tidak mempraktekannya.
Contoh
yang ketiga
جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه
وسلم يسألون (وفي رواية: سألوا أزواج النبي صلى الله عليه وسلم
عن عمله في السر) عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم فلما أخبروا
كأنهم تُقَالُّوْهَا فقالوا وأين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم قد
غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أمَّا أنا فإني أصلي الليل أبدا
وقال آخر انا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا أمَا
والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن
رغب عن سنتي فليس مني
Dari
Anas bin Malik, Ia berkata, : Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi (Dalam
riwayat Muslim: “Mereka bertanya kepada istri-istri Nabi tentang amalan Nabi
yang tidak terang-terangan). Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut
sedikit, maka mereka berkata, “Dimanakah kita jika dibanding dengan Nabi?, ia
telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan
datang”. Seorang diantara mereka berkata, “Adapun aku maka aku akan sholat
malam selama-lamanya (tidak tidur malam)”, yang lainnya berkata, “Saya akan
puasa dahar dan aku tidak akan pernah buka”, dan berkata yang lainnya, “Aku
akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya”. Lalu
datanglah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Apakah kalian yang telah berkata
demikian dan demikian?, ketahuilah, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang
yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku
berpuasa dan berbuka, aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur, dan aku
menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan
termasuk dariku” (HR Al-Bukhari no 5063, dalam riwayat Muslim
(2/1020)
وقال بعضهم لا آكل اللحم وقال بعضهم لا أنام على فراش
“Berkata
salah seorang dari mereka, “Aku tidak akan memakan daging”, berkata yang lain,
“Aku tidak akan tidur di atas tempat tidur” )
Ibnu
Hajar berkata “Dan dalam riwayat yang mursal dari Sa’id ibnul Musayyib sebagaimana
dikeluarkan oleh Abdurrozaq dalam musonnafnya (6/167) bahwasanya tiga orang
tersbut adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan Utsman bin
Madz’un” (Fathul Bari 9/132)
Kalau kita perhatikan mereka tiga orang tersebut menghendaki kebaikan, bahkan sama sekali mereka tidak menghendaki keburukan. Apakah perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan menjauhi para wanita” karena ia lemah syahwat??, tentu tidak, namun tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan sholat malam selama-lamanya” menunjukan ia akan sungguh-sungguh bermujahadah melawan hawa nafsunya demi beribadah sujud kepada Allah. Mereka memandang bahwa kehidupan dunia ini fana lalu merekapun mengedepankan hak Allah dari pada kesenangan kehidupan duniawi. Tatkala mereka mengetahui ibadah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang telah dimaafkan dosa-dosa beliau baik yang telah lampau maupun yang akan datang, maka mereka berkesimpulan bahwa ibadah mereka harus lebih banyak dari apa yang telah diamalkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam karena tidak ada jaminan ampunan dosa-dosa mereka yang telah lampau apalagi dosa-dosa yang akan datang. Mereka beranggapan bahwa barangsiapa yang tidak dijamin ampunan dosa-dosanya maka harus berlebih-lebihan dalam beribadah dengan harapan memperoleh ampunan Allah dengan ibadah yang berlebih-lebihan tersebut. (Lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Al-Fath 9/132). Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membantah persangkaan mereka dengan berkata إني لأخشاكم لله وأتقاكم له “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian” untuk menjelaskan bahwa bukan merupakan suatu kelaziman bahwa orang yang lebih takut kepada Allah (karena belum jelas jaminan ampunan dosa) harus berlebih-lebihan dalam beribadah, karena bagaimanapun juga Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (walaupun telah diampunkan dosa-dosa) beliaulah yang lebih takut kepada Allah dibandingkan mereka, namun beliau shalallahu 'alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan dalam beribadah. (Lihat Fathul Bari 9/132) Nabi tidak berkata kepada mereka “Bersungguh-sungguhlah, teruskan niat baik kalian semoga Allah memberi taufik kepada kalian dan memudahkan kesungguhan kalian dalam beribadah kepada Allah”, namun Nabi sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka. Nabi tidak memandang niat baik mereka, karena amal yang hendak mereka lakukan tidak sebagaimana yang dicontohkan Nabi. Bahkan Nabi membantah perkataan mereka satu persatu, beliau berkata “aku berpuasa dan berbuka” untuk membantah perkataan orang yang pertama, “aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur” untuk membantah perkataan orang yang kedua, “dan aku menikahi para wanita” untuk membantah perkataan orang yang ketiga, kemudian Nabi mengakhiri bantahannya dengan perkataannya yang keras “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia tidak termasuk dariku”
Contoh
yang keempat
أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَنْبَأَنَا عَمْرُو
بْنُ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : كُنَّا نَجْلِسُ
عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا
خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى
الأَشْعَرِىُّ فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ؟
قُلْنَا : لاَ ، فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا
إِلَيْهِ جَمِيعاً ، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ ، وَلَمْ أَرَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً. قَالَ : فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ
فَسَتَرَاهُ - قَالَ - رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً حِلَقاً جُلُوساً
يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ ، فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ ، وَفِى أَيْدِيهِمْ حَصًى
فَيَقُولُ : كَبِّرُوا مِائَةً ، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً ، فَيَقُولُ : هَلِّلُوا
مِائَةً ، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ، وَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ
مِائَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً
انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ
يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ.
ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ ،
فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا
: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ
وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ
يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا
أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ
وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى
فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ
مُفْتَتِحوا بَابِ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ
يُصِيبَهُ ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا
أَدْرِى لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ ، فَقَالَ
عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا
يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ
Berkata
Imam Ad-Darimi dalam sunannya, “Telah mengabarkan kepada kami Al-Hakam bin
Al-Mubarok, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Umar bin Yahya”, ia
berkata, “Aku mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya”, ia berkata,
“Kami duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat subuh, jika
ia keluar dari rumahnya maka kamipun berjalan bersamanya menuju mesjid. Lalu
datang Abu Musa Al-As’ari dan berkata, “Apakah Abu Abdirrohman (yaitu Abdullah
bin Mas’ud) telah keluar menemui kalian?”, kami katakan, “Belum”, maka iapun
duduk bersama kami hingga keluar Abdullah bin Mas’ud. Tatkala Abdullah bin
Mas’ud keluar dari pintunya kamipun semua berdiri menuju kepadanya, lalu Abu
Musa berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Ya Abu Abdirrahman, aku baru saja
melihat suatu perkara yang aku ingkari di mesjid, namun menurutku
–alhamdulillah- adalah perkara yang baik”. Abdullah berkata, “Perkara apakah
itu?”, Abu Musa berkata, “Jika engkau panjang umur maka engkau akan melihatnya,
aku telah melihat di mesjid sekelompok manusia yang duduk berhalaqoh-halaqoh
menunggu sholat. Di setiap halaqoh ada seorang (yang memimpin mereka) dan
ditangan mereka ada kerikil-kerikil. Maka orang ini berkata, “Bertakbirlah
seratus kali!” maka merekapun bertakbir seratus kali. Ia berkata, “Bertahlillah
seratus kali!” maka merekapun bertahlil seratus kali. Ia berkata, “Bertasbihlah
seratus kali!” maka merekapun bertasbih seratus kali.”. Abdullah berkata, “Apa
yang kau katakan kepada mereka?”, Abu Musa berkata, “Aku tidak mengatakan
sesuatupun karena menanti pendapatmu atau perintahmu”. Berkata Abdullah,
“Kenapa engkau tidak memerintahkan mereka untuk menghitung-hitung
kesalahan-kesalahan mereka dan engkau menjamin bahwa kebaikan-kebaikan mereka
tidak akan hilang!”. Kemudian berjalanlah Abdullah bin Mas’ud dan kamipun
berjalan bersamanya hingga ia mendatangi salah satu dari halaqoh-halaqoh
tersebut dan iapun berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Apa ini yang sedang
kalian lakukan?”, mereka berkata, “Ini adalah kerikil-kerikil yang kami gunakan
untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih”. Abdullahpun berkata, “Hitung saja
kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) kalian maka aku akan menjamin bahwa tidak ada
sedikitpun kebaikan kalian yang hilang. Wahai umat Muhammad sungguh cepat
kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi kalian masih banyak tersebar, pakaian Nabi
kalian masih belum usang dan tempayan-tempayan beliau masih belum pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di
tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik
daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”.
Mereka berkata, “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya
yang kami inginkan adalah kebaikan”. Abdullah berkata, “Dan betapa banyak orang yang
menghendaki kebaikan namun ia tidak meraihnya. Sesungguhnya
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami bahwa
akan ada suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melewati
kerongkongan mereka (yaitu hanya di mulut dan tidak sampai ke hati-pen), demi
Allah aku khawatir kabanyakan mereka adalah kalian”, kemudian Abdullahpun
berpaling dari mereka. Berkata ‘Amr bin Salamah, “Saya melihat bahwa kebanyakan
mereka yang mengadakan halaqoh-halaqoh tersebut telah membela khowarij melawan
kami tatkala perang An-Nahrowan” (HR AD-Darimi 1/69, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam As-Shahihah 5/11)
Perhatikanlah
bagaimana kisah ini. Kalau sekilas diperhatikan apa yang mereka lakukan adalah
hal yang baik, mereka menunggu sholat sambil berdzikir kepada Allah. Bisa saja
seseorang berkata, “Jika seseorang berdzikir sendirian sambil menunggu sholat
bisa jadi dia ngantuk, berbeda jika berdzikir dilakukan secara berjamaah dengan
satu suara, tentunya menimbulkan semangat dan menghilangkan kebosanan, jadi apa
yang mereka lakukan adalah ide yang sangat baik dan cemerlang”. Sebagaiamana
perkataan mereka menjelaskan niat mereka melakukan hal ini “Ya Abu Abdirrahman,
sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Namun ide cemerlang ini
tatkala tidak sesuai dengan sunnah maka bukan merupakan syari’at Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam, Kalau ia merupaka syari’at Rasulullah
tentunya Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya, karena
merupakan kewajiban bagi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk
menyampaikan semua perkara syari’at, semua kebaikan yang bisa mendekatkan
umatnya ke surga dan mengingatkan umatnya dari semua perkara yang bisa
mengantarkan mereka ke neraka. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبْيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ
أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ
مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
((Sesungguhnya
tidak seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan umatnya
kepada kebaikan yang ia ketahui bagi mereka dan mengingatkan umatnya dari
kejelakan yang ia ketahui)) (HR Muslim 3/1472 no
1844)
Seluruh
kebaikan yang diketahui Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam maka wajib baginya
untuk menyampaikannya kepada umatnya. Oleh karena itu jika seseorang menganggap
bid’ah itu baik maka ia telah menuduh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah
berkhianat kepada Allah karena berarti ada syari’at yang diketahui oleh Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam namun tidak ia sampaikan kepada umatnya.
Berkata
Imam Malik:
مَنْ أَحْدَثَ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ
يَكُنْ عَلَيْهِ سَلَفُهَا فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالىَ يَقُوْلُ ﴿
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ
لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ
يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Barangsiapa
yang mengada-adakan perkara yang baru di umat ini yang tidak pernah dilakukan
oleh orang-orang terdahulu maka dia telah menuduh bahwa Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam telah mengkhianati risalah Allah karena Allah telah berfirman :
﴿
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3)
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (QS.
5:3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada masa Rasulullah) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Kalau
hal itu merupakan kebaikan tentu Rasulullah telah mengajarkannya kepada
umatnya. Jika hal yang paling sepele saja (seperti adab makan, adab minum,
sampai adab buang air) Rasulullah mengajarkannya apalagi hal-hal yang berkaitan
dengan ibadah yang sangat agung yaitu berdzikir kepada Allah, tentunya
Rasulullah lebih memperhatikannya untuk mengajarkannya kepada ummatnya. Oleh
karena itu Abdullah bin Mas’ud mengatakan kepada mereka “Demi Dzat Yang jiwaku
berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu
agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka
pintu kesesatan”. Karena perbuatan mereka dengan
mengadakan dzikir dengan cara yang khusus (yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah) secara tidak langsung menunjukan bahwa apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah kurang bagus sehingga mereka perlu mengadakan model baru dalam
beribadah.
Allah
berfirman:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا لَوْ كَانَ
خَيْرًا مَا سَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
Artinya:
"Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman (yaitu para
sahabat Nabi): "Kalau sekiranya dia (Al-Quran) adalah suatu kebaikan,
tentulah mereka (orang-orang beriman) tiada mendahului kami (untuk beriman)
kepadanya". (Al-Ahqof: 11)
Berkata
Ibnu Katsir (tafsir surat Al-Ahqof ayat 11) menafsirkan ayat ini: "Adapun
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah maka mereka mengomentari setiap perbuatan dan
perkataan yang tidak datang dari para sahabat (bahwa perbuatan dan perkataan
tersebut) adalah bid'ah, karena kalau seandainya perkataan dan perbuatan
tersebut baik tentunya mereka (para sahabat) telah mendahului kita untuk
melakukannya sebab mereka tidaklah meninggalkan satupun kebaikan kecuali mereka
bersegera untuk melakukannya"
Renungan…
Kita
ketahui bersama bahwa sholat berjama’ah adalah perkara yang baik dan
dianjurkan. Kita juga tahu bahwa sholat tahiyyatul masjid adalah perkara yang
baik dan dianjurkan. Seandainya sekarang sekelompok orang setiap masuk masjid mereka
melaksanakan sholat tahiyyatul masjid secara berjamaah apakah merupakan perkara
yang baik??, tentu akan ada banyak orang yang mengingkari perbuatan mereka,
karena perbuatan mereka itu sama sekali tidak pernah dilakukan oleh siapapun
sebelum mereka, dan mereka telah terjatuh dalam bid’ah (walaupun mereka
memandang apa yang mereka lakukan itu merupakan kebaikan).
Seandainya
ada orang yang melaksanakan umroh kemudian mereka setiap sekali putaran thowaf
ia sholat, apakah perbuatannya itu baik?? Tentu tidak, ia akan diingkari oleh
semua orang karena perbuatannya itu tidak ada contohnya (walaupun sholat adalah
perkara yang baik). Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali
kita mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah mencontohkan tata cara demikian.
Demikian
juga seandainya jika seeorang yang sa’i antara sofa dan marwah kemudian setiap
ia sampai di safa atau di marwa ia sholat sunnah karena bersyukur kepada Allah,
apakah perbuatannya itu baik?? Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya
kecuali kita katakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan tata
cara demikian.
Atau
jika ada seseorang yang setiap mau keluar dari mesjid ia berhenti sebentar
dipintu mesjid untuk membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan An-Naas dengat niat
meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitan karena banyak syaithon
berkeliaran di luar mesjid. Maka jelas ini adalah perbuatan bid’ah walaupun
sepintas apa yang di lakukannya itu sangat baik. Dan kita tidak bisa
mengingkarinya karena ia akan berdalil dengan dalil-dalil yang menjelaskan
fadilah dan keutamaan membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan surat An-Naas.
Kita tidak bisa mengingkarinya kecuali dengan mengatakan bahwa apa yang engkau
lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya.
عن سعيد بن المسيب أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي بَعْدَ
طُلُوْعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيْهَا الرُّكُوْعَ
وَالسُّجُوْدَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : ياَ أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَى
الصَّلاَةِ؟ قَالَ : لاَ وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلاَفِ السُّنَّةِ
Dari
Sa’id bin Al-Musayyib (yang merupakan seorang tabi’in -generasi setelah
generasi sahabat- yang tersohor dengan ketakwaan dan kefaqihannya dalam
perkara-perkara agama-pen) dia melihat seseorang setelah terbit fajar (setelah
adzan subuh) sholat lebih dari dua rakaat, ia memperbanyak rukuk dan sujud
dalam sholatnya tersebut. Maka Said bin Al-Musayyibpun melarangnya, orang itu
berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib, “Wahai
Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena aku sholat?”, Sa’id
menjawab, “Tidak, tetapi Allah mengadzabmu karena engkau menyelisihi
sunnah” (Dirwiayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro
(2/466) dan Abdurrozaq dalam musonnaf beliau (3/52))
Larangan
Sa’id bin Al-Musayyib kepada orang itu karena tidak dikenal ada sholat sunnah
antara adzan subuh dan iqomat kecuali dua rakaat sebelum sholat subuh. Oleh
karena itu jika ada seseorang sholat dengan rakaat yang banyak sekali sebelum
sholat subuh maka ia telah melanggar sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam bis sowab.
Wallahu a’lam bis sowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar