Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan
menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun
kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dikisahkan dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ
يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا
Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan
bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.
قَالَتِ الأُوْلَى
زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ فَيُرْتَقَى وَلاَ
سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ
Wanita pertama berkisah,
“Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak
gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan
dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.
[Maksud perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya
dengan daging yang kurus, sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di
atas gunung yang terjal yang sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging
domba atau kambing yang terasa lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan
sulitnya bergaul dengan suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik
untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan
usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa
meraih dan bersenang-senang dengannya.]
قَالَتْ
الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ
أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ
Wanita kedua berkisah,
“Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah
tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan
tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan
juga perutnya”.
[Maksud perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa
suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika diceritakan, ia khawatir tidak akan ada
ujungnya kisah tentang suaminya karena saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika
aibnya disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di badan dan dalam
tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri
menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya. Karena jika
sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia khawatir karena masih ada
anak dan hubungan dengan suaminya.]
قَالَتْ
الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ
أُعَلَّقْ
Wanita ketiga berkisah,
“Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka
aku akan tergantung”.
[Maksud perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah
suami yang berperangai buruk atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois
(mementingkan diri sendiri). Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya
maka sang suami langsung menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia
akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.]
قَالَتِ
الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ
وَلاَ سَآمَةَ
Wanita keempat berkisah,
“Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada
ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.
[Maksud perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah
yang ma’ruf. Malam di sana seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya
bagus dan bersahabat. Jadi si wanita menyifati suaminya yang pelembut dan
berperangai baik. Si wanita selalu tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika
berada di sisi suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya
merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk Tihamah,
suaminya menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di Tihamah yang tidak
panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang bersahabat.]
قَالَتِ
الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ
عَمَّا عَهِدَ
Wanita kelima berkisah,
“Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan
tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.
[Maksud perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi
sebuah pujian, bisa jadi suatu celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian,
maka ada beberapa tafsiran. Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan
karena biasa menundukkan dan menjima’ istrinya. Artinya, istrinya begitu
disayangi sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari
rumah, ia adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa
membawa makanan, minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya.
Tafsiran kedua, masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan,
yaitu ia tidak pernah mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang
cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa
seperti singa. Ia tidak banyak bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si
suami begitu bergaul dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak
pada istrinya.
Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah celaan,
dapat ditafsirkan ia mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah
seperti macan, yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang
sebelum hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai
buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika suaminya
keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya
padanya dan anak-anaknya.]
قَالَتِ
السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ
الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ
Wanita keenam berkisah,
“Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka
tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak
mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”.
[Maksud perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang
biasa menyantap makanan apa saja dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering
menjauh dari istrinya dan tidur sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui
keadaan istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan
dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan celaan.]
قَالَتِ
السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ
دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ
Wanita ketujuh berkisah,
“Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia
melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”.
[Maksud perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya
tidak kuat berhubungan intim dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa
menyakiti kepala. Jika ia berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan
melukai jasad.]
قَالَتِ
الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ
Wanita kedelapan berkisah,
“Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab
(tumbuhan yang baunya harum)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah
lembut dan bersikap baik pada istrinya.]
قَالَتِ
التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ
الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ
Wanita kesembilan berkisah,
“Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan
rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang
terpandang, banyak tamu yang mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih
hewan untuk menyambut tamunya. Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya
pun biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan
persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang
terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]
قَالَتِ الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا
مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ
قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ
أَنَهُنَّ هَوَالِكُ
Wanita kesepuluh berkisah,
“Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik?
Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia
memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika
unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta tersebut
yakin bahwa mereka akan disembelih.”
[Maksud perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta
sebagai persiapan untuk menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak
mulia, ia sering memuliakan para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].
قَالَتِ
الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ
حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى
نَفْسِي
Wanita kesebelas berkisah,
“Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’? Dialah yang telah
memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas
tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun gembira.”
[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu
Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta
menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka
tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira. Merupakan
sifat suami yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan
dan memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan
sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian
suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya. Para wanita sangat suka kepada
perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada
wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat
kecantikan seorang wanita.]
.
وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ
وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ
فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ
Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam
kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda
dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku
berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku
minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.
[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’
mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang
menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah
payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang
makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki
kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika ia berbicara di
hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak
pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya tersebut dan
sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan karena
sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan
tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai macam
minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya. Merupakan sifat suami yang
baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang
bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.]
.
أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا
فَسَاحٌ
Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang
mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.
[Maksud perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita
yang kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan
rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang
yang sangat baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri
yang sholehah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu
suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik
kepadanya. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang
sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan
karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika
keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda
yang harus ditunaikan oleh sang suami.]
ابْنُ أَبِي
زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ
ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ
Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya
adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika
memakan lengan anak kambing betina.
[Maksud perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak
yang gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya,
tidak kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala
berperang.]
بِنْتُ أَبِي
زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ
كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا
Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada
ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.
[Maksud perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang
berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati
kedua orangtuanya. Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga
menjadikan istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya
tersebut.]
جَارِيَةُ أَبِي
زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ
تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia
menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak
makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta
tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.
[Maksud perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah
orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau
pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat
jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri
sehingga jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran
(tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]
قَالَتْ خَرَجَ
أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا
كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي
وَنَكَحَهَا
Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya
susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu
dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka
berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun lalu
menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.
[Maksud perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di
pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan
diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu
agar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang
memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita
yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita
tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak
keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang
menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun
menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’]
فَنَكَحْتُ
بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ
نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ
زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ
مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ
Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka
yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi
lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah
berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan
yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke
keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua
yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.
[Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi
seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga
memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang
lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut
kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa
bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.
Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua
adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya
memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah
yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama
dari sang wanita.]
قَالَتْ عَائِشَةُ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ
زَرْعٍ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam riwayat lain Aisyah berkata
يَا رَسُوْلَ
اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku
dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Kisah yang panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami,
ada yang berakhlak mulia yang patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk
yang harus kita jauhi.
Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian kepada
Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya
hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak
demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha
untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti
dalam kisah ini.
Referensi:
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar