Ibadah haji bagi sebagian besar kaum muslimin, mungkin
merupakan ibadah sekali seumur hidup. Oleh karena itu, sudah semestinya para
jamaah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjalankan ibadah haji yang
sesuai dengan sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Semua orang ingin hajinya mabrur dan dosanya maghfur. Wajar saja,
karena semua orang tahu bahwa haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali
surga.
Tidak ada yang mengetahui kalau musim haji tahun ini
adalah kesempatan terakhir baginya untuk menjadi “Dhuyuuf Ar-Rahmaan”
(tamu-tamu Allah). Maka dari itu, sudah sepantasnyalah seorang muslim bertafaqquh
(memahami) manasik yang akan ia tempuh. Jangan sampai ia terjatuh dalam
kesalahan dan pelanggaran. Jika ini merupakan kesempatan terakhir, kapan
kiranya ia hendak mengulangi dan memperbaikinya lagi?
Padahal masih banyak kesalahan yang terus berulang dari
tahun ke tahun yang dilakukan oleh sebagian besar jamaah haji. Diantaranya
adalah :
Menjadikan Jeddah sebagai miqat
Di antara kesalahan jamaah haji (khususnya dari Indonesia)
adalah menjadikan Jeddah sebagai miqat.
Untuk memahami masalah ini, perlu dijelaskan beberapa hal
sebagai berikut:
1.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah untuk Allah, jika kalian terhalang (dari
melaksanakannya), maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat.” (Qs.
Al-Baqarah: 196)
Mak-hul berkata, “Menyempurnakannya adalah dengan cara memulainya dari miqat.” [Tafsir Ibnu Katsiir, 1/499]
Mak-hul Abu
‘Abdillah Ad-Dimasyqi. Beliau adalah seorang tabi’in, imamnya penduduk Syam,
faqih, hafizh, dan tsiqah. Terkenal banyak meriwayatkan hadits secara mursal.
Ibnu Ishaq berkata, “Aku mendengar Mak-hul berkata, “Aku telah mengelilingi
dunia untuk menuntut ilmu.” Meninggal tahun 112 H. Az-Zuhri berkata, “Ulama itu
ada empat: Sa’id bin Musayyab di Madinah, Asy-Sya’bi di Kufah, Al-Hasan di
Bashrah, dan Makhul di Syam.” Abu Hatim berkata, “Tidak ada yang lebih faqih di
negeri Syam daripada Mak-hul.”
(Lihat Siyar
A’lam An-Nubalaa’, 5/155, Muassasah Ar-Risalah; Al-Bidayah wa An-Nihayah,
9/334, Ihya’ At-Turats; Tahdzib Al-Asmaa’ wa Al-Lughaat, 1/113, Daar
Al-Kutub Al-’Ilmiyyah)
2.
Allah juga berfirman,
الْحَج أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَج فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحج
“Haji itu pada
bulan-bulan tertentu. Barangsiapa yang wajib haji baginya pada bulan-bulan
tersebut, maka ia tidak boleh berkata-kata kotor, tidak boleh berbuat maksiat,
dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam ibadah haji.” (Qs. Al-Baqarah: 197)
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata menafsirkan kata “fusuuq” dalam ayat di atas , “Maksudnya adalah maksiat.” [Tafsir Ibnu Katsiir, 1/515]
Maksiat itu sendiri definisinya adalah lawan dari ketaatan, baik tidak melaksanakan apa yang diperintah atau melanggar apa yang dilarang. [Al-Qaamuus Al-Muhiith]
3.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خذوا عني مناسككم
“Ambillah
dariku tatacara manasik kalian.” (HR. Muslim, no. 1297)
4. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menentukan miqat-miqat. Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbasradhiyallaahu
‘anhuma, dia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهن وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الحَجَّ وَالعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ، فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ “
“Sesungguhnya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat
Dzulhulaifah bagi penduduk Madinah, Al-Juhfah bagi penduduk Syam, Qarn Al-Manaazil
bagi penduduk Najd, dan Yalamlam bagi pendudukYaman. Beliau bersabda,
“Miqat-miqat itu untuk para penduduknya dan untuk orang yang melewatinya
walaupun bukan penduduknya yang ingin melaksanakan haji atau umrah. Adapun
orang yang berada di daerah sebelum miqat (dari Makkah – pen) maka ihramnya
dari tempat tinggalnya, sebagaimana penduduk Makkah berihram dari Makkah.” (HR. Al-Bukhari, no.1524)
Miqat itu
terbagi 2 macam: miqat zamani dan miqat makani.
Miqat zamani
adalah waktu memulai manasik. Miqat zamani untuk manasik haji dimulai sejak
tanggal 1 Syawwal sampai dengan tanggal 10 Dzulhijjah. Adapun miqat zamani
untuk manasik umrah adalah sepanjang tahun.
Miqat makani
adalah tempat memulai manasik, baik haji maupun umrah. Orang sering hanya
menyebutnya dengan “miqat” saja. Miqat ada lima: Dzulhulaifah (Abyar Ali),
Al-Juhfah (Rabigh), Qarnul Manazil (As-Sail Al-Kabir), Yalamlam (As-Sa’diyyah),
dan Dzatu ‘Irq.
Miqat adalah tempat memulai ihram. Seorang muslim yang
akan menunaikan ibadah haji dan atau umrah, ia wajib menyempurnakan manasiknya
dengan cara memulainya dari miqat. Dia tidak boleh melewati miqat kecuali dalam
keadaan ihram.
Jika ia melewatinya dengan sengaja tanpa ihram, maka ia
telah melakukan maksiat (berdosa) dan harus kembali ke miqat untuk memulai
ihramnya lagi dan tidak diwajibkan membayar dam.
Namun jika ia lupa dan tidak sengaja melewatinya tanpa
ihram, maka dia harus kembali ke miqat dan tidak berdosa serta tidak terkena
dam.
Adapun orang yang sengaja dan tidak kembali ke miqat,
maka di samping menuai dosa dia juga diwajibkan untuk membayar dam.
Jeddah bukan miqat bagi jamaah haji Indonesia
Ditinjau dari Makkah-miqat sebagai acuan, maka tamu Allah
itu ada 3 kelompok:
a)
Afaaqiyyuun: yaitu orang-orang yang berada di luar miqat,
seperti penduduk Madinah, Najd, Yaman, Mesir, Sudan, Indonesia, India,
Pakistan, Eropa, Amerika, dan dari seluruh penjuru dunia. Miqaat mereka adalah
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
b)
Antara Makkah dan miqat: orang-orang yang tinggal di
antara keduanya, seperti penduduk Jeddah, Ummu As-Salam, Bahrah, Asy-Syaraayi’,
Badr, Mastuurah, maka miqat mereka adalah rumah-rumah mereka sendiri. [Lihat At-Tahqiiq
Wa Al-Iidhaah hal. 53, tahqiq: DR. Shaalih Al-’Ushaimi]
c)
Haazhiruu Al-Masjid Al-Haram: yaitu penduduk Makkah,
miqat mereka adalah dari rumah-rumah mereka sendiri.
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa Jeddah
bukanlah miqat untuk orang-orang yang datang dari arah timur seperti Indonesia.
Selain karena tidak ditetapkan oleh syari’at sebagai miqat Afaaqiyyuun, Jeddah
terletak di antara Makkah dan miqat. Oleh karena itu, jika ia bukan penduduk Jeddah
atau tidak bermukim di Jeddah, maka ia tidak boleh berihram dari Jeddah.
Sebelum sampai ke Jeddah, ketika ia berada pada tempat yang sejajar dengan
miqat terdekat, di situlah seharusnya ia memulai ihramnya.
Agar mudahnya untuk memahami, bagi Jama’ah haji / umroh yang
berangkat langsung ke Makkah, sebelum berangkat ke Bandara sebaiknya
membersihkan badan (mandi) lalu menggunakan kain ihram. Pada saatnya nanti
pramugari akan memberitahukan bahwa pesawat berada diatas Yalamlam, dan jama’ah
haji langsung mengucapkan ihlal Umrah, yaitu “Labbaika Umrotan”, dan terus membaca
talbiyah baik di pesawat, bandara King Abdul Aziz dan baru berhenti setelah
melihat kabah.
Syubuhat dan Bantahannya
Syubhat 1
Ada yang mengatakan bahwa Jeddah (dalam hal ini Bandara
King Abdul Aziz) bisa dijadikan sebagai miqat, khususnya bagi yang alat
transportasinya adalah pesawat terbang. Alasan mereka, karena sulit bagi mereka
untuk melepas pakaian yang mereka pakai dan menggantinya dengan pakaian khusus
ihram, sedangkan mereka berada di dalam pesawat.
Bantahannya: Terlepas dari siapapun yang mengatakannya,
kita katakan kepada mereka bahwa itu hanya permasalahan teknis saja. Solusinya
adalah jamaah haji dihimbau untuk memakai pakaian ihram sebelum naik ke
pesawat. Jika telah sampai pada titik koordinat di mana tempat itu sejajar
dengan miqat terdekat, maka jamaah haji berniat masuk ke dalam ihram dan
tinggal melakukan talbiyah sesuai dengan manasik yang ia pilih.
Syubhat 2
Mereka mengatakan, ”Jika harus memakai pakaian ihram
sebelum naik ke pesawat, maka ini namanya “penyiksaan”, dan Islam sangat
jauh dari unsur-unsur penyiksaan.”
Bantahannya: Sungguh benar sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang safar. Beliau bersabda,
السفر قطعة من العذاب
“Safar itu sepotong dari adzab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Memenuhi panggilan Allah untuk menjadi tamuNya merupakan
sebuah usaha yang memerlukan mujaahadah. Bahkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyamakan haji dan umrah seperti jihad, hanya saja
tidak ada peperangan di dalamnya.
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bertanya, “Wahai
Rasulullah! Adakah jihad bagi wanita?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Bagi wanita ada kewajiban jihad, tapi tidak ada peperangan
di dalamnya, yakni: Haji dan Umrah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Isnad
hadits ini shahih) [Lihat At-Tahqiiq Wa Al-Iidhaah hal. 19, tahqiq: DR.
Shaalih Al-’Ushaimi]
Syubhat 3
Mereka berkata, “Jeddah bisa dijadikan miqat, karena
jaraknya terhadap Makkah lebih jauh bila dibandingkan dengan jarak miqat terdekat
(Qarn Al-Manaazil) dengan Makkah. Jarak Qarn Al-Manaazil ke Makkah kira-kira 80
km, sedangkan Jeddah ke Makkah lebih dari 100 km.”
Bantahannya: Ini menunjukkan ketidakpahamannya dalam
konsep kesejajaran (Muhaadzaah). Menurut para ulama syari’at, sebuah tempat
dikatakan sejajar dengan tempat tertentu apabila jaraknya ke tempat acuan sama
dengan jarak tempat tertentu tersebut ke tempat acuan. Lebih gamblang lagi,
bisa dijelaskan dengan bahasa teknis matematis. Titik A dikatakan sejajar
dengan titik B jika dan hanya jika jarak antara titik A ke titik acuan sama
dengan jarak antara titik B ke titik acuan.
Untuk kasus ini, ketika seseorang datang dari arah timur
Makkah menuju Jeddah, maka dia akan melewati tempat di antara dua miqat
terdekat (biasanya Qarn Al-Manaazil dan Yalamlam). Jika demikian adanya, maka
wajib baginya untuk memulai ihramnya di koordinat yang sejajar dengan miqat
terdekat yang dilaluinya. Jika tidak, maka ia dikatakan telah melanggar
ketentuan atau syi’ar Allah, yakni melewati miqat tanpa ihram. Atau kita
katakanlah perjalanan udara dilakukan melintasi jalur selatan daratan jazirah
arab (sehingga tidak melewati Qarn Al-Manaazil maupun Yalamlam), lalu berbelok
ke utara menuju Jeddah. Jika demikian adanya, maka pada saat itu dia juga tetap
berada di antara dua miqat (yaitu antara Yalamlam dan Al-Juhfah). Sehingga
dengan demikian, ia wajib berihram dari titik yg sejajar dengan miqat yang
terdekat (bisa Yalamlam, bisa pula Al-Juhfah, tergantung rute perjalanan
udaranya). Hal ini sudah barang tentu terjadi sebelum ia sampai ke Jeddah.
Seandainya ia tetap nekat akan berihram dari Jeddah, maka ia termasuk orang
yang melewati miqat tanpa ihram. Semoga Allah memberi kita petunjuk.
Penutup
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat erat kaitannya dengan
pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah. Apakah tidak timpang, di satu sisi
kita mengharapkan haji yang mabrur, tetapi pada saat yang bersamaan kita
melanggar etika sebagai tamu Allah dengan tidak mengindahkan aturan-aturannya?
Allah telah menetapkan aturannya lewat lisan NabiNya,
agar tidak melewati miqat kecuali dalam keadaan berihram, lalu kita dengan
mudah melanggarnya. Ya Allah, kami telah banyak berbuat kezhaliman. Kalaulah
bukan karena ampunanMu, maka sungguh kami menjadi orang-orang yang merugi.
Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar