Seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Sangat mudah bagi orang yang
memiliki penyakit dalam hatinya untuk mengakses dan melihat tubuh wanita. Tidak
ada pembatas ruang dan waktu. Kapanpun dan dimanapun seseorang dengan mudah
bisa melihat tubuh wanita. Namun disisi lain banyak muslimah yang semakin
tersadarkan akan pentingnya menjaga aurat. Saat ini banyak kita jumpai para
wanita muslimah yang mengenakan jilbab syar’i bahkan tidak sedikit diantara
mereka sudah siap memakai cadar kemanapun mereka pergi.
Wanita bercadar tidak saja
kita jumpai di tempat-tempat kajian, namun juga saat kuliah di kampus, ke pasar,
dan berbagai aktivitas lainnya. Namun sangat disayangkan kesadaran mereka yang
begitu tinggi untuk menjaga aurat tidak diamini oleh pihak-pihak tertentu.
Justru yang ada, mereka dicurigai dan dilarang untuk mengenakan cadar. Berbeda
dengan mereka yang mengumbar aurat seolah tidak ada pengawasan dan aturan.
Hukum Cadar Menurut Madzhab
Syafi’i
Di Indonesia yang mayoritas
bermadzhab Syafi’i mesti mengetahui bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ulama
Syafi’iyah tentang hukum mengenakan cadar. Dengan pengetahuan ini, maka
dihrapkan terjalin diantara masyarakat dan para muslimah bercadar untuk saling
memahami dan menghargai.
Berikut kami tulis pendapat
madzhab Syafi’I dan Fatwa dari Ulama NU tentang Cadar.
Pendapat Imam Syafi’I Rahimahullah berkata :
وَكُلُّ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ
إِلاَّ كَفَّيْهَا وَوَجْهُهَا وَظَهْر قَدَمَيْهَا عَوْرَةٌ
“Dan setiap wanita adalah
aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya, demikian juga kedua telapak
kakinya.” (Al-Umm, 1/110)
Beliau juga berkata :
وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ
الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا في وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ في رَأْسِهِ
فَيَكُون لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ من غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا
يَكُونُ ذلك لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كانت بَارِزَةً تُرِيدُ
السِّتْرَ من الناس أَنْ ترخى جِلْبَابَهَا أو بَعْضَ خِمَارِهَا أو غير ذلك من
ثِيَابِهَا من فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عن وَجْهِهَا حتى تُغَطِّيَ
وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ على وَجْهِهَا وَلَا يَكُونُ لها أَنْ
تَنْتَقِبَ
"Dan wanita berbeda
dengan lelaki (dalam pakaian ihram-pen), maka wanita ihromnya di wajahnya
adapun lelaki ihromnya di kepalanya. Maka lelaki boleh untuk menutup seluruh
wajahnya tanpa harus dalam kondisi darurat, hal ini tidak boleh bagi wanita.
Dan wanita jika ia nampak (diantara para lelaki ajnabi-pen) dan ia ingin untuk
sitr (tertutup/berhijab) dari manusia maka boleh baginya untuk
menguraikan/menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau yang selainnya
dari pakaiannya, untuk dijulurkan dari atas kepalanya dan ia merenggangkannya
dari wajahnya sehingga ia bisa menutup wajahnya akan tetapi tetap renggang kain
dari wajahnya, sehingga hal ini seperti penutup bagi wajahnya, dan tidak boleh
baginya untuk menggunakan niqoob" (Al-Umm 2/148-149)
Beliau juga berkata :
وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تجافى
الثَّوْبَ عن وَجْهِهَا تَسْتَتِرُ بِهِ وتجافى الْخِمَارَ ثُمَّ تَسْدُلَهُ على
وَجْهِهَا لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا
"Boleh bagi wanita
(yang sedang ihrom-pen) untuk merenggangkan pakaiannya dari wajahnya, sehingga
ia bersitr (menutup diri) dengan pakaian tersebut, dan ia merenggangkan
khimarnya/jilbabnya lalu menjulurkannya di atas wajahnya dan tidak menyentuh
wajahnya"(Al-Umm 2/203)
Beliau juga berkata :
وَأُحِبُّ لِلْمَشْهُورَةِ
بِالْجَمَالِ أَنْ تَطُوفَ وَتَسْعَى لَيْلًا وَإِنْ طَافَتْ بِالنَّهَارِ
سَدَلَتْ ثَوْبَهَا على وَجْهِهَا أو طَافَتْ في سِتْرٍ
"Dan aku suka bagi
wanita yang dikenal cantik untuk thowaf dan sa'i di malam hari. Jika ia thowaf di
siang hari maka hendaknya ia menjulurkan bajunya menutupi wajahnya, atau ia
thowaf dalam keadaan tertutup" (Al-Umm 2/212)
Seorang wanita disyari'atkan
untuk menggunakan niqob (cadar), hanya saja tatkala ia sedang dalam kondisi
ihrom maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang wanita untuk
menggunakan niqoob, yaitu cadar.
Akan tetapi Al-Imam
Asy-Syafi'i –dalam pernyataannya ini- menjelaskan jika seorang wanita baarizah
(nampak di kalangan manusia), lalu ia ingin sitr (menutupi dirinya/berhijab)
dari manusia (para lelaki asing) yaitu jika ia ingin menutup wajahnya maka
caranya dengan menjulurkan kain dari atas kepalanya sehingga menutupi wajahnya,
akan tetapi tidak melekat dan menempel di wajahnya sebagaimana halnya cadar
yang diikat sehingga menutup wajahnya. Dan juluran kain tersebut menurut Imam
Syafi'i kedudukannya seperti penutup bagi wajahnya.
Sangat jelas bahwa menutup
wajah tetap disyari'atkan meskipun dalam kondisi ihrom. Hanya saja memang dalam
pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i ini tidaklah tegas menunjukkan bahwa menutup
wajah bagi wanita hukumnya wajib.
Pendapat Ulama Syafi’iyah
وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ
فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل :
هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى
“Madzhab Syafi’i berbeda
pendapat tentang hukum mengenakan cadar bagi wanita. Pendapat pertama
menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat
kedua menyatakan hukumnya adalah sunnah. Dan pendapat ketiga ada juga
menyatakan khilaful awla” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI,
halaman 134).
Imam Nawawi Rahimahullah dalam Kitab Al Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab (3/169) mengatakan,
المَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِنَا
أَنَّ عَوْرَةَ الرَجُلِ مَا بَيْنَ سُرّتِهِ وَرُكْبَتِهِ وَكَذَلِكَ الاَمَةُ
وَعَوْرَةُ الحُرَّةِ جَمِيْعُ بَدَنِهَا إِلاَّ الوَجْهُ وَالكَفَّيْنِ وَبِهَذَا
كُلِهِ قَالَ مَالِك وَطَائِفَةٌ وَهِيَ رِوَايَةُ عَنْ أَحْمَد
“Pendapat yang masyhur di
madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut,
begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya
kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam
Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”
Imam Haramain Al-Juwaini Rahimahullah, beliau berkata :
مَعَ اتِّفَاقِ المُسْلِمِينَ
عَلَى مَنْعِ النِّسَاءِ مِنَ التَبَرُّجِ وَالسُفُورِ وَتَرْكِ التَنَقُّبِ
“…disertai kesepakatan kaum
muslimin untuk melarang para wanita dari melakukan tabarruj dan membuka
wajah mereka dan meninggalkan cadar…”(Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil
Madzhab, 12/31)
Imam Al-Ghazali Rahimahullah, beliau berkata:
فَإِذَا خَرَجَتْ ,
فَيَنْبَغِي أَنْ تَغُضُّ بَصَرَهَا عَنِ الرِجَالِ , وَلَسْنَا نَقُولُ : إِنَّ
وَجْهَ الرَجُلِ فِي حَقِهَا عَوْرَةٌ , كَوَجْهِ المَرْأَةِ فِي حَقِّهِ, بَلْ
هُوَ كَوَجْهِ الصَبِي الأَمْرَدِ فِي حَقِّ الرَجُلِ , فَيَحْرُمُ النَظَرُ
عِنْدَ خَوفِ الفِتْنَةِ فَقَطْ , فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِتْنَة فَلَا , ِإذْ لَمْ
يَزَلْ الرِجَالُ عَلىَ مَمَرِّ الزَمَانِ مَكْشُوفِيْ الوُجُوهِ , وَالنِّسَاءُ
يَخْرُجْنَ مُنْتَقِبَاتِ
, وَلَوْ كَانَ وُجُوهُ الرِّجَالِ عَوْرَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ لَأَمَرُوا
بِالتَّنَقُّبِ أَوْ مَنَعْنَ مِنَ الخُرُوجِ إِلاَّ لِضَرُوْرَةِ
“Jika seorang wanita keluar
maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami
tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurat bagi wanita –sebagaimana wajah
wanita yang merupakan aurat bagi lelaki- akan tetapi ia sebagaimana wajah
pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka
diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak
dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa
terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa
keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurat bagi
wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau
dilarang untuk keluar kecuali karena darurat” (Ihyaa Uluum Ad-Diin,
2/47)
Abdul Hamid asy-Syarwani berkata :
أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ
عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ، وَعَوْرَةٌ
بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى
الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
“Bahwa perempuan memiliki
tiga aurat. Pertama, aurat dalam shalat dan hal ini telah dijelaskan. Kedua
aurat yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya, yaitu seluruh
badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang mu’tamad…”
(Hasyiyah asy-Syarwani, Bairut-Dar al-Fikr, juz, II, h. 112)
Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غَيْرُ وَجْهٍ وَكَفَّيْنِ :
وَهَذِهِ عَوْرَتُهَا فِي الصَّلاَةِ . وَأَمَّا عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ
المُسْلِمَاتِ مُطْلَقًا وَعِنْدَ الرِّجَالِ المَحَارِمِ ، فَمَا بَيْنَ
السُرَّةِ وَالرُكْبَةِ . وَأَمَّا عِنْدَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَجَمِيْعُ
البَدَنِ
“Maksud perkataan An-Nawawi
‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di
dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang
masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang
bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj,
411)
Syaikh Muhammad bin Qaasim
Al Ghazzi Rahimahullah,
penulis kitab Fathul Qaarib, berkata:
وَجَمِيْعُ بَدَنِ
الْمَرْأَةِ الحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهُهَا وَكَفَّيْهَا ، وَهَذِهِ
عَوْرَتُهَا فِي الصَّلاَةِ ، أَمَّا خَارِجَ الصَّلاَةِ فَعَوْرَتُهَا جَمِيْعُ
بَدَنِهَا
“Seluruh badan wanita selain
wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di
luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
Ibnu Qaasim Al Abadi Rahimahullah berkata:
فَيَجِبُ مَا سَتَرَ مِنَ
الُأْنثَى وَلَوْ رَقِيْقَةٌ مَا عَدَا الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ . وَوُجُوبُ
سَتْرِهِمَا فِي الحَيَاةِ لَيْسَ لِكَوْنِهِمَا عَوْرَةٌ ، بَلْ لُخُوفِ
الفِتْنَةِ غَالِبًا
“Wajib bagi wanita menutup
seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib
pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat,
namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah
Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
Taqiyuddin Al Hushni rahimahullah, penulis Kitab Kifaayatul
Akhyaar, berkata:
وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ
فِيْ ثَوْبٍ فِيْهِ صُوْرَةٌ وَتَمْثِيْلٌ ، وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةٌ إِلاَّ
أَنْ تَكُونَ فِي مَسْجِدٍ وَهُنَاكَ أَجَانِب لاَ يَحْتَرِزُوْنَ عَنِ النَّظَرِ
، فَإِنْ خِيْفَ مِنَ النَّظَرِ إِلَيْهَا مَا يَجُرُّ إٍلَى الفَسَادِ حَرَمَ
عَلَيْهَا رَفْعُ النِقَابِ
“Makruh hukumnya shalat
dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai
niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga
dari pandangan lelaki asing (ajnabi). Jika wanita khawatir dipandang
oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya
melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181).
Syaikh Salim bin Sumir al
Hadhrami berkata dalam Kitab Safinatun
Najah :
فصل: العورات أربع: الرجل مطلقا والأمة في الصلاة ما بين السرة
والركبة. وعورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوي الوجه والكفين. وعورة الحرة
والأمة عند الأجانب جميع البدن. وعند محارمهما والنساء ما بين السرة والركبة.
“Fasal (tentang aurat).
Aurat itu ada empat macam: Pertama, aurat laki-laki dalam semua keadaan dan
aurat budak perempuan adalah bagian badan antara pusar dan lutut. Kedua, aurat
perempuan merdeka (baca:bukan budak) ketika shalat adalah seluruh badannya
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Ketiga, aurat perempuan merdeka dan
budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki ajnabi (bukan
mahram) adalah seluruh anggota badannya. Keempat, aurat perempuan merdeka dan
budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki yang
berstatus mahram dengannya adalah bagian badan antara pusar dan lutut”
Syaikh Muhammad bin Umar
Nawawi dalam Kitab Syarh ‘Uqud al Lajjiin
fi Bayan Huquq al Jauzain berkata :
(الفصل الثاني في) بيان (حقوق الزوج) الواجبة (على الزوجة) و هي طاعة الزوج في غير معصية وحسن المعاشرة
وتسليم نفسها إليه وملازمة البيت وصيانة نفسها من أن توطيء فراشه غيره و الاحتجاب
عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها وكفيها إذ النظر إليهما حرام ولو مع اتفاء
الشهوة والفتنة …
“(Fasal kedua itu berisi)
penjelasan (mengenai hak-hak suami) yang menjadi kewajiban (istri). Hak-hak
tersebut adalah:
1.
Mentaati suami selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat
2.
Memperlakukan suami dengan baik
3.
Menyerahkan dirinya kepada suami (jika suami mengajak untuk
berhubungan badan, pent)
4.
Betah di rumah
5.
Menjaga diri jangan sampai ada laki-laki selain suaminya
berada di tempat tidur suaminya
6.
Berhijab sehingga tidak ada satupun bagian tubuhnya yang
terlihat oleh laki-laki ajnabi termasuk di antaranya adalah wajah dan kedua
telapak tangannya karena adalah haram hukumnya seorang laki-laki melihat wajah dan
telapak tangannya meski pandangan tersebut tanpa diiringi syahwat dan tidak
dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang tergoda…”
As-Suyuthy rahimahullah, beliau berkata
:
المرأة في العورة لها أحوال
حالة مع الزوج ولا عورة بينهما وفي الفرج وجه وحالة مع الأجانب وعورتها كل البدن
حتى الوجه والكفين في الأصح وحالة مع المحارم والنساء وعورتها ما بين السرة
والركبة وحالة في الصلاة وعورتها كل البدن إلا الوجه والكفين
"Wanita dalam perihal aurot memiliki beberapa kondisi,
(1) kondisi bersama suaminya, maka tidak ada aurot diantara keduanya, dan ada
pendapat bahwa kemaluan adalah aurot (2) kondisi wanita bersama lelaki asing,
maka aurotnya adalah seluruh badannya bahkan wajah dan kedua telapak tangan
menurut pendapat yang lebih benar, (3) Kondisi bersama para mahromnya dan para
wanita lain, maka aurotnya antara pusar dan lutut, (4) dan aurotnya tatkala
sholat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan" (Al-Asybaah
wan Nadzooir hal 240)
As-Subki rahimahullah, beliau
berkata :
الأقرب إلى صنع الأصحاب: أن
وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة
"Yang lebih dekat kepada sikap para ulama syafi'iyah
bahwasanya wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurot dalam hal
dipandang bukan dalam sholat" (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini dalam
Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma'rafat Alfaazh al-Minhaaj 3/129)
Ibnu Qoosim (wafat 918 H) rahimahullah,
beliau berkata:
(وجميع بدن) المرأة (الحُرَّة
عورة إلا وجهها وكفيها). وهذه عورتها في الصلاة؛ أما خارجَ الصلاة فعورتها جميع
بدنها
"Dan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurot kecuali
wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan ini adalah aurotnya dalam sholat,
adapun di luar sholat maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya" (Fathul
Qoriib Al-Mujiib fi Syar Alfaadz at-Taqriib hal 84)
Asy-Syarbini rahimahullah, beliau
berkata :
ويكره أن يصلي في ثوب فيه
صورة , وأن يصلي في الرجل متلثماً والمرأة منتقبة إلا أن تكون في مكان وهناك أجانب
لا يحترزون عن النظر إليها , فلا يجوز لها رفع النقاب
"Dan dimakaruhkan seorang lelaki sholat dengan baju yang
ada gambarnya, demikian juga makruh sholat dengan menutupi wajahnya. Dan
dimakruhkan seorang wanita sholat dengan memakai cadar kecuali jika ia sholat
di suatu tempat dan ada para lelaki ajnabi (bukan mahramnya-pen) yang tidak
menjaga pandangan mereka untuk melihatnya maka tidak boleh baginya untuk
membuka cadarnya" (Al-Iqnaa' 1/124)
Abu Bakr Ad-Dimyaathy rahimahullah, beliau berkata:
واعلم أن للحرة أربع عورات
فعند الأجانب جميع البدن وعند المحارم
والخلوة ما بين السرة والركبة وعند النساء الكافرات ما لا يبدو عند المهنة وفي
الصلاة جميع بدنها ما عدا وجهها وكفيها
"Ketahuliah bahwasanya bagi wanita merdeka ada 4 aurot,
(1) tatkala bersama para lelaki asing maka aurotnya seluruh badannya, (2)
tatkala bersama mahrom dan tatkala kholwat (sedang bersendirian) maka aurotnya
adalah antara pusar dan lutut, (3) tatkala bersama para wanita kafir aurotnya
adalah apa yang biasa nampak tatkala bekerja, (4) tatkala dalam sholat aurotnya
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya' (Hasyiah
Iaanat Thoolibin 1/113)
Beliau juga berkata ;
ويكره أن يصلي في ثوب فيه
صورة أو نقش لأنه ربما شغله عن صلاته وأن يصلي الرجل متلثما والمرأة منتقبة إلا أن
تكون بحضرة أجنبي لا يحترز عن نظره لها فلا يجوز لها رفع النقاب
"Dan dibenci sholat di baju yang ada gambarnya atau
bordirannya karena bisa jadi menyibukannya dari sholatnya, dan dimakruhkan
seorang lelaki sholat dengan menutup wajahnya, juga dimakaruhkan wanita sholat
dengan bercadar, kecuali jika dihadapan seorang lelaki ajnabi yang tidak
menjaga pandangannya dari melihatnya maka tidak boleh baginya membuka
cadarnya" (Haasyiah I'aanat Thoolibiin 1/114)
Asy-Syarwaani
rahimahullah berkata:
قال الزيادي في شرح المحرر
بعد كلام: وعرف بهذا التقرير أن لها ثلاث عورات عورة في الصلاة وهو ما تقدم، وعورة
بالنسبة لنظر الاجانب إليها جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد، وعورة في
الخلوة وعند المحارم كعورة الرجل اه. ويزد رابعة هي عورة المسلمة بالنسبة لنظر
الكافرة غير سيدتها ومحرمها وهي ما لا يبدو عند المهنة
"Az-Zayyaadi berkata dalam syarh Al-Muharror… "Dan
diketahui berdasarkan penjelasan ini bahwasanya seorang wanita merdeka memiliki
3 kondisi aurot (1) Aurot dalam sholat, yaitu sebagaimana telah lalu (seluruh
badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan-pen), (2) Aurot jika ditinjau dari
pandangan para lelaki asing kepadanya maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya
bahkan wajah dan kedua tagannya menurut pendapat yang jadi patokan, (3)
Aurotnya tatkala sedang bersendirian atau bersama mahram maka seperti aurtonya
lelaki (antara pusar dan lutut-pen)"
Ditambah yang ke (4) Aurotnya ditinjau dari pandangan wanita
kafir kepadanya jika wanita tersebut bukan tuannya dan juga bukan mahramnya,
maka aurotnya adalah yang biasa nampak tatkala kerja" (Haasyiat
Asy-Syarwaani 'alaa Tuhfatil Muhtaaj 2/112)
Ibnu Umar Al-Jaawi (wafat
1316 H) rahimahullah, beliau berkata
والحرة لها أربع عورات :
...رابعتها جميع بدنها حتى قلامة ظفرها وهي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على
الرجل الأجنبي النظر إلى شيء من ذلك ويجب على المرأة ستر ذلك عنه
"Dan wanita merdeka memiliki 4 kondisi tentang
aurat…kondisi yang keempat adalah seluruh tubuh sang wanita bahkan kukunya ,
dan ini adalah aurotnya tatkala ia di hadapan para lelaki yang asing, maka
haram bagi seorang lelaki ajnabi (asing) untuk melihat sebagian dari hal itu,
dan wajib bagi sang wanita untuk menutup hal itu dari sang lelaki"
(Nihaayat az-Zain Fi Irsyaadil Mubtadiin, hal 47)
Asy-Syaikh Nawawi Al Bantaniy -semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas-
(1813-1898 M) Lahir di Tanara, Serang, Banten. Beliau adalah Pengajar di
Masjidil Haram dan Seorang Pembesar Ulama bermadzhab Syafi'i serta Guru dari
Para Ulama Nusantara.
Beliau rahimahullah berkata di dalam karyanya
"Kasyifatus Sajaa", Penerbit Daar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon, hal.
205,
(وعورة الحرة والأمة عند الأجانب)
أي بالنسبة لنظرهم إليهما (جميع البدن) حتى الوجه والكفين ولو عند أمن الفتنة
فيحرم عليهم أن ينظروا إلى شيء من بدنهما ولو قلامة ظفر منفصلة منهما
"Adapun aurat wanita dewasa di hadapan laki-laki ajanib
(laki-laki yang bukan mahram), yaitu seluruh tubuh wanita termasuk wajah dan
telapak tangan walaupun ketika merasa aman dari fitnah (godaan hawa nafsu dan setan).
Maka haram bagi laki-laki untuk melihat bagian manapun dari
wanita dewasa tersebut, termasuk kukunya yang sudah terpotong."
Dalam kitabnya "Nihaayatuz Zain", Penerbit Darul
Kutub, Lebanon, hal. 48. Beliau rahimahullah berkata,
رابعتها: جميع بدنها حتى
قلامة ظفرها و هي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على الرجل الأجنبي النظر إلى
شيءمن ذلك، و يجب على المرأة ستر ذلك عنه...
Yang ke-4:
"Seluruh tubuh wanita sampai potongan kukunya adalah
aurat baginya di hadapan laki-laki ajanib (yang bukan mahram) maka haram bagi
laki-laki ajanib untuk melihat ke bagian manapun dari wanita tersebut, dan
wajib bagi seorang wanita untuk menutup semua itu darinya..."
Syaikh Nawawi Al Bantaniy rahimahullah adalah salah satu
ulama bermadzhab Syafi'i asli Banten, gurunya para ulama nusantara, mewajibkan
wanita menutup wajah dan telapak tangannya di hadapan laki-laki yang bukan
mahramnya.
Para Mufasiir Syafi'iyah
Berikut ini adalah perkataan para ahli tafsir yang bermadzhab
syafi'iyah tatkala mereka menafsirkan ayat tentang wajibnya berjilbab, yaitu
firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ
لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)
"Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS
Al-Ahzaab : 59)
Abul Mudzoffar As-Sam'aani (wafat 489 H) rahimahullah, beliau berkata :
قال عبيدة السلماني : تتغطى
المرأة بجلبابها فتستر رأسها ووجهها وجميع بدنها إلا إحدى عينيها
"Berkata 'Abiidah As-Salmaaniy : Wanita menutup diri
dengan jilbabnya, maka ia menutup kepalanya, wajahnya, dan seluruh tubuhnya
kecuali salah satu matanya" (Tafsiirul Qur'aan 4/307)
Ilkyaa Al-Harroosy (wafat
504 H)rahimahullah, beliau berkata
الجلباب: الرداء، فأمرهن
بتغطية وجوهن ورؤوسهن، ولم يوجب على الإماء ذلك
"Jilbab adalah selendang kain, maka Allah memerintahkan
para wanita untuk menutup wajah-wajah mereka, dan hak ini tidak wajib bagi para
budak wanita" (Ahkaamul Qur'aan 4/354)
Al-Baghowi (wafat 516 H) rahimahullah,
beliau berkata :
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ
وَأَبُو عُبَيْدَةَ: أَمَرَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ أن يغطين رؤوسهن ووجوهن
بِالْجَلَابِيبِ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً لِيُعْلَمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ
"Ibnu Abbaas dan Abu Ubaidah berkata : Allah
memerintahkan para wanita kaum muslimin untuk menutup kepala mereka dan wajah
mereka dengan jilbab kecuali satu mata, agar diketahui bahwasanya mereka adalah
para wanita merdeka (bukan budak)" (Tafsir Al-Baghowi 6/376)
Ar-Roozi (wafat 606 H) rahimahullah,
beliau berkata :
وقوله ذالِكَ أَدْنَى أَن
يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ قيل يعرفن أنهن حرائر فلا يتبعن ويمكن أن يقال المراد
يعرفن أنهن لا يزنين لأن من تستر وجهها مع أنه ليس بعورة لا يطمع فيها أنها تكشف
عورتها فيعرفن أنهن مستورات لا يمكن طلب الزنا منهن
"Dan firman Allah ((Yang demikian itu agar mereka
dikenal dan tidak diganggu)), dikatakan maknanya adalah mereka dikenal bahwa
mereka adalah para wanita merdeka, maka mereka tidak diikuti. Dan mungkin untuk
dikatakan bahwasanya mereka tidak berzina. Karena wanita yang menutup wajahnya
–padahal wajah bukan aurot- maka tidak bisa diharapkan untuk membuka aurotnya,
maka dikenalah mereka bahwa mereka adalah para wanita yang tertutup dan tidak
mungkin meminta berzina dari mereka"(Mafaatiihul Ghoib 25/198-199)
Al-Baidhoowi (wafat 691 H) rahimahullah, beliau berkata :
يغطين وجوههن وأبدانهن
بملاحفهن إذا برزن لحاجة
"Mereka para wanita menutup wajah-wajah mereka dan tubuh
mereka dengan kain-kain mereka jika mereka keluar karena ada keperluan"
(Tafsiir Al-Baidhoowi 1/386)
Tafsir Jalaalain
جمع جلباب وهي الملاءة التي
تشتمل بها المرأة أي يرخين بعضها على الوجوه إذا خرجن لحاجتهن إلا عينا واحدة
"Jalaabiib adalah kata jamak/prular dari jilbab, yaitu
pakaian yang dipakai oleh wanita. Yaitu mereka menjulurkan sebagian jilbab ke
wajah-wajah mereka jika mereka keluar untuk keperluan mereka, kecuali (dibuka)
satu matanya" (Tafsir Jalaalain hal 559)
Bijak Dalam Masalah Cadar
Ahkam Al-Fuqaha’ fi Muqarrati
Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’ berisi kumpulan
masalah-masalah Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 yang diterbitkan oleh
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Penerbit CV Toha Putra Semarang. Buku
ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib
II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais
Syuriah NU. Seluruh fatwa yang ada di buku tersebut sudah dikoreksi oleh
tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama antara lain J. M. (Yang Mulia-ed) Rois Aam, KH
Abdul Wahab Khasbullah, J.M. KH Bisyri Syamsuri, Ustadz R Muhammad Al-Kariem
Surakarta, KH Zubair Umar, Djailani Salatiga, Ustadz Adlan Ali, KH Chalil
Jombong, dan (alm) KH Sujuthi Abdul Aziez Rembang.
Pada buku di atas, tepatnya
pada juz kedua yang berisi hasil keputusan Muktamar NU ke delapan yang diadakan
di Batavia (Jakarta) pada tanggal 12 Muharram 1352 H atau 7 Mei 1933 H pasnya
pada halaman 8-9 tercantum fatwa yang merupakan jawaban pertanyaan yang berasal
dari Surabaya sebagai berikut:
مَا حُكْمُ خُرُوجِ الْمَرْأَةِ لِأَجْلِ الْمُعَامَلَةِ
مَكْشُوفَة الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ وَالرِجْلَيْنِ، هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لاَ؟
وَإِنْ قُلْتُمْ بِالحُرْمَةِ فَهَلْ هُنَاكَ قَوْلٌ بِجَوِازِهِ لِأَنَّهُ مِنَ الضَرُوْرَةِ
أَوْ لَا؟ (سورابايا).135
135. Soal: Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka
dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah
ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat
ataukah tidak? (Surabaya).
ج: يُحْرَمُ خُرُوْجُهَا لِذَلِكَ
بِتِلْكَ الحَالَةِ عَلَى المُعْتَمَدِ وَالثَانِي يَجُوزُ خُرُوْجُهَا لَأَجْلِ
المُعَامَلَةِ مَكْشُوفَة الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ إِلَى الكَوْعَينِ. وَعِنْدَ
الحَنَفِيَّةِ يَجُوزُ ذَلِكَ بَلْ مَعَ كَشْفِ الرِجْلَيْنِ إِلىَ الكَوْعَيْنِ إِذَا
أَمنتِ الفِتْنَة.
Jawab : Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut
pendapat yang mu’tamad, menurut pendapat lain boleh wanita
keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan
menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai
mata kaki-ed) apabila tidak ada fitnah.
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat di
atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
- Memakai cadar merupakan perkara yang sudah dikenal sejak zaman Nabi, dan para ulama sepakat bahwa istri-istri Nabi bercadar.
- Imam Syafi’i tidak menghukumi cadar secara tegas, namun pada beberapa kesempatan beliau menganjurkan seperti saat ihram.
- Cadar di Madzhab Syafi’i masih diperselisihkan hukumnya.
- Ulama Syafi’iyah sepakat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali dua telapak tangan dan wajah.
- Mayoritas Ulama Syafi’iyah mewajibkan wanita untuk bercadar.
- Ulama Syafi’iyah membedakan antara aurat wanita saat shalat dan ketika di hadapan laki-laki asing. Dalam shalat wajah dan telapak tangan dibuka, adapun diluar shalat di hadapan laki-laki asing maka wajahnya aurat dan harus ditutup.
- Sebagian Madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa wajah wanita bukan aurat, tapi tetap hanya boleh dipandang jika ada keperluan syar’i.
- Para ulama Syafi’iyah sepakat bahwa jika memandang wajah wanita dikhawatirkan terjadi fitnah, seperti memandangnya dengan syahwat, maka hukumnya haram.
- Pendapat yang benar (baca: mu’tamad) dalam Mazhab Syafi’i –ditimbang oleh kaedah-kaedah mazhab- adalah pendapat yang mengatakan bahwa seluruh badan muslimah itu wajib ditutupi ketika hendak keluar rumah. Pendapat inilah yang dipilih dan difatwakan oleh NU.
- Sedangkan pendapat yang membolehkan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi muslimah adalah pendapat yang lemah dalam Mazhab Syafi’i.
- Hasil Bahsul Masa’il NU menyimpulkan bahwa pada asalnya wanita mesti menutup seluruh tubuhnya, kecuali dalam kondisi yang tidak mengundang fitnah.
Saran
- Jika terjadi tindakan radikalisme atau perilaku wanita bercadar yang tidak baik, maka jangan disalahkan cadarnya atau agamanya. Karena pada hakikatnya agama islam adalah agama yang cinta damai.
- Jika ada larangan dari Perguruan Tinggi, lembaga pendidikan, atau instansi lainnya yang melarang wanita muslimah bercadar, maka perlu ditinjau ulang. Karena wanita bercadar bukan saja mereka menjaga kesucian diri mereka namun juga menjaga pandangan laki-laki yang liar.
- Kepada wanita muslimah yang bercadar hendaknya bukan sekedar wajah yang ditutup dan penampilan yang diperbaiki, lebih dari itu hendaknya adab dan akhlak serta hati pun harus selalu diperbaiki. Sehingga menepis penilaian buruk masyarakat kepada para wanita bercadar.
Demikian tulisan sederhana
ini kami buat, semoga bermanfaat. Jika terdapat kekurangan dan kesalahan
penulis memohon ampunan kepada Allah dan siap untuk dikoreksi dan diperbaiki.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar