Tidak dipungkiri bahwa kedudukan para Nabi dan Rasul itu
tinggi di mata Allah ta'ala. Namun hal itu bukanlah sebagai jaminan bahwa
seluruh keluarga Nabi dan Rasul mendapatkan petunjuk dan keselamatan serta aman
dari ancaman siksa neraka karena keterkaitan hubungan keluarga dan nasab. Allah
telah berfirman tentang kekafiran anak Nabi Nuh ‘alaihis-salaam yang akhirnya
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah bersama orang-orang kafir :
وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai
langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun
diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan:
"Binasalah orang-orang yang zalim“. Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil
berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang
seadil-adilnya”. Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon
kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan." [QS. Huud : 44-46].
Allah juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam :
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada
bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah
seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
Dan Allah pun berfirman tentang istri Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah :
فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ
إِلاّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali
isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [QS. Al-A’raf : 83].
Tidak terkecuali hal itu terjadi pada kedua orang tua
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Mereka berdua – sesuai dengan
kehendak kauni Allah ta’ala – mati dalam keadaan kafir. Hal itu ditegaskan oleh
beberapa nash di antaranya :
Al-Qur’an Al-Kariim
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Asbabun-nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya) [lihat Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir QS. At-Taubah : 113].
As-Sunnah Ash-Shahiihah
Dari Anas radhiyallaahu ’anhu :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku
(yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”.
Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka”. [HR. Muslim no. 203, Abu Dawud no. 4718,
Ahmad no. 13861, Ibnu Hibban no. 578, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 13856, Abu
‘Awanah no. 289, dan Abu Ya’la no. 3516].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه : أَن من مات على الكفر فهو في النار , ولا تنفعه قرابة المقربين , وفيه أَن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأَوثان فهو من أَهل النار , وليس هذا مؤَاخذة قبل بلوغ الدعوة , فإِن هؤُلاءِ كانت قد بلغتهم دعوة إِبراهيم وغيره من الأَنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم
“Di dalam hadits tersebut [yaitu hadits : إن أبي وأباك في النار – ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat
pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan
masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan
Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga
mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab
tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu
bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena
kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain
shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi juz
3 hal. 79 melalui perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-Musthafaa
oleh Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H].
Dari Abi Hurairah radhiyallaahu ’anhu ia berkata :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي
وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya
aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak mengijinkanku.
Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” [HR. Muslim no. 976,
Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i no. 2034, Ibnu Majah no. 1572, dan Ahmad no.
9686].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
وأبواه كانا مشركين, بدليل ما
أخبرنا
”Sesungguhnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam adalah musyrik dengan dalil apa yang telah kami bawakan....”.
(Kemudian beliau membawakan dalil hadits dalam Shahih Muslim di atas - no. 203
dan 976 - di atas) [lihat As-Sunanul-Kubraa juz 7 Bab Nikaahi Ahlisy-Syirk wa
Thalaaqihim]. Perkataan Imam Al-Baihaqi
tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga dapat
ditemui dalam kitab Dalaailun-Nubuwwah juz 1 hal. 192, Daarul-Kutub, Cet. I,
1405 H, tahqiq : Dr. Abdul-Mu’thi Al-Qal’aji].
Al-’Allamah Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi berkata :
فلم يأذن لي : لأنها كافرة
والاستغفار للكافرين لا يجوز
”Sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ”Dan Ia tidak
mengijinkanku” adalah disebabkan Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan
memintakan ampun terhadap orang yang kafir adalah tidak diperbolehkan”
[’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitaabul-Janaaiz, Baab Fii
Ziyaaratil-Qubuur].
Karena ibu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam termasuk
orang-orang kafir. Allah telah melarang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
kaum mukminin secara umum untuk memintakan ampun orang-orang yang meninggal
dalam keadaan kafir sebagaimana firman-Nya :
مَا كَانَ لِلنّبِيّ
وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ
أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu ia berkata :
جاء ابنا مليكة - وهما من
الأنصار -
فقالا: يَا رَسولَ الله إنَ أمَنَا كَانَت تحفظ عَلَى البَعل وَتكرم الضَيف،
وَقَد وئدت في الجَاهليَة فَأَينَ أمنَا؟ فَقَالَ: أمكمَا في النَار. فَقَامَا
وَقَد شَق ذَلكَ عَلَيهمَا، فَدَعَاهمَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ
فَرَجَعَا، فَقَالَ: أَلا أَنَ أمي مَعَ أمكمَا
Datang dua orang anak laki-laki Mulaikah – mereka berdua dari
kalangan Anshar – lalu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami
semasa hidupnya memelihara onta dan memuliakan tamu. Dia dibunuh di jaman
Jahiliyyah. Dimana ibu kami sekarang berada ?”. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam menjawab : “Di neraka”. Lalu mereka berdiri dan merasa
berat mendengar perkataan beliau. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memanggil keduanya lalu berkata : “Bukankah ibuku bersama ibu kalian berdua
(di neraka) ?” [lihat Tafsir Ad-Durrul-Mantsur juz 4 halaman 298 –
Diriwayatkan oleh Ahmad no. 3787, Thabarani dalam Al-Kabiir 10/98-99 no. 10017,
Al-Bazzar 4/175 no. 3478, dan yang lainnya; shahih].
Ijma’
Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata :
وأما عبد الله فإنه مات ورسول
الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول
الله صلى الله عليه وسلم ست سنين
”Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam masih berada dalam kandungan, dan ia mati dalam
keadaan kafir tanpa ada khilaf. Begitu pula Aminah (tentang kekafirannya tanpa
ada khilaf), dimana ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
berusia enam tahun” [Al-Maudhu’aat juz 1 hal. 283].
Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthan Al-Qaari telah menukil
adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam dengan perkataannya :
وأما الإجماع فقد اتفق السلف
والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير
إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في الإجماع السابق سواء يكون من
جنس المخالف أو صنف الموافق
”Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf dan khalaf dari
kalangan shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh mujtahidin telah
bersepakat tentang hal tersebut (kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam) tanpa adanya khilaf. Jika memang terdapat khilaf setelah
adanya ijma’, maka tidak mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya.
Sama saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era
setelahnya) atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia
berubah pendapat menyelisihi ijma’) [Adillatu Mu’taqad Abi Haniifah hal. 7 -
download dari http://www.alsoufia.com/].
Al-Imam Abu Hanifah berkata :
ووالدا رسول الله مات على
الكفر
”Dan kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
mati dalam keadaan kafir” [Al-Adillatul-Mu’taqad Abi Haniifah hal. 1 – download
dari http://www.alsoufia.com/].
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari berkata dalam Tafsir-nya
ketika menjelaskan QS. Al-Baqarah : 119 :
فإن فـي استـحالة الشكّ من
الرسول علـيه السلام فـي أن أهل الشرك من أهل الـجحيـم, وأن أبويه كانا منهم
”Semua ini berdasar atas keyakinan dari Rasulullah
’alaihis-salaam bahwa orang-orang musyrik itu akan masuk Neraka Jahim dan kedua
orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam termasuk bagian dari
mereka”.
Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata ketika berhujjah dengan hadits
”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku” ;
yaitu berdasarkan kenyataan bahwa Aminah bukanlah seorang wanita mukminah” [Al-Maudhu’aat
juz 1 hal. 284].
Beberapa imam ahli hadits pun memasukkan hadits-hadits yang
disebutkan di atas dalam Bab-Bab yang tegas menunjukkan fiqh (pemahaman) dan
i’tiqad mereka tentang kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam. Misalnya, Al-Imam Muslim memasukkannya dalam Bab [بيان أن من مات على الكفر فهو
في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين]
“Penjelasan bahwasannya siapa saja meninggal dalam kekafiran maka ia berada di
neraka dan ia akan memperoleh syafa’at dan tidak bermanfaat baginya hubungan
kekerabatan”. Al-Imam Ibnu Majah memasukkannya dalam Bab [ما جاء في زيارة قبور
المشركين] ”Apa-Apa yang
Datang Mengenai Ziyarah ke Kubur Orang-Orang Musyrik”. Al-Imam An-Nasa’i
memasukkannya dalam Bab [زيارة قبر المشرك] ”Ziyarah ke Kubur
Orang-Orang Musyrik. Dan yang lainnya.
Keterangan di atas adalah hujjah yang sangat jelas yang
menunjukkan kekafiran kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
Namun, sebagian orang-orang yang datang belakangan menolak ’aqidah ini dimana
mereka membuat khilaf setelah adanya ijma’ (tentang kekafiran kedua orang tua
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam). Mereka mengklaim bahwa kedua orang tua
beliau termasuk ahli surga. Yang paling menonjol dalam membela pendapat ini
adalah Al-Haafidh As-Suyuthi. Ia telah menulis beberapa judul khusus yang
membahas tentang status kedua orang tua Nabi seperti : Masaalikul-Hunafaa fii
Waalidayal-Musthafaa, At-Ta’dhiim wal-Minnah fii Anna Abawai Rasuulillah
fil-Jannah, As-Subulul-Jaliyyah fil-Aabaail-’’Aliyyah, dan lain-lain.
Bantahan terhadap Syubuhaat
Mereka menganggap bahwa kedua orang tua nabi termasuk ahli
fatrah sehingga mereka dimaafkan.
Kita Jawab :
Definisi fatrah menurut bahasa kelemahan dan penurunan
[lisaanul-’Arab oleh Ibnul-Mandhur 5/43]. Adapun secara istilah, maka fatrah
bermakna tenggang waktu antara dua orang Rasul, dimana ia tidak mendapati Rasul
pertama dan tidak pula menjumpai Rasul kedua” [Jam’ul-Jawaami’ 1/63]. Hal ini
seperti selang waktu antara Nabi Nuh dan Idris ’alaihimas-salaam serta seperti
selang waktu antara Nabi ’Isa ’alaihis-salaam dan Muhammad shallallaahu ’alaihi
wasallam. Definisi ini dikuatkan oleh firman Allah ta’ala :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ
تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul
Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman)
rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: "Tidak datang kepada kami baik
seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan" [QS. Al-Maaidah : 19].
Ahli fatrah terbagi menjadi dua macam :
- Yang telah sampai kepadanya ajaran Nabi.
- Yang tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah Nabi dan dia
dalam keadaan lalai.
Golongan pertama di atas dibagi menjadi dua, yaitu : Pertama,
Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik. Maka
mereka dihukumi seperti ahlul-islam/ahlul-iman. Contohnya adalah Waraqah bin
Naufal, Qus bin Saa’idah, Zaid bin ’Amr bin Naufal, dan yang lainnya. Kedua,
Yang tidak sampai kepadanya dakwah namun ia merubah ajaran dan berbuat syirik.
Golongan ini tidaklah disebut sebagai ahlul-islam/ahlul iman. Tidak ada
perselisihan di antara ulama bahwa mereka merupakan ahli neraka. Contohnya
adalah ’Amr bin Luhay, Abdullah bin Ja’dan, shahiibul-mihjan, kedua orang tua
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, Abu Thalib, dan yang lainnya.
Golongan kedua, maka mereka akan diuji oleh Allah kelak di
hari kiamat.
Kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
memang termasuk ahli fatrah, namun telah sampai kepada mereka dakwah Nabi
Ibrahim ’alaihis-salaam. Maka, mereka tidaklah dimaafkan akan kekafiran mereka
sehingga layak sebagai ahli neraka.
Hadits-hadits yang menceritakan tentang dihidupkannya kembali
kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ke dunia, lalu mereka
beriman kepada ajaran beliau.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah :
عن عائشة رضي الله عنها قالت:
حج بنا رسول الله حجة الوداع ، فمرّ بي على عقبة الحجون وهو باكٍ حزين مغتم فنزل
فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرِحٌ مبتسم ، فقلت له فقال : ذهبت لقبر أمي فسألت
الله أن يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله
Dari ’Aisyah radhiyallaahu ’anhaa ia berkata : ”Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam melakukan haji bersama kami dalam haji wada’.
Beliau melewati satu tempat yang bernama Hajun dalam keadaan menangis dan
sedih. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wasallam turun dan menjauh lama dariku
kemudian kembali kepadaku dalam keadaan gembira dan tersenyum. Maka akupun
bertanya kepada beliau (tentang apa yang terjadi), dan beliau pun menjawab :
”Aku pergi ke kuburan ibuku untuk berdoa kepada Allah agar Ia menghidupkannya
kembali. Maka Allah pun menghidupkannya dan mengembalikan ke dunia dan beriman
kepadaku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam An-Nasikh wal-Mansukh no. 656,
Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222, dan Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudhu’aat
1/283-284].
Hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama
Muhammad bin Yahya Az-Zuhri dan Abu Zinaad. Tentang Abu Zinaad, maka telah
berkata Yahya bin Ma’in : Ia bukanlah orang yang dijadikan hujjah oleh
Ashhaabul-Hadiits, tidak ada apapanya”. Ahmad berkata : ”Orang yang goncang
haditsnya (mudhtharibul-hadiits)”. Berkata Ibnul-Madiinii : ”Menurut para
shahabat kami ia adalah seorang yang dha’if”. Ia juga berkata pula : ”Aku
melihat Abdurrahman bin Mahdi menulis haditsnya”. An-Nasa;i berkata :
”Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah”. Ibnu ’Adi berkata : ”Ia termasuk
orang yang ditulis haditsnya” [silakan lihat selengkapnya dalam Tahdzibut-Tahdzib].
Ringkasnya, maka ia termasuk perawi yang ditulis haditsnya namun riwayatnya
sangat lemah jika ia bersendirian.
Adapun Muhammad bin Yahya Az-Zuhri, maka Ad-Daruquthni
berkata : ”Matruk”. Ia juga berkata : ”Munkarul-Hadits, ia dituduh memalsukan
hadits” [lihat selengkapnya dalam Lisaanul-Miizaan 4/234].
Dengan melihat kelemahan itu, maka para ahli hadits
menyimpulkan sebagai berikut : Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudhu’aat (1/284) berkata
: ”Palsu tanpa ragu lagi”. Ad-Daruquthni dalam Lisaanul Mizan (biografi ’Ali
bin Ahmad Al-Ka’by) : ”Munkar lagi bathil”. Ibnu ’Asakir dalam Lisanul-Mizan
(4/111) : ”Hadits munkar”. Adz-Dzahabi berkata (dalam biografi ’Abdul-Wahhab
bin Musa) : ”Hadits ini adalah dusta”.
عن ابن عمر رضي الله عنهما
قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا كان يوم القيامة شفعت لأبي وأمي وعمي
أبي طالب وأخ لي كان في الجاهلية
Dari Ibnu ’Umar radhiyallaahu ’anhuma ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Pada hari kiamat nanti aku
akan memberi syafa’at kepada ayahku, ibuku, pamanku Abu Thalib, dan saudaraku
di waktu Jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Tamam Ar-Razi dalam Al-Fawaaid 2/45].
Hadits ini adalah palsu karena rawi yang bernama
Al-Waliid bin Salamah. Ia adalah pemalsu lagi ditinggalkan haditsnya [lihat
Al-Majruhiin oleh Ibnu Hibban 3/80 dan Mizaanul-I’tidaal oleh Adz-Dzahabi
4/339]. Pembahasan selengkapnya hadits ini dapat dibaca dalam Silsilah
Al-Ahaadits Adh-Dha’iifah wal-Ma’udhuu’ah oleh Asy-Syaikh Al-Albani no. 322.
عن علي مرفوعاً : « هبط جبريل
علي فقال إن الله يقرئك السلام ويقول إني حرمت النار على صلبٍ أنزلك وبطنٍ حملك
وحجرٍ كفلك
»
Dari ’Ali radhiyallaahu ’anhu secara marfu’ : ”Jibril turun
kepadaku dan berkata : ’Sesungguhnya Allah mengucapkan salaam dan berfirman :
Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu
(yaitu Abdullah), perut yang mengandungmu (yaitu Aminah), dan pangkuan yang
merawatmu (yaitu Abu Thalib)” [Diriwayatkan oleh Al-Jauzaqaani dalam
Al-Abaathil 1/222-223 dan Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudhu’aat 1/283].
Hadits ini adalah palsu (Maudhu’) tanpa ada keraguan
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudhu’aat (1/283) dan
Adz-Dzahabi dalam Ahaadiitsul-Mukhtarah no. 67.
Dan hadits lain yang senada yang tidak lepas dari status
sangat lemah, munkar, atau palsu.
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang kafirnya kedua orang
tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dinasakh (dihapus) oleh hadits-hadits
yang menjelaskan tentang berimannya kedua orang tua beliau.
Kita jawab :
Klaim nasakh hanyalah diterima bila nash naasikh (penghapus)
berderajat shahih. Namun, kedudukan haditsnya yang dianggap naasikh adalah
sebagaimana yang kita lihat (sangat lemah, munkar, atau palsu). Maka bagaimana
bisa diterima hadits shahih di-nasakh oleh hadits yang kedudukannya sangat jauh
di bawahnya ? Itu yang pertama. Adapun yang kedua, nasakh hanyalah ada dalam
masalah-masalah hukum, bukan dalam masalah khabar. Walhasil, anggapan nasakh
adalah anggapan yang sangat lemah.
*****
Pada akhirnya, orang-orang yang menolak hal ini berhujjah
dengan dalil-dalil yang sangat lemah. Penyelisihan dalam perkara ini bukan
termasuk khilaf yang diterima dalam Islam (karena tidak didasari oleh
hujjahyang kuat). Orang-orang Syi’ah berada pada barisan terdepan dalam
memperjuangkan pendapat bathil ini. Di susul kemudian sebagian habaaib (orang
yang mengaku keturunan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) dimana mereka
menginginkan atas pendapat itu agar orang berkeyakinan tentang kemuliaan
kedudukan mereka sebagai keturunan Rasulullah. Hakekatnya, motif dua golongan
ini adalah sama. Kultus individu.
Keturunan Nabi adalah nasab yang mulia dalam Islam. Akan
tetapi hal itu bukanlah jaminan – sekali lagi – bahwa mereka akan dimasukkan ke
dalam surga dan selamat dari api neraka. Allah hanya akan menilai seseorang –
termasuk mereka yang mengaku memiliki nasab mulia – dari amalnya. Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ
لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya
tidak bisa mempercepatnya” [HR. Muslim – Arba’un
Nawawiyyah no. 36].
Penutup
Diantara akhlak seorang
mukmin dan mukminah adalah menerima terhadap ketentuan Allah dan rasul-Nya
dengan sepenuhnya. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالاً مُّبِيناً
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah apabila Allah dan
rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan untuk memilih yang lain dari urusan
mereka. Barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS Al Ahdzab:36)
Dan diantara yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah apa yang telah kami sebutkan di atas
berupa hadits-hadits shahih dengan penjelasan para ulama’ bahwa kedua orang tua
beliau mati musyrik. Inilah adab seorang mukmin. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam bish
shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar