Bencana alam merupakan fenomena alam yang terjadi karena
adanya aktifitas fisik dari berbagai benda-benda di alam. Lalu bagaimana
mungkin terjadinya bencana alam dikaitkan dengan moralitas, kemaksiatan,
kesyirikan, hal-hal yang bukan aktifitas fisik, bahkan abstrak? Bagi sebagian
orang ini adalah hal yang mudah, namun bagi sebagian lagi ini menjadi hal yang
sulit dicerna akal.
Islam bukan agama yang mengajarkan mistisme,
supranatural, tahayul dan sejenisnya. Dimana dalam dunia semacam itu,
keterputusan hubungan antara sebab dan akibat adalah hal biasa. Kena musibah
karena mata berkedut, sulit mendapat jodoh karena berdiri di pintu, sakit bisul
gara-gara duduk di meja, dan semacamnya. Ini bukan ajaran Islam bahkan Islam
melarang mempercayai hal-hal tersebut. Bahkan Islam sangat memperhitungkan
nalar dan ilmu pasti. Itu sangat jelas sehingga rasanya tidak perlu membawakan
contoh untuk hal ini.
Namun bukan berarti percaya kepada hal yang tidak kasat
mata, abstrak, gaib, itu tidak ada dalam Islam. Bahkan esensi dari iman adalah
percara kepada yang gaib. Allah Ta’ala berfirman:
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alif Laam Miim. Al Qur’an adalah kitab yang tidak
terdapat keraguan. Ia adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa, yaitu orang
yang percaya kepada yang gaib..” (QS. Al Baqarah: 1-2)
Mulai dari dzat Allah, tidak kasat mata. Kita shalat
sehari lima kali, melakukan gerakan-gerakan berdiri, menunduk, sujud, berdiri
lagi apakah dalam rangka berolah raga atau apa? Tidak lain itu kita lakukan
dalam rangka mengharap sesuatu yang tidak kasat mata, yaitu pahala. Kita pergi
haji mengeluarkan uang puluhan juta rupiah dengan segala tatacaranya yang
‘rumit’, semua itu rela dilakukan untuk mengharap sesuatu yang masih kasat
mata, yaitu surga. Dan hampir dalam semua ajaran Islam, keyakinan kita terhadap
sesuatu yang gaib dan kasat mata sangat esensial perannya. Andai kita tidak
percaya Allah itu ada, tidak percaya adanya pahala, tidak percaya adanya surga,
karena tidak bisa dinalar dan tidak kasat mata, lalu apa gunanya anda shalat?
Apa gunanya anda bersyahadat? Apa gunanya berpuasa? Apa gunanya? Semuanya akan
terasa hampa. Dan kita pun melepas semua sendi keislaman kita.
Jika demikian perkara gaib ada yang diingkari oleh Islam,
ada pula yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Lalu apa pembedanya? Bagi yang
merenungkan ayat yang kami sitir di atas, tentu sudah mendapat jawabannya. Ya,
perkara gaib yang dikabarkan Al Qur’an dan juga tentunya dikabarkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang telah divalidasi
oleh Allah sebagai penjelas Al Qur’an. Kabar gaib dari mereka berdua adalah
harga mati untuk diyakini. Karena Al Qur’an memilki nilai ‘tanpa keraguan’ atau
dengan kata lain ‘pasti benar’, 100% mutlak benar. Tentu lain masalahnya jika
anda, pembaca, adalah orang yang tidak mempercayai bahwa Al Qur’an adalah kalam
ilahi dan menilai Al Qur’an itu belum tentu benar. Jika anda demikian, silakan
tutup halaman ini dan tidak ada yang perlu kita bahas lagi.
Inilah yang menjadi modal berpikir kita untuk menilai
perkara yang kita bahas. Karena Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka
disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian
besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan keadaan
umat-umat terdahulu:
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ
مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ
وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan
dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu
krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur
(halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs.
Al-Ankabut: 40)
Keterkaitan antara bencana dengan maksiat adalah abstrak.
Namun tinggal bagaimana sikap kita dengan ayat-ayat ini, percaya atau tidak?
Renungkanlah, semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Andai tidak maksiat, bencana tetap terjadi?
Orang-orang yang bermodalkan dengan nalarnya, mengatakan:
“Fenomena alam ini tetap terjadi walau tanpa atau dengan adanya maksiat”. Lalu
mereka pun mempertanyakan bukti ilmiah, hasil penelitian, data statistik yang
menunjukkan adanya keterkaitan antara bencana alam dengan maksiat.
Anggap saja belum pernah ada orang yang meneliti secara
statistik, atau penelitian ilmiah bahwa bencana alam memiliki hubungan dengan
adanya maksiat. Namun pernyataan “bencana alam tidak memiliki
hubungan dengan adanya maksiat” pun merupakan sebuah hipotesa yang perlu
pembuktian ilmiah. Dan untuk membuktikan hipotesa ini sendiri pun hampir tidak
mungkin. Karena maksiat, kecilnya maupun besarnya, tersebar di seluruh dunia,
di setiap waktu dan tempat. Hari ini saja, sudah berapa maksiat yang anda
lakukan? Jawablah dengan jujur. Hampir tidak ada waktu dan tempat di dunia ini
yang kosong dari maksiat. Saya, anda dan seluruh manusia tidak bisa lepas dari
salah dan dosa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين
التوابون
“Setiap manusia itu banyak berbuat salah, dan orang
terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat” (HR. At Tirmidzi no.2687.
Dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)
Jadi ternyata, orang yang mengatakan: “bencana alam tidak memiliki
hubungan dengan adanya maksiat” hanya berlandaskan pada hipotesa yang lemah.
Jika ada hubungannya, mengapa kaum terbejat
masih aman saja?
Mereka memiliki alasan lain: “andai bencana dengan
maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak maksiat, bahkan negeri
kafir, banyak yang jarang terkena bencana”.
Jika anda menginginkan setiap orang yang ketika berbuat
maksiat tiba-tiba disambar petir dari langit lalu mati, tentulah semua orang
serta-merta akan menjadi shalih semua. Tidak akan ada lagi maksiat, tidak ada
ujian keimanan, tidak ada lagi taubat, tidak ada lagi amar ma’ruf nahi mungkar,
tidak akan ada lagi istilah ‘maksiat’ di dalam kamus, dan mungkin bumi ini
sudah bisa disebut surga.
Inilah bagian dari misteri ilahi. Allah Ta’ala terkadang
menimpakan musibah pada kaum bejat saja, sebagaimana kaum Ad dan kaum Tsamud,
dikarena kebejatan mereka. Dan terkadang Allah menimpakan musibah kepada kaum
yang di dalamnya terdapat orang shalih juga. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ
الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Takutlah pada musibah yang tidak hanya menimpa orang
zhalim di antara kalian saja. Ketahuilah bahwa Allah memiliki hukuman yang
pedih” (QS. Al Anfal: 25)
عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم
قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا ظهرت المعاصي في أمتي،
عَمَّهم الله بعذاب من عنده” . فقلت: يا رسول الله، أما فيهم أناس صالحون؟ قال:
“بلى”، قالت: فكيف يصنع أولئك؟ قال: “يصيبهم ما أصاب الناس، ثم يصيرون إلى مغفرة
من الله ورضوان“
“Dari Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: Jika maksiat telah menyebar diantara umatku, Allah akan menurunkan
adzab secara umum”. Ummu Salamah bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah di antara
mereka ada orang shalih? Rasulullah menjawab: Ya. Ummu Salamah berkata:
Mengapa mereka terkena juga? Rasulullah menjawab: Mereka terkena musibah yang
sama sebagaimana yang lain, namun kelak mereka mendapatkan ampunan Allah dan
ridha-Nya” (HR. Ahmad no.27355. Al Haitsami berkata: “Hadits ini ada 2
jalur riwayat, salah jalurnya diriwayatkan oleh para perawi yang shahih”, Majma
Az Zawaid, 7/217 )
Dan inilah sebijak-bijaknya kebijakan dari Dzat Yang
Paling Bijak. Karena dari kebijakan ini ribuan bahkan jutaan hikmah yang dapat
dipetik oleh manusia, diantaranya adalah kesempatan bagi pelaku maksiat untuk
bertaubat dan kesempatan untuk orang shalih untuk menuai pahala dan mempertebal
keimanannya.
Tempat yang banyak orang shalih pun terkena
bencana
Mereka beralasan lagi: “andai bencana dengan maksiat ada
hubungannya, mengapa tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana?”.
Ini pun salah satu misteri ilahi yang memiliki banyak
hikmah. Salah satu hikmahnya adalah pentingnya dakwah dan menasehati untuk
meninggalkan maksiat. Keshalihan tidak hanya dimiliki individu namun juga
masyarakat. Ketika maksiat terjadi, sekecil apapun, ketika orang-orang shalih
enggan menasehati dan mencegah maksiat tersebut, bukan tidak mungkin bencana
akan datang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
والذي نفسي بيده، لتأمرن بالمعروف، ولتنهون
عن المنكر، أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عِقابا من عنده، ثم لتَدعُنّه فلا يستجيب
لكم
“Demi Allah, hendaknya kalian mengajak kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Atau Allah akan menimpakan hukuman
kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan” (HR. At Tirmidzi
no.2323, Ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Korban bencana adalah ahli maksiat?
Alasan mereka yang lain lebih sosialis. Yaitu jika kita
mengaitkan bencana di suatu daerah dengan maksiat yang dilakukan penduduknya,
sama saja menganggap korban-korban bencana adalah para ahli maksiat.
Dan hadits tersebut di atas jelas bahwa orang yang terkena
bencana, bisa jadi benar ahli maksiat, atau bisa jadi orang shalih yang ikut
terkena bencana yang disebabkan maksiat. Sehingga tidak ada yang bisa
memastikan seseorang termasuk yang mana kecuali Allah Ta’ala. Dan tidak ada
kepentingan sama sekali bagi kita untuk mengetahui apakah para korban itu
termasuk golongan ahli maksiat atau orang shalih? Namun penting bagi kita untuk
menyadari bahwa bencana ini karena sebab maksiat. Karena inilah yang membuat
kita tersadar, bergegas untuk menyerahkan diri kepada-Nya, bersimpuh dan
bertaubat kepada-Nya.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)” (QS. Ar Ruum: 41)
Dari pada kita merasa sombong, tak merasa punya andil
dalam menyebabkan bencana ini, merasa tidak berdosa dan congkak. Yang tentunya
kesombongan itu akan berbalas, di dunia atau kelak di akhirat.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Orang yang enggan bertaubat, mereka termasuk
orang-orang yang zhalim” (QS. Al Hujurat: 11)
Allahlah Rabb alam semesta
Ya memang, bencana alam ini adalah fenomena alam yang
dapat dijelaskan oleh ilmu fisika atau ilmu alam. Dengan ilmu tersebut bisa
diketahui penyebab fisiknya, atau mungkin bisa diramal kejadiannya dari
tanda-tanda dan pola-pola yang ada. Namun ingatlah, jauh dibalik itu semua,
semua yang terjadi di alam ini adalah kekuasan Allah, yang Maha Mengatur Alam
Semesta. Ilmu manusia manapun tidak ada yang bisa melawan dan meramal kehendak
Allah. Andai teori dan data menyatakan tidak akan terjadi bencana, jika Allah berkehendak
pun tetap terjadi. Allah lah pengatur alam yang sebenarnya.
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا
بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
“Ialah Allah, Rabb langit dan bumi dan apa
yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS.
Shaad: 66).
Oleh karena itu sungguh sangat logis, jika ingin
menghindari bencana atau menghentikan bencana kita memohon, menuruti keinginan
serta menjauhi larangan dari Yang Maha Mengatur Alam yang sebenarnya.
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dialah Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah
yang membolak-balikan siang dan malam, tidakkah engkau berpikir?” (QS. Al
Qashas: 28 )
Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar