Apa hukumnya menambahkan kata “sayyidina” dalam salawat pas tahiyat saat
shalat?
Pertama, Kita sepakat bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, kekasih
Tuhan semesta alam, yang akan menempati maqam mahmud, nabi yang menebarkan
rahmah, rasul hidayah, junjungan kita, penghulu kita. Kita sepakat, Beliaulah
sayyiduna (pemimpin kita). Semoga Allah memberikan shalawat kepada beliau.
Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan
bahwa beliau adalah sayyid seluruh manusia. Beliau bersabda:
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ
“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang
pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim 2278)
Oleh Karena itu, kita wajib mengimani bahwa beliau adalah sayyiduna
(pemimpin kita), sebagai ujud kita memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Hakikat Gelar Sayyid
Kemudian, gelar ‘sayyid’ tidak hanya dikhususkan untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sayyid bisa diberikan kepada para tokoh
agama, diantaranya adalah para sahabat. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menyebut beberapa sahabatnya dengan ‘sayyid’. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hasan bin Ali bin Abi Thalib:
إِنَّ
ابنِي هَذَا سَيِّدٌ
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid (pemimpin).” (HR. Bukhari 2704)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada orang
Anshar, untuk menghormati pemimpinnya, Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu,
ketika Sa’d datang, beliau menyuruh orang Anshar:
قُومُوا
إِلَى سَيِّدِكُم
“Sambutlah pemimpin (sayyid) kalian.” (HR. Bukhari 3073 & Muslim 1768)
Kemudian, para sahabat juga menyebut sahabat lainnya dengan sayyid. Umar
bin Khatab pernah mengatakan tentang Abu Bakr dan Bilal:
أَبُو
بَكرٍ سَيِّدُنَا وَأَعتَقَ سَيِّدَنَا : يعني بلال بن رباح
“Abu Bakr sayyiduna, dan telah memerdekakan sayyidana, maksud beliau
adalah Bilal bin Rabah.” (HR. Bukhari 3754)
jika demikian, sangat layak bagi kita untuk menyebut manusia yang paling
mulia dengan ‘sayyiduna’.
Hadis Abdullah bin Syikkhir
Sahabat Abdullah bin Syikkhir mengatakan,
انطَلَقتُ
فِي وَفدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
فَقُلنَا : أَنتَ سَيِّدُنَا . فَقَالَ : السَّيِّدُ اللَّهُ . قُلنَا :
وَأَفضَلُنَا فَضلًا ، وَأَعظَمُنَا طَوْلًا ( أَي شَرَفًا وَغِنًى ) . فَقَالَ :
قُولُوا بِقَولِكُم أَو بَعضِ قَولِكُم ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيطَانُ
Saya pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Bani
Amir. Kami sanjung beliau dengan mengatakan: “Anda adalah sayyiduna
(pemimpin kami).” Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Assayidu
Allah (Sang Pemimpin adalah Allah).” Lalu aku sampaikan: “Anda adalah
yang paling mulia dan paling utama di antara kami.” Selanjutnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “Sampaikan perkataan kalian, dan
jangan sampai setan membuat kalian menyimpang.” (HR. Abu Daud, 4806 dan
dishahihkan Al-Albani)
Hadis ini tidaklah menunjukkan larangan menggunakan gelar ‘sayyidina’
untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena konteks ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabat Abdullah bin Syikkhir adalah
kekhawatiran beliau ketika pujian Abdullah bisa berlebihan, sehingga mengangkat
beliau sebagaimana layaknya Allah. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengarahkan kata ‘sayyid’ untuk Allah. Dalam rangka mengingatkan
mereka bahwa ‘as-sayid’ (pemimpin) mutlak hanyalah Allah Ta’ala. Oleh
karena itu, janganlah kalian berlebihan dalam memujiku, sehingga kalian
mengkultuskanku sebagai layaknya Tuhan.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka untuk menyebut
beliau dengan sayyid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka
untuk mengucapkan hal itu, sebagaimana yang beliau sabdakan: ‘Sampaikan
perkataan kalian’ namun beliau melarang agar jangan sampai setan menyimpangkan
mereka, sahingga mereka melebihkan gelar ‘pemimpin’ yang sifatnya khusus
menjadi gelar ‘pemimpin’ yang berlaku mutlak. Karena kata ‘sayyiduna’ [pemimpin
kami] adalah gelar kepemimpinan khusus yang dikaitkan dengan kata lainnya.
Sementara ‘as-sayyid’ [Sang Pemimpin] adalah gelaran yang mutlak (dan itu hanya
milik Allah).” (Al-Qoulul Mufid, 2/258).
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah disebutkan:
Kaum muslimin sepakat bolehnya memberikan gelar ‘pemimpin’ untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikannya sebagai tanda untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
As-Syarqowi mengatakan:
Lafadz ‘sayyiduna’ adalah tanda untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 11:346)
Kedua, Kita memiliki satu prinsip, bahwa semua
ibadah itu dibangun berdasarkan dalil dan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan ini merupakan konsekuensi dari syahadat kita Nabi Muhammad adalah
utusan Allah. Terlebih ibadah shalat. Ucapan dan gerakan shalat, harus sesuai
dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang beliau ajarkan kepada
umat, itulah tata cara yang terbaik, cara yang paling sempurna.
Oleh karena itu, shalawat yang terbaik adalah shalawat yang diajarkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping itu, tidak dijumpai adanya dalil dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun sahabat, bahkan sampai tabi’in
sekalipun yang menambahkan lafadz “sayyiduna” sebelum kata ‘Muhammad’ ketika
membaca shalawat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah ditanya tentang lafadz shalawat
yang benar, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Apakah disyaratkan harus
menggelari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘sayyidina’, misal dengan
mengucapkan: ‘shalli ‘ala sayyidina Muhammad’ atau ‘shalli ‘ala sayyidi waladi
adam’ ataukah cukup mengucapkan: “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”?
Mana yang lebih afdhal, menambahkan lafadz ‘sayyid’ karena kata ini
termasuk sifat yang melekat pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah
tanpa diberi tambahan karena tidak ada dalil dalam masalah ini?
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjawab:
نعم
اتِّباعُ الألفاظ المأثورة أرجح ، ولا يقال : لعلَّه ترك ذلك تواضعاً منه صلى الله
عليه وسلم كما لم يكن يقول عند ذكره : صلى الله عليه وسلم ، وأمّتهُ مندوبة إلى أن
تقول ذلك كلما ذُكر ؛ لأنَّا نقول : لو كان ذلك راجحاً لجاء عن الصحابة ، ثم عن
التابعين ، ولم نقِفْ في شيءٍ من الآثار عن أحدٍ من الصحابة ولا التابعين أنه قال
ذلك ، مع كثرة ما ورد عنهم من ذلك.
وهذا
الإمامُ الشافعي أعلى الله درجته وهو من أكثر الناس تعظيماً للنبي صلى الله عليه
وسلم ، قال في خطبة كتابه الذي هو عمدة أهل مذهبه : ” اللهم صلِّ على محمد ، إلى
آخر ما أدَّاه إليه اجتهاده وهو قوله : ” كلما ذكره الذاكرون ، وكلما غفل عن ذكره
الغافلون ” ، وكأنه استنبط ذلك من الحديث الصحيح الذي فيه ( سبحان الله عدد خلقه )
،
وقد عقد
القاضي عياض بابا في صفة الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في كتاب “الشفاء” ،
ونقل فيه آثارا مرفوعة عن جماعة من الصحابة والتابعين ، ليس في شيء منها عن أحد من
الصحابة وغيرهم لفظ : ” سيدنا ” ، والغرض أن كل من ذكر المسألة من الفقهاء قاطبة ،
لم يقع في كلام أحد منهم : ” سيدنا ” ، ولو كانت هذه الزيادة مندوبة ما خفيت عليهم
كلهم حتى أغفلوها ، والخير كله في الاتباع ، والله أعلم
Benar, mengikuti lafadz shalawat yang ma’tsur (sesuai dalil) itu lebih
didahulukan. Kita tidak boleh mengatakan: Bisa jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengajarkan demikian karena ketawadhuan beliau, sebagaimana beliau
tidak membaca shalawat ketika nama beliau disebut, sementara umatnya dianjurkan
membaca shalawat ketika nama beliau disebut. Kami beralasan, andaikan
memberikan tambahan ‘sayyidina’ itu dianjurkan, tentu akan dipraktekkan para
sahabat, kemdian tabi’in. Namun belum pernah aku jumpai adanya riwayat dari
sahabat maupun tabiin yang mengucapkan kalimat itu. Padahal sangat banyak
lafadz shalawat dari mereka.
Lihatlah Imam As-Syafi’i –semoga Allah meninggikan derajatnya– beliau
termasuk orang yang paling banyak mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun beliau sampaikan dalam pengantar buku beliau, yang merupakan
acuan pengikut madzhabnya:
اللهم
صلِّ على محمد ، إلى آخر ما أدَّاه إليه اجتهاده وهو قوله : ” كلما ذكره الذاكرون
، وكلما غفل عن ذكره الغافلون
Allahumma shalli ‘ala muhammad, sampai pada ujung usaha perjuangan yang
telah beliau tunaikan, yaitu ucapan beliau: ‘ketika orang mengingatnya atau
ketika orang lalai melupakannya.’
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkomentar:
Seolah Imam Syafi’i dengan pengantar tersebut mengambil kesimpulan dari
hadis shahih, yang terdapat lafadz; [subhaanallah ‘adada khalqih: Maha Suci
Allah, sebanyak jumlah bilangan makhluk-Nya].
Al-Qodhi ‘Iyadh – ulama besar Madzhab Syafi’i –membuat satu bab khusus
tentang cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitab
beliau ‘As-Syifa’. Beliau menukil beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari para sahabat dan tabiin. Dan tidak ada satupun riwayat dari
seorang-pun sahabat, maupun yang lainnya yang menyebutkan lafadz: ‘sayyidina’.
Andaikan tambahan ini dianjurkan, tentu tidak mungkin tidak diketahui oleh
mereka semua, sehingga mereka melupakannya. Dan semua kebaikan ada pada sikap
mengikuti.” Allahu a’lam
Keterangan beliau di atas dibawakan oleh As-Sakhawi dalam ‘al-Qoul
al-Badi’dan Muhammad Al-Gharabili (w. 835 H.) dan itu menjadi prinsip Ibnu
Hajar, sebagaimana disebutkan dalam salah satu manuskrip tulisan Al-Hafidz yang
ditemukan As-Syekh Al-Albani. Bisa disimak buku Sifat Shalat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (Hal. 172).
Disadur dari Fatwa islam: no. 84853
Di antara shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah riwayat dari Ibnu Abi Laila, bahwa beliau bertemu Ka’ab bin Ujrah
(shahabat), kemudian Ka’ab mengatakan, “Maukah kamu, aku beri hadiah?
Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian kami
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, … Bagaimanakah bacaan salawat kepadamu?’ Beliau
bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali
Muhammad…‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Andaikan tambahan kata “sayyidina” itu disyariatkan, sebagai bentuk
rasa hormat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu Ka’ab bin ‘Ujrah,
seorang sahabat yang mulia, akan mengajarkannya kepada muridnya, karena
merekalah orang yang paling hormat dan paling tahu cara mengagungkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita memahami bahwa bacaan shalawat dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak memuat tambahan “sayyidina” maka bacaan salawat ketika
shalat tidak boleh ditambahi “sayyidina”. Semua bacaan dalam shalat
harus tepat sesuai dengan bacaan yang disebutkan dalam dalil. Bahkan, sebagian
ulama menyatakan bahwa menambahkan lafal “sayyidina” dalam bacaan
salawat ketika shalat bisa membatalkan shalat.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar